Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance
atau job performance tetapi dalam bahasa Inggrisnya sering disingkat
menjadi performance saja. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga
prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan
sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap,
ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Masalah
kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat
berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. “performance =
Ability x motivation”. Dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja
adalah kemampuan dan kemauan. Memang diakui bahwa banyak orang mampu
tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian
pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu juga tetap tidak
menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau
prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain
bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Penilaian kinerja
menurut Hendri Simamora adalah alat yang berfaedah tidak hanya untuk
mengevaluasi kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan
dan memotivasi kalangan karyawan.[1] Sejalan dengan pendapat tersebut
Hasibuan mengemukakan bahwa penilaian prestasi adalah kegiatan manajer
untuk mengevaluasi perilaku prestasi kerja karyawan serta menetapkan
kebijaksanaan selanjutnya.[2] Dalam penilaian kinerja tidak hanya
semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara
keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan,
kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang
tugasnya semuanya layak untuk dinilai.
Prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor di atas, semakin besarlah prestasi kerja karyawan bersangkutan.
Dari pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang pegawai telah memiliki kemampuan dalam penguasaan bidang pekerjaannya, mempunyai minat untuk melakukan pekerjaan tersebut, adanya kejelasan peran dan motivasi pekerjaan yang baik, maka orang tersebut memiliki landasan yang kuat untuk berprestasi lebih baik.
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian prilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2) kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; (5) keputusan yang diambil; (6) perencanaan kerja; (7) daerah organisasi kerja.[3]
Jika kinerja adalah kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi.
Hasibuan menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (inpuFaktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: (1) sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); (2) pendidikan; (3) ketrampilan; (4) manajemen kepemimpinan; (5) tingkat penghasilan; (6)gaji dan kesehatan; (7) jaminan sosial; (8) iklim kerja; (9)sarana pra sarana; (10) teknologi; (11) kesempatan berprestasi.[4]
Bertolak dari pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja guru atau prestasi kerja (perforamce) adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin baik
Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Tapi perlu definisi khusus tentang kinerja itu sendiri. Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru. Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya.[5] Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan. Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala madrasah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya.
Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru:
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2. Bagaimana guru dan kepala madrasah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.[6]
Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala madrasah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala madrasah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala madrasah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi[7].
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala madrasah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.
Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional.[8] Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala madrasah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala madrasah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala madrasah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.
Andi Kirana sebagaimana dikutip oleh Wannef Jambak[9] mengatakan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan mengimplikasikan suatu keinginan untuk melimpahkan tanggung jawab dan berusaha membantu dalam menentukan kondisi dimana orang lain dapat berhasil.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menjelaskan apa yang diharapkannya, harus menghargai kontribusi setiap orang, harus membawa lebih banyak orang keluar “kotak organisasi” dan harus mendorong setiap orang untuk berani mengemukakan pendapat. Sedangkan menurut Mulyadi dan Setiyawan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sholeh pengemukakan bahwa pemberdayaan staf adalah pemberian wewenang kepada staf untuk merencanakan dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari atasan. Pemberian wewenang oleh manajemen kepada staf dilandasi oleh keberdayaan staf. Pemberdayaan bersifat mendukung budaya dan tidak menyalahkan. Kesalahan dianggap kesempatan untuk belajar[10]
Pemberdayaan menurut Jambak harus didukung oleh sejumlah etika yang konsisten, dan orang-orang yang hidup dengan etika tersebut memberikan contoh bagi yang lain. Etika dari pemimpin yang memberdayakan adalah menghormati orang dan menghargai kekuatan dan kontribusi mereka yang berbeda-beda, menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka, jujur, bertanggung jawab untuk bekerjasama dengan yang lain, mengakui nilai pertumbuhan dan perkembangan pribadi, mementingkan kepuasaan pelanggan, berusaha memenuhi kebutuhan akan adanya perbaikan sebagai suatu proses yang tetap dimana setiap orang harus ikut ambil bagian secara aktif. Nilai-nilai etis ini akan membantu organisasi menjadi lebih kuat dan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja bagi setiap individu. Pemberdayaan bertujuan menghapuskan hambatan-hambatan sebanyak mungkin guna membebaskan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, melepaskan mereka dari halangan-halangan yang hanya memperlambat reaksi dan merintangi aksi mereka
Menurut Mulyadi dan Setiyawan dalam Muhamamd Sholeh untuk mewujudkan suatu pemberdayaan dalam organisasi, seorang pemimpin harus memahami tiga keyakinan dasar berikut :
1. Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah
2. Staf pada dasarnya baik
3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.[11]
Ad. 1 Badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah
Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan, karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak terampil. Kenyataannya, di masa lalu organisasi lebih banyak dirancang untuk memastikan bahwa kesalahan tidak pernah terjadi. Dalam terminologi lama organisasi, pengambilalihan tanggung jawab bawahan oleh atasan merupakan hal yang normal terjadi, dan dibenarkan dengan suatu alasan bahwa suatu organisasi dibentuk untuk menghindari kesalahan.
Ad. 2 Staf pada dasarnya baik
Inti pemberdayaan staf adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Meskipun kadang-kadang orang gagal, dan kadang-kadang orang melakukan kesalahan, namun tujuan orang adalah menuju kebaikan. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang berfikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya. Untuk dapat memberdayakan orang lain, atasan harus secara sederhana yakin bahwa;sepanjang masa, hampir setiap orang , hampir selalu, akan menggunakan kekuatannya dalam mewujudkan visinya dan dipandu oleh nilai-nilai kebaikan. Pemberdayaan staf dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, atasan tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Atasan melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada staf, memberikan arah yang benar, dan membiarkan staf untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Ad 3. Pemberdayaan staf menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada staf.
Dari pemberdayaan staf, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan staf adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada staf, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh staf melalui kinerjanya. Lebih lanjut Stewart mengatakan ada enam cara yang dapat digunakan pemimpin dalam mengembangkan pemberdayaan staf/bawahan, yakni: meningkatkan kemampuan staf/bawahan (enabling), memperlancar (facilitating) tugas-tugas mereka, konsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring) bawahan, dan mendukung (supporting).
Namun apapun cara yang ditempuh oleh pemimpin dalam memberdayakan staf/bawahan, menurut Sarah Cook dan Steve Macaulay kepemimpinan yang memberdayakan perlu mengacu pada empat dimensi, yaitu visi, realita, orang (manusia), dan keberanian.[12] Visi, pemimpin yang memberdayakan melihat semuanya secara luas dan mendorong pemahaman anggota tim tentang bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan situasi dan berbagi dengan anggota tim tentang kemungkinan-kemungkinan baru di masa mendatang. Mereka memotivasi yang lain dengan visi tentang apa yang mereka coba meraih dan mendorong tim untuk memikirkan cara sampai ke sana. Realita, kepemimpinan yang memberdayakan menanggapi dan mencari fakta-fakta tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka tetap menjaga agar kaki mereka tetap menginjak bumi dengan secara teratur;memeriksa realita dan tidak mudah terpedaya atau mengabaikan peringatan. Mereka menyadari akan keberadaan orang lain dan keberadaan mereka sendiri.
Orang (manusia), pemimpin yang memberdayakan sensitif terhadap orang (sesama manusia), siap memenuhi kebutuhan orang lain dan melakukannya dengan cara etis yang akan membangun saling percaya dan menghormati. Keberanian, pemimpin yang memberdayakan adalah pemimpin yang siap bernisiatif dan mau mengambil resiko. Mereka tidak terbelenggu oleh cara-cara lama dalam menangani sesuatu di masa lalu atau oleh ketakutan-ketakutan akan kesalahan yang tidak beralasan.
Dalam memberdayakan staf/bawahan seorang pemimpin disamping harus berpegang pada etika dan prinsip-prinsip pemberdayaan yang ada, ia juga harus berani berbaur dengan staf/bawahan, mampu menjadi pembimbing dan motivator bagi mereka serta mampu menunjukkan dirinya sebagai sosok yang dapat diteladani akibat pemberdayaan itu sendiri.
Salah satu tugas kepala madrasah selaku manager terhadap guru salah satunya adalah melakukan penilaian atas kinerjanya. Penilaian ini mutlak dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh guru. Apakah kinerja yang dicapai setiap guru baik, sedang atau kurang. Penilaian ini penting bagi setiap guru dan berguna bagi sekolah dalam menetapkan kegiatannya.
Dengan penilaian berarti guru mendapat perhatian dari atasannya sehingga dapat mendorong mereka untuk bersemangat bekerja, tentu saja asal penilaian ini dilakukan secara obyektif dan jujur serta ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut penilaian ini guru memungkinkan untuk memperoleh imbalan balas jasa dari sekolah seperti memperoleh kenaikan jabatan seperti menjadi wakil, ketua jurusan, modal untuk mendapatkan kenaikan pangkat dengan sistem kredit.
Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi atau perusahan tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup seperti hal-hal di atas. Demikian juga untuk menilai kinerja guru, unsur-unsur yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan oleh kepala madrasah untuk melakukan penilaian namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai guru dengan utamanya sebagai pengajar.
Dalam melaksanakan tugasnya , guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari dari sebuah “mesin besar” pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun dalam konteks profesionalisme guru dimana mengajar dianggap sebagai pekerjan profesional, maka guru dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Misalnya, di Amerika Serikat isu tentang profesionalisasi guru ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an. Hal itu masih berlangsung hingga sekarang.
Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership edisi 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini. Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswa; Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar; Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukaknnya , dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa; Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya.[13]
Untuk menciptakan guru yang profesional tersebut, diperlukan adanya bimbingan dan supervisi dari kepala madrasah. Tanpa adanya supervisi, peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja guru tergantung bagaimana gaya kepemimpinan kepala madrasah dalam memimpin. Bila kepala madrasah bersifat otokratik, maka guru akan cenderung bersikap pasif dan menunggu komando dari pimpinan. Dalam kepemimpinan yang laissez faire, guru akan melakukan inisiatif sebisanya atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan yang demokratis, guru dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru
Kinerja guru dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor[14], yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan, sementara faktor situasi kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Gibson, et al dalam Srimulyo ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik
b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
c. demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.
2. Variabel organisasional, terdiri dari:
a. Sumberdaya
b. Kepemimpinan
c. Imbalan
d. Struktur
e. Desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis, terdiri dari:
a. Persepsi
b. Sikap
c. Kepribadian
d. Belajar
e. Motivasi. [15],
Ketiga variabel tersebut berhubungan satu sama lain dan saling pengaruh-mempengaruhi. Gabungan variabel individu, organisasi, dan psikologis sangat menentukan bagaimana seseorang mengaktualisasikan diri.
Menurut Tiffin dan Me. Cormick dalam Srimulyo, ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual lainnya.
2. Variabel situasional:
1. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi)
2. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.[16]
Sutemeister dalam Srimulyo mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Kemampuan
a. Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b. Ketrampilan : kecakapan dan kepribadian.
2. Faktor Motivasi
a. Kondisi sosial : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan
b. Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistic
c. Kondisi fisik : lingkungan kerja. [17]
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi kinerja guru. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri, dan juga dapat berasal dari luar atau faktor situasional. Disamping itu, kinerja dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan individu.
Endnotes :
[1]Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000), h. 415
[2]Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia,(Jakarta:Bina Aksara, 2000), h. 87
[3]Ibid, h. 89
[4]Ibid, h. 126
[5] Robert Bacal,.Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 86
[6]Ibid. h. 94
[7]Karen R. Seeker, dan Joe B. Wilson. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan).( Jakarta : PPM. 2000), h. 135
[8]Ronald T. C Boyd,.. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest , 1989, h. 84
[9]Wannef Jambak, Dicari Kepala madrasah yang Mampu Meningkatkan Mutu Pendidikan, dalam http://gurutapteng.wordpress.com/2007/03/04/dicari-kepala-sekolah-yang-mampu-meningkat-kan-mutu-pendidikan/, akses tanggal 3 Oktober 2007
[10]Muhammad Sholeh, Peran Kepala madrasah Dalam Pemberdayaan Guru, dalam http://www.duniaguru.com /index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=40
[11]Ibid.
[12]Sarah Cook and Steve Macaulay, “Empowered customer service”, dalam Training for Quality Journal, Vol. 4. edisi 1, 1996 h. 9
[13]Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta : Adicita, 1999), h. 98
[14]Muhammad As’ad, Op. Cit. h. 49
[15]Srimulyo, Op. Cit, h. 39
[16]Ibid, h. 40
[17]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar