Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account. Epistemologi atau theory of knowledge ini sering diuraikan sebagai is that branch of philosophy which concerned with nature and scope of knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge.
Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani:
Pertama, epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidal langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.
Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan sidemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.
Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih]. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge by intellect]. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga, kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.
Namun, jika dalam perkembangannya, kajian epistemologis dalam literatur Barat dapat membuka prespektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multidimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan penggunaan rasio [burhan] secara maksimal, sebagaimana pernah dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam hal Iptek.
Berangkat dari Hellenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap, kemudian memodifikasi menjadi tradisi Filsafat sains yang berangkat dari postulat-postulat al Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental. Usaha tersebut dilakuak dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawab tentang hakekat realitas, baik yang nyata [ fisis ] maupun yang gaib [metafisis]. Dari revolusi filsafat di tangan kaum muslimin itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Qur’an.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah“, simpul H.G. Wells, “maka orang Muslim adalah bapak angkatnya.” Dalam perjalanan sejaran lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.
Hanya saja, setelah memasuki abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit muali meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat, khususnya Filsafat Sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme, lari dari dunia materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia sufisme. Pentakwilan secara rasional terhadap nash-nash Qur’an menjadi haram. Pintu ijtihad ditutup rapat-rapat. Kegiatan berfilsafat mulai dihujat, dan para filosof mulai dicap kafir. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat Islam menuju pintu gerbang awal kemunduran an redupnya mercusuar peradabannya.
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada [bayani, irfani atau kasyf dan burhani ], dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani [kasyf] yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio [ burhani ] secara optimal.
Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio [akal], tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
Metode kasyf dalam kritik epistemologi, bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun. Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali “kebenaran karena kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.
Dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks [nash]. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.
Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan al-Qur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka.
Keseimbangan antara pikiran [fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran.
Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang. Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat Islam untuk memerikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.
B. Perkembangan Awal Pemikiran Islam
Proses pembentukan pemikiran itu diawali dengan peritiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya. Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang terjadi asimulasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam.
Pertama, akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang Shiffin [antara Ali dan Muawiyah] dan perang Jamal [antara Ali dan Aisyah]. Adanya kasus perang ini menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarji. Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir. Menetapkan Ali sebagai kafir sangat ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut Syi’ah, sehingga terjadilah pertentangan hebat antara sesama muslim. Dalam setiapkemelut yang tidak menyenangkan itu, muncul sekelompok muslim yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dengan selisih pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya; namun dalam pada itu sempat ula meeka mengeluarkan faktanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nashnya, ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka itu kelompok Murji’ah.
Kedua, akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke Sudan, Ethiopia dan seterusnya, ke Timur sampai India dan seterusnya. Dan ke Utara sampai ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya berdampak pada penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang ditaklukkan.
Salah satu budaya tau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi oleh Islam adalah tradisi Yunani danHellenistiknya yang bersifat spekulatif. Perembesan budaya ini disamping karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari tradisi spekulatif Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.
Ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan.
Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, di samping tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al Qur’an yang baik secara langsung maupun tidak mendesak manusia untuk berpikir, merenung atau bernalar.
Ada yang terungkap melalui idiom yatafakkarun yang berarti mereka berpikir sebanyak 12 ayat, tafakkarun yang berarti kalian berpikir sebanyak 4 ayat, ya’qiiun yang berarti mereka menggunakan akal sebanyak 22 ayat, ta’qilun yang berarti kalian menggunakan akal sebanyak 24 ayat, na’qilu yang berarti kami menggunakan akal sejumlah satu ayat, ya’qilu yang berarti dia menggunakan akal sejumlah 1 ayat, yatadabbarun yang berarti mereka merenung sebanyak 2 ayat, yanzhurun yang berarti mereka bernalar sebanyak 27 ayat, tanzhurun yang berarti kalian bernalar sebanyak 3 ayat dan lain sebagainya.
Selain perintah untuk menggunakan akal untuk berpikir, merenung, dan sejenisnya, al Qur’an juga menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Di dalam al Qur’an juga terdapat lebih dari 750 ayat yang menunjukkan kepada fenomena alam, dan manusia diminta untuk dapat memikirkannya agar dapat mengenal Tuhan lewat tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mencatat bahwa kunci dari maraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir dan independensi ulama dari ranah politik. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupunteks keagamaan. Konsentrasi para ulama dalam ranah pengetahuan keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat adiluhung serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di seantero dunia. Buah dari itu semua, pemikiran Islam telah menjadi gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
Karena itu, perlu kita menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif, kreatif. Ibnu Rushd dalam Fashl al- Maqal bi ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal [1982], mempunyai pesan menarik, bahwa hikmah, penalaran, dan filsafat adalah sahabat agama [syariat], dan saudara sesusuan. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan Al Qur’an dalam puluhan ayatnya menyebutkan pentingnya berpikir.
C. Varian Pemikiran Islam
Keberadaan dan perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pusaran ilmu itu ialah al Qur’an dan sunnah atau hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Situasi ini didukung oleh perkembangan bahasa Arab yang telah digunakan jauh sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sehingga posisi bahasa Arab mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu Islam selanjutnya. Kondisi seperti ini disebabkan oleh sumber ilmu Islam yang menggunakan bahasa Arab sebagai medium komunikasi ke wilayah publik.
Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain, seperti Yunani, Persia, India, dan lain sebagainya. Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu kalam [ teologi Islam ], dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-interaksi tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan dinamika beberapa varian pemikiran Islam, yang merupakan khazanah [turats] Islam yang senantiasa harus terus dipelihara dan dijaga keberadaannya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan yang menyertai perputaran dunia ini.
1. Bidang Kalam [Teologi]
Kalam secara harfiah berarti pembicaraan. Istilah ini merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangandari luar. Para pendukungnya, mutakallimun, adalah orang-orang yang menjadikan dogma atau persoalan-persoalanteologis kontroversial sebagai topik diskusi dan wacana dialetik, dengan menawarkan bukti-bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.
Definisi di atas nampaknya mengamini paparan Ibn Khaldun, yang menyatakan bahwa teologi atau kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodoks Muslim. Para ulama sepakat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam. Ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah laku bertauhid, yang apabila ada suatu masalah, bisa langsung ditanyakan kepada Nabi.
Isu pertama yang berakibat langsung pada keretakan masyarakat Muslim sesaat setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah perkara keabsahan pengganti Nabi saw. atau khalifah. Setelah khalifah Utsman ibn ‘Affan terbunuh pada 656, isu pengganti Nabi saw. ini semakin mengemuka. Puncaknya, bentrokan antara pendukung ‘Al ibn Thalib yang juga menantu nabi saw. dan Mu’awiyah sebagai kerabat khalifah yang terbunuh dan Gubernur Damaskus tak bisa dielakkan.
Sebagian umat Islam telah berani membuat analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan, hal ini, yang mungkin menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan Qadariah.
Perselisihan umat Islam tersebut di atas terus berlanjut, hingga berpuncak pada peristiwa arbitrase, yaitu upaya penyelesaian sengketa antara Ala bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada perang Shiffin dan perselisihan Ali ibn Abi Thalib dengan Aisyah pada perang Jamal. Peristiwa-peristiwaini cukup banyak andilnya dalam melahirkan aliran atau mazhab dalam ilmu kalam [teologi].
Dalam perang Shiffin terjadi perdamaian atau tahkim antara pihak Ali dan Mu’awiyah, akan tetapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut Ali ibn Abi Thalib. Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang dalam perkembangan selanjutnya mereka itu disebut Khawarij. Kelompok Khawarij berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui dan apalagi melaksanakannya dihukumkan berdosa besar dan setiap orang yang berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir. Salah satu alasan mereka karena tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir adalah orang yang tidak percaya, lawannya mu’min artinya orang yang percaya. Kedua istilah ini dalam al Qur’an biasanya berlawanan. Kata kafir yang ditujuan pada golongan di luar Islam, Oleh Khawarij dipergunakan dengan makana yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam Islam sendiri.
Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji;ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah ibn Saba’ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi’ah.
Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji’ah itu masih berlanjut sampai pada masa Hasan Basri [ 642-728 M ]. Pada suatu hari Hasan Basri sedang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, datanglah seorang menanyakan tentang dosa besar yang dipertentangkan di atas, apakah membawa kekafiran atau tidak.
Sementara Hasan Basri merenungkan jawabannya, maka berdirilah salah seorang muridnya yang bernama Wasil ibn Atho’ seraya berkata : menurut saya orang itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tempatnya baina manzilatain dan orang itu disebut fasik. Setelah berkata demikian, ia keluar dari kelompok belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada didekatnya tentang apa yang diucapkannya itu. Memperhatikan keadaan Wasil ibn Atho tersebut, Hasan Basri berucap : I’tazala ‘anni telah keluar Wasil ibn Atho dari kita. Sejak itu Wasil ibn Atho dan para pengikutnya disebut dengan Muktazilah dan akhirnya menjadi mazhab mu’tazilah.
Perselisihan masalah akidah di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah Makmun yang menetapkan bahwa paham Mu’tzilah sebagai paham resmi dari kekhalifahan dan rakyat harus mengikutinya. Pada masa ini, seorang yang berkecimpung dalam paham Mu’tazilah 40 tahun lamanya ingin menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Orang itu adalah Abui Hasan al Asy’ari dan selanjutnya dibantu oleh Imam maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham Ahlu Sunnah wal Jamaah, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.
Selain faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada paham teologi, ada lagi faktor pertemuan antara ajaran Islam dengan kebudayaan lain. Perkenalan umat Islam dengan kebudayaan dan peradaban luar teutama yang berkaitan dengan filsafat ketuhanan, ditunjang pula dengan kemenangan umat Islam, mengharuskan umat Islam mempelajari pengetahuan, system berpikir dan filsafat mereka.
Faktor lainnya, yaitu berkaitan dengan pemahaman ayat al Qur’an, ialah kadar pengetahuan dan penghayatan umat Islam terhadap nash-nash agama, yang kelihatannya ada beberapa ayat yang tidak sejalan, sehingga terjadilah penafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an dan al Hadist yang berbeda antara ulama yang satu dengan yang lainnya.
2. Bidang Fikih
Islam sebagaimana dikenal, mulai dari Madinah merupakan negara dan sebagai negara tentunya harus mempunyai lembaga hukum, untuk mengatur hidup kemasyarakatan warganya. Hukum yang dipakai dalam Islam berdasar pada wahyu, dan kalau diperhatikan sejarah turunnya wahyu, akan kelihatan bahwa ayat-ayat yang mengandung soal-soal hidup kemasyarakatan memang diturunkan di Madinah. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik ibadah maupun hidup kemasyarakatan, disebut ayat ahkam.
Pada masa Nabi, karena segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikannya, Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Segala ketentuan hukum yang dibuat Nabi itu sendiri bersumber pada wahyu dari Tuhan. Pada masa sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana, diperbandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul didaerah-daerah baru itu lebih sulit penyelesaiannya dari persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat Semenanjung Arabia sendiri.
Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para Sahabat kembali kepada al Qur’an dan Sunnah. Tetapi, sebagaimana diketahui ayat ahkam berjumlah sedikit dantidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada al Qur’an atau Sunnah Nabi, maka untuk itu Khalifah dan sahabat mengadakan ijtihad. Proses ijtihad pada aspek hukum ini semakin dibutuhkan dengan pada fase-fase selanjutnya. Seiring dengan banyaknya mujtahid [ pelaku ijtihad ], maka produk yang dihasilkannya pun sangat beragam.
Sejarah memperlihatkan bahwa produk pemahaman dan pemikiran umat dalam bentuk fikih berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliah menuju masyarakatIslami. Perubahan tersebut didasarkan atas rumusan prinsip umum tentang iman, ibadah, kidah dakwah, hukum keluarga, hukum muamalah, hukum pidana, dan sanksi sebagai berikut : [1] keterikatan hakim untuk menetapkan kemaslahatan umum atas dasar teks suci, yaitu al Qur’an dan Sunnah; [2]) perintah melaksanakan keadilan, keihsanan, persamaan, dan ukhuwah insaniyah; [3] larangan perang atas dasar ofensif dan kebolehan melakukan perang berdasarkan pertimbangan defensif serta meningkatkan hak dan kehormatan wanita; [4] terjaminnya hak milik pribadi, keharusan memenuhi janji dan perikatan serta larangan melakukan tipu daya; [5] pembedaan hak adami dan hak Allah SWT, yakni hak pribadi dan hak Allah SWT dalam sanksi.
Prinsip umum di atas kemudian dijabarkan dalam cabang fikih sebgai upaya untuk melakukan klasifikasi fikih dalam mengatur perilaku kehidupan umat. Misalnya, hukum ibadah mengatur hubungan antara individu dengan Allah SWT. Hukum keluarga [al ahwal asy Syakhsiyyah] mengatur hubungan antara individu dengan individu dalam keluarga. Hukum kebendaan dan kewarisan [fikih muamalah dan fikih mawaris] mengatur hubungan antara individu dengan individu dalam hal kebendaan, komunitas dan negara. Hukum perkawinan [fikih munakahat] mengatur hubungan antara individu dengan individu untuk melindungi kehormatan dan keturunan. Hukum pidana [fikih jinayah] mengatur lalu lintas antarhubungan yang menjamin ketentraman dan ketertiban masyarakat dan bernegara melalui sistem sanksi. Hukum tata negara [fikih siyasah] mengatur hubungan dan tata cara pengaturan Negara dan pemerintahan serta hubungan antarnegara dan bangsa.
Setelah melalui prosesyang panjang, produk hukum ini kemudian mengkristal menjadi mazhab-mazhab fiqh yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fiqh mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada pemikiran [ra’yi] dan analogi [qiyas]. Pendekatan ini diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya didasarkan pada hadist, tradisi-tradisi Rasul. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz. Dan di kalangan orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadist, karenanya mereka lebih menonjol mempergunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahl al ra’yi.
Tokoh-tokoh Irak yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat mereka adalah Imam Hanafiah. Sedangkan pemimpin Hijaz adalah Malik bin Anas, dan sesudahnya, Asy’Syafi’i. Setelah mereka, muncul Imam Ahmad bin Hanbal, seorang muhaddist terkemuka. Dengan bekal hadist yang melimpah, ia belajar dari sahabat-sahabat Imam abu Hanifah, lalu Imam Ahmad bersama para sahabatnya memiliki mazhab sendiri. Keempat tokoh inilah yang kemudian menjadi mazhab jumhur pada bidang figh, di samping tentu ada pengecualian pada kelompok Syi’ah.
Abu Hanifah sebagai Imam mazhab Hanafi berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufah pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil berdagang mementingkan ilmu pengetahuan. Setelah menjadi masyhur kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Umayyah dan kemudian juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran itu ditolak dan atas penolakan ini, ia akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal dunia di tahun 767 M.
Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi di Kuffah. Kuffah terletak jauh dari Madinah, dan sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia, kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Disana problema-problema kemasyarakatan lebih banyak timbul daripada di Madinah.
Mazhab Hanafi adalah mazhab yang resmi dipakai oleh kerajaan Utsmani dan di zaman bani Abbas banyak dianut di Irak. Sekarang penganut mazhab ini banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara yang masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir.
Malik ibn Anas lahir di Madinah pada tahun 713 M dan berasal dari Yaman. Diberitakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia meninggal dunia pada tahun 795 M. Dalam pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Madinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi ini berasal dari sahabat, dan tradisi Sahabat lebih kuat untuk dipakai sebagai sumber hukum. Kalau ia tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al Qur’an dan sunnah, ia memakai qiyas dan al-masalih al-mursalah, yaitu maslahat umum. Mazhab malik banyak dianut di Hejaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur.
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’I lahir di Ghazza di tahun 767 M. dan beasal dari suku bangsa Quraisy. Ia meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Al Syafi’I dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, bentuk lama dan bentuk baru. Bentuk lama disusun di Bagdad dan terkandung dalam Al-Risalah, Al –Umm dan Al-Mabsut. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini dirobah sebahagian dari pendapat-pendapat lama.
Dalam pemikiran hukumnya, Al-Syafi’I berpegang pada lima sumber, al Qur’an, sunnah Nabi, ijma’ atau konsensus, pendapat sebahagian Sahabat yang tidak diketahui adanya perselisihan dan qiyas atau analogi. Mazhab Syafi’I banyak dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.
Ahmad in Hambal lahir di Bagdad pada tahun 780 M dan berasal dari keturunan Arab. Ia meninggal di Bagdad di tahun 855 M, dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal memakai lima sumber, Al-Qur’an, sunnah, pendapat Sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan Sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa Sahabat, dengan syarat sesuai dengan Al Qur’an serta sunnah, hadist mursal dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa.
Penganut mazhab Hambali terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Di antara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Hambalilah yang paling kecil penganutnya. Fikih sendiri sebagai nama lain dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembangannya, bahkan hingga saat ini. Para Imam mazhab pendahulu yang telah berijtihad keras dalam merumuskan aturan dasar-dasar dalam mengambil sebuah putusan hukum [ushul fikih] selain berpegang pada aturan pokok berupa al Quran dan hadist, juga senantiasa menyesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, tidak heran apabila banyak perbedaan pendapat dari mereka. Namun hal ini tidak menjadi soal, bahkan mereka saling menghargai terhadap pendapat yang lainnya. Karena mereka berpegang pada sabda Nabi, bahwa perbedaan antara umatku adalah rahmat [al ikhtilaf baina ummati rahmat ].
Secara umum, dapat dijelaskan tahapan-tahapan perkembangan tersebut, adalah : Pertama, pembentukan dimulai sejak kerasulan Muhammad AW masa al Khulafa ar Rasyidun, hingga paruh pertama abad ke-1 H, pada tahap ini sumber hukum meliputi wahyu serta akal, yaitu al Qur’an, sunnah, ijmak, dan ijtihad. Kedua, adalah masa pembentukan fikih yang dimulai pada paruh pertama abad ke-1 hingga dekade awal abad ke-2 H. pada tahap ini, fikih telah terbentuk mazhab. Ketiga, adalah masa pematangan bentuk yang dimulai sejak dekade awal abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H. Pada masa ini, ijtihad dalam bentuk fikih dikodifikasi dan dilengkapi dengan ilmu ushul fikih. Keempat, adalah masa kemunduran fikih yang ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni jatuhnya Bagdad ke tangan tartar dan tertutupnya pintu ijtihad oleh para ulama. Pada masa ini fukaha hanya menemouh metode ai mutun [jamak dari al matan], syarah, alhawasyi [jamak dari al hasyiyyah] dan taqrirat [jamak dari taqrir] dalam penulisan kitab fikih. Kelima, adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan Negara. Kesadaran ini dipelopori oleh pemerintahan Dinasti Usmani dengan terbitnya majalah al Ahkam al Adiliyyah. Pemikiran dalam hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan itu pun kemudian berkembang di negeri Islam hingga kini.
3. Bidang Filsafat
Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama,yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta Manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang jelasan dan ketidakpastian.
Dalam beberapa madrasah besar, pengajaran filsafat tidak masuk teras mata kuliah pokok, tetapi digolongkan dalam ‘ulum al’-a’jam [ ilmu-ilmu asing ], artinya tidak langsung bertempatantara ‘ulum al-din yang berdasarkan tradisi dan disebut ulum al-naqliyah. Dilihat dari segi lain, filsafat bersama dengan ilmu mantiq, dan filogi [ lughat, nahwat, sarf, dan adab ], dipergunakan sebagai alat [ ‘aliyyah ].
Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik dan kadang-kadang jauh dan buruk. Adakalanya para agamawan merintis perkemangan filsafat, dan adakalanya orang yang beragama terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam.
Dalam prespektif falasifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman [ inteleksi ] dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Al Kindi sebagai filsuf muslim pertama memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia yang berupaya pertama kali menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktivitas intelektual yang bisa serasi.
Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Kebudayaan dan filsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Yang Agung ke Timur di abad ke-4 sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian melahirkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur seperti Iskandariah, Antioch, Harran, Edessa, Qinnesrin,dan Nasibin.
Di Zaman Bani Umayyah, karena perhatian lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah, yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani.
Khalifah-khalifah Bani Abbas pada mulanya tertarik pada ilmu-ilmu kedokteran Yunani dengan cara pengobatannya yang baik dan mujarab, tetapi kemudian mereka tertarik pula kepada ilmu-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Perhatian pada filsafat meningkat di zaman Khalifah al Ma’mun [ 813-833M ], putra Harun al Rasyid. Utusan-utusan dikirimke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Untuk keperluan itu al Ma’mun bahkan menetapkan kebijakan resmi bagi aktivitas ‘pengaraban’ karya-karya filsafat,sains,dankedokteran Yunani. Sebagai khalifah yang cerdas dan cemerlang, Al Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah [Rumah Hikamh] di Bagdad pada 830 M sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Bait al Hikmah yang dipimpin oleh Yuhanna ibn Masawaih [w. 857] dan tak lama kemudian digantikan oleh muridnya, Hunain Ibn Ishaq [w. 873] adalah institut terbesar sepanjangsejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebahagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebahagian dari karangan-karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-Platonisme, sebahagian besar dari karangan-karangan Galen serta karangan-karangan dalam ilmu kedokteran lainnya, dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam.
Golongan yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu’ tazilah. Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Jubba’I dan lain-lain banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’ tazilah, segera pula timbul filosof-filosof Islam.
Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Al Kindi. Ia lahir di Kufah pada tahun 796 M dan meninggal di Bagdad di tahun 873 M. Al Kindi bukan hanya filosof tetapi juga ilmuanyang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Buku-buku yang ditinggalkannya mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, geometri, astronomi, pharmacology [ teori dan cara pengobatan ] ilmu hitung, ilmu jiwa, optika, politik, musik dan sebagainya.
Filosof besar yang kedua adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzlagh Al Farabi. Ia lahir di Farab, Transoxania pada tahun 872 dan meninggal pada tahun 950 M di Damsyik.. Al Farabi menulis buku-buku mengenai logika, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik, dan sebagainya. Kalau Al Kindi mendapat gelaran Failusuf Al Arab, Al Farabi terkenal dengan nama Al-Mu’alim Al-Tsani [Guru Kedua] . Al- Mu’alim al Awwal [Guru pertama] adalah Aristoteles. Di dunia latin ia dikenal dengan nama Alpharabius.
Filosof lain yang melampaui Al Farabi dan Al Kindi dalam kemasyuran adalah Abu ‘Ali husein Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana suatu tempat di dekat Bukhara dan meninggal di Isfahan pada tahun 1037 M. Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna dan kemasyurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyurannya sebagai filosof, sehingga ia mereka beri gelar ‘ the prince of Physicisns ‘. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Shaykh al-Ra’is, pemimpin utama [dari filosof-filosof].
Al Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia Islam bagian Timur. Di Indonesia, sosok ini sangat terkenal dengan kitab Ihyanya. Nama lengkap, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali lahir di Ghazelah, suatu desa di dekat Tus di daerah Khurasan [ Persia ] pada tahun 1059 dan wafat di Nisyafur pada tahun 1085 M. Di dunia Barat abad pertengahan Al Ghazali dikenal dengan nama Abuhamet dan Algazel. Di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam.
Pasca al Ghazali, filosof-filosof besar selanjutnya muncul di Andalusia. Satu filosof terbesar yang dihasilkan adalah Abu Al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Di masa mudanya Ibn Rusyd belajar teologi Islam, hukum Islam, ilmu kedokteran, matematika, astronomi, sastra, dan filsafat. Buku-buku Ibn Rusyd mengenai falsafat Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli pikir Eropa sehingga di beri gelar Penafsir [Commentator ],yaitu penafsir dari filsafat Aristoteles. Kalau di Barat Ibn Rusyd dikenal sebagai dokter damn penafsir filsafat Aristoteles, di dunia Islam ia dikenal sebagai ahli hukum dan filosof yang membela rekan-rekannya dari kritik dan serangan al Ghazali.
Setelah kematian Ibn Rusyd, tradisi permenungan di kalangan Muslim agak meredup, namun bukan berarti mati. Di belahan Timur, terutama Persia, sebagaimana diungkap pengkaji filsafat Islam terkemuka, Henry Corbin [ 1993 ] Averroisme [ Ibn Rusyd ] memang telah menghilang tanpa jejak, namun kritik al Ghazali atas filsafat tidak pernah dianggap berhasil mengakhiri tradisi yang dikembangkan oleh Avicenna [Ibnu Sina].
Di Persia fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasinya yang indah dengan mistisme, yang dikenal dengan filsafat Persia atau isyraqi. Diresmikan oleh al Suhrawardi [1155-1191 M], fase ini ditandai oleh usaha positif untuk mendamaikan filsafat dan mistisme; dengan cara yang pernah disuarakan oleh Ibn Sina [980-1037 M], namun belum sempat diimplementasikannya. Tradisi isyraqi ini kemudian memuncak pada sosok Mulla Sadra [1571-1640 M] dengan hikmat transendentalnya. Kesinambungan tradisi isyraqi di Iran pada masa sekarang dibuktikan oleh kehadiran sejumlah besar institut teologi di Qum, Masyad dan Teheran ataupun di Najaf, Irak yang melanjutkan tradisi keilmuan filsafat dan teologi isyraqi,dan sejumlah ilmuan yang terus meneliti karya-karya para guru isyraqi.
Filsafat sebagai satu bagian yang sah dari Islam, memang memiliki varian yang beragam sebagaimana dijelaskan di atas. Keberadaannya seringkali dicurigai bahkan dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Namun sebagaimana ditulis Fazlur Rahman [1985: 190 ], filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana pandangan yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodoks Islam, tetapi filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia [ world view ] berdasarkan al Qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh filsafat.
4. Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah tingkah laku dan perasaan; tingkah laku yang menjauhi segala keinginan dan hal-hal yang memesona dan ditujukan demi kesucian jiwa dan tubuh. Perasaan cinta dan bahagia, manakala seorang murid [ orang yang berkehendak ] mencapai dua kesucian ini. Tasawuf juga berarti amal dan analisa; amal yang berlandaskan pada mujahadah [memerangi hawa nafsu sendiri] dan mujahadah [ ketahanan diri menghadapi bencana ] pusa di siang hari dan beribadah sunnah di malam hari, mengorbankanjiwa dan harta yang nampak ke dalam alam batin. Akhirnya tasawuf adalah ada dan tiada; tiada bagi orang yang tergesa dan ada bagi orang yang tidak tergesa [mementingkan akhirat, al Ajil]. Tiada bagi orang yang sirna dan ada bagi orang yang kekal, tiada bagi manusia dan ada bagi Tuhan.
Tasawuf secara ringkas adalah mata rantai yang terdiri atas kondisi-kondisi [al-ahwal] dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang mau menjadi sufi memulai langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa menjadi orang yang berhak menerima tajalli [penampakan], selalu meningkat hingga bisa merasakan Allah [ada] di relung jiwanya dan demukian dekat dengan-Nya. Kajian-kajian tasawuf dalam Islam tidak terbentuk sekaligus, tetapi berkembang menembus perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap.
Tasawuf Islam melewati berbagai fase. Pertama, tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Disini seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat serta secara teguh berusaha melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah. Kaum tasawuf Islam membutuhkan waktu kira-kira dua abad dalam kondisi demikian. Kaum zuhud generasi pertama amat banyak, antara lain al Hasan al Basri [110 H / 728 M] sebagai tokoh kaum zuhud Basrah, Ibrahim bin Adham [159H / 776 M] sebagai tokoh zuhud Balkh, dan Rabi ah al Adawiyyah sebagai tokoh kaum zuhud wanita. Dalam beribadah kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat-tempat yang terisolir dari manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku [al suluk ] dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan jiwa dan tubuh. Pada fase ini juga tasawuf tidak banyak mementingkan kajian atau studi, di samping tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran pikiran.
Pada fase kedua, kaum sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama-tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia-rahasianya, dijelaskan segala kondisi dan maqamnya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana’ dan kekal. Mereka mencari cinta ilahi di mana saja bisa ditemukan. Mereka membicarakan pemecahan terhadapbanyak masalah, mirip dengan kajian-kajian psikologis. Tokoh-tokoh sufi pada fase ini misalnya al Muhasibi [ 242 H / 857 M ] Zu al Nun al Misri [ 244 H / 859 m ], Abu Yazid al-Bistami [ 260 H – 874 M ], al Junaid [ 298 H-910 M ], al Hallaj [ 309 H / 922 M ]. Secara ringkas, pada abad ke-3 dan ke-4 menggambarkan zaman keemasan tasawuf Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984.
Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective an Method, Englewood Cliffs, New Jersey: Prantice Hall, Inc., 1969.
Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958.
Joseph van Ess, The Logical Structural of Islamic Theology, “An Antologi of Islamic Studies”, Kanada: Mc Gill Indonesia IAIN Development Project, 1992.
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II.
Muhammad Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, Albania: State University of New York Press, 1975.
Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arab al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar