Jika
seseorang mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia menerima
bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika
kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga
kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila
golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu.
Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan
memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam.
Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi
jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih
belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang
mengalami kemusykilan. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman
Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau
Hadits-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada
memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga
deposito?
Kemusykilan seperti itu telah
dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at
pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang
sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan
peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi
lebih luas. Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang
mengatur bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut
al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti Umayyah
bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan lembaga yang
menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi. Lembaga ini tidak
terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka menganggap lembaga ini
sangat bagus. Kemudian penguasa Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan
menamainya Dewan Mazhalim. Mereka bukan saja menganggap dewan ini
tidak bertentangan dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.
Secara berangsur-angsur, para
ulama mengembangkan metode istinbath (menarik kesimpulan hukum)
baik berdasarkan kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash
maupun dari penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah
qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya
memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera
membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai kebolehan
menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu. Sebagian
menerimanya, sebagian menolakaya. Tidak jarang perbedaan itu
muncul karena perbedaan pemaknaan istilah-istilah itu.
Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan menganggapnya sebagai usaha
untuk membuat syari'at (man istahsana fa qad syara'a). Maliki
dan Hanafi memandang istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas.
Malik menyebut istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan
tis'at a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan
seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas khafi,
yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab Hanafi.
Tulisan ini akan dimulai dengan
mencoba menyelesaikan kemelut makna istihsan dan diakhiri dengan
petunjuk praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang
ini. Namun sebelum itu, sebagai pengantar, saya kutipkan
penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]
Bila mujtahid tidak menemukan
hukum dalam al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan pendapat para sahabat,
atau tidak ada yang dapat dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat
mereka, ia bersandar kepada qiyas.
Inilah yang ditetapkan oleh
Imam Syafi'i dan ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula
para pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah
dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah mengambil
mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun bersandar kepada
qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum itu dalam al-Qur'an dan
Hadits dalam maknanya yang lebih luas, walaupun ia berbeda dari
mujtahidin lainnya dalam cara dan cakupan penggunaan qiyas.
Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah.[2]
Adapun cara menggunakan qiyas sebagai berikut:
1. Seorang mujtahidin
melakukan penelitian apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang
illat untuk menentukan hukum far'.[3] Bila illat itu diketahui
dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada
hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya,
dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum yang asal dengan
far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang dipahaminya.
Kadang-kadang mujtahid
meninggalkan satu dalil kepada dalil yang lebih kuat, atau kepada
maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma'
atau kepada dharurat. Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena
ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar
dari upaya menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat.[4] Yang
demikian itu disebut istihsan.
B. Sumber Fiqh
Sumber fiqh merupakan landasan
yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh, dimana ulama fiqh membagi
dua macam sumber fiqh yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang
diperselisihkan.
Yang dimaksudkan dengan sumber
fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh. Ulama
fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan
sumber yang diperselisihkan.
Sumber yang disepakati atau
dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir
al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut
jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah
Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas.
Adapun sumber fiqh yang tidak
disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir
at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas
Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan
Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir
al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma',
Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut dikatakan
sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad.
Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum
Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada
Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode
ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama
usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi,
Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab
Syafi'i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa
hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir
at-Taba'iyyah tersebut.
Munculnya perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad
terhadap kasus tersebut. Misalnya, kasus perselisihan dalam jual beli.
Pembeli tidak mau menyerahkan uang sebelum barang yang dibelinya ia
terima, sedangkan penjual tidak mau pula menyerahkan barang sebelum uang
sebesar harga yang dituntutya diserahkan. Dalam kasus seperti ini,
pembeli dan penjual berstatus sama-sama penggugat disatu pihak dan
tergugat dipihak lain. Menurut qaidah umum (qiyas), penggugat wajib
mengemukakan alat bukti untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Namun
persoalannya adalah bagaimana menentukan penggugat dan tergugat dalam
kasus di atas.
Ulama Mazhab Hanafi
menyelesaikan persoalan itu melalui istihsan. Caranya dengan menetapkan
bahwa keduanya sama-sama tergugat dan penggugat. Jika qiyas diterapkan
dalam kasus ini, maka tidak bisa ditentukan siapa yang tergugat dan
siapa yang menggugat, karena keduanya dalam waktu yang sama berstatus
sebagai tergugat dan penggugat. Oleh sebab itu, baik melalui qaidah
maupun metode istihsan masing-masing, mereka harus mengemukakan alat
bukti atas gugatan mereka. Pembeli harus mengemukakan alat bukti bahwa
penjual menyerahkan barang yang dibeli sesuai dengan harga barang yang
menurutnya telah disetujui bersama, sebaliknya penjual harus pula
mengemukakan alat bukti bahwa harga yang dikehendakinya bukan seperti
yang dikemukakan pembeli. Pihak yang tidak bisa mengemukakan alat bukti
dinyatakan kalah dan harus menyerahkan tuntutan pihak lainnya.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN ISTIHSAN.
Pada saat-saat awal terbentuknya
pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya
dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu
Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama
kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak
dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz
dikenal sebagai ahl al-hadits.
Ahl al-ra'y sesuai dengan
situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya
(metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume
penggunaan hadist (sebagai salah satu sumber syari'ah). Ini tidak
berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat
terbatas.
Di pihak lain kita dapat
mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya,
mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume
penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan
sumber rasio (dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka
menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui
keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra'y yang volume
penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan
qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis
ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan
lebih luas.
Dalam hubungan inilah lahir
konsep Istihsan. Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak
beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran
hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri
atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering
mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Dengan kata lain mereka
mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut
Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini,
atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.
Sepanjang penelitian guru
besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo,
Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan
sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi
tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa
definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan
dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat.
Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena
tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan
qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma'
atau dharurah.
Definisi yang lain,
menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi),
tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang
jelas (jali). Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup,
tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas,
apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang
mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan
umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Sebagian lagi memberikan
definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang
bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam)
dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup,
karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau
mashlahah Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik
akan sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian
digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk
pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran d alam rangka
penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum
sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang
tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan itu, yakni
kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat
Islam.
Dalam analogi qias, dibutuhkan
adanya suatu ketentuan pokok yang bersifat terinci (tafshili)
untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya,
dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut.
Dalam bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah,
untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.
Dari uraian ini dapat ditangkap,
ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl),
landasan penyamaan ('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang
dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang
disebut hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini
merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan
hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'),
tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya penalaran yang
lain seperti Istihsan dan istislah dan seterusnya.
Analogi Istihsan tidak terikat
pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias
alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi
qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat.
Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias
khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula
dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu
ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum,
karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma',
atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan
adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau
keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan
elemen-elemen dalam hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran
hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum
sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab)
Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran
Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang
berbeda. Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan
Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam
Syafi'i, karena beliau
berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan
syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah
cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi, yang
perlu ditata dalam hukum Islam.[5]
D. PENGERTIAN ISTIHSAN.
Secara denotatif, istihsan
artinya memandang baik terhadap sesuatu.[6] Pendirian Dewan
Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan
istihsan. Menarik sekali, para ulama yang mempertahankan istihsan
mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata
istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang
mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18;
"Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55
Bila kita mengacu pada
literatur, kita akan menemukan banyak sekali definisi istihsan
--yang tidak selalu menunjukkan referensi yang sama. Ada definisi
yang dibuat dengan memperhatikan segi-segi politis dan bukan
segi-segi ilmiahnya.
Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak
menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:
Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang lebih sesuai dengan orang banyak.
Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.
Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).
Istihsan
artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau
mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang lebih kuat (al-Bazdawi dari
madzhab Hanafi).
Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).
Istihsan
artinya meninggalkan hukum masalah dari yang semacamnya karena dalil
syara' yang tertentu (al-Thufi dari madzhab Hambali).
Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid dengan akalnya.[7]
Karena kita mengalami
kesulitan memahami istihsan dari berbagai definisi itu, marilah
kita ambil contoh kasus yang oleh para mujtahid disebut sebagai
istihsan. Melihat aurat perempuan yang bukan muhrim haram, karena
dapat menimbulkan "fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang
dalam kurung itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang
sedang melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang
harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat auratnya,
ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia harus menolong
pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan
pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya dalam kasus pasien saja
dan dianggap tegas (kita sedang
melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.
Kadang-kadang seorang
mujtahid meninggalkan qiyas karena menemukan hadits yang lebih kuat,
atau karena memperhatikan kemaslahatan, atau karena 'urf (adat
kebiasaan yang sudah lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek
yang disebut istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:
Pertama, istihsan berarti
memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang bertentangan atau
berbeda (berikhtilaf). Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil
lafzhi --yakni dalil yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau
ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy
dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair
lafzhi.
Marilah kita mulai dengan
ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi. Dalam hal ini, ikhtilaf dapat
berupa tazakam dan ta'arudh. Yang dimaksud dengan Tazabum adalah
pembenaran dua hukum yang berasal dari syara', yang tidak mungkin
digabungkan. Ta'arudh artinya perbedaan hukum karena perbedaan
kasus (ikhtilaf shawar al-masalah).
Kita melakukan istihsan bila
kita mentarjih (menganggap lebih baik) salah satu di antaranya.
Sambil memberikan contoh-contohnya, saya akan menunjukkan
petunjuk-petunjuk praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.
Dulukan hukum yang mendesak
(mudhiq) di atas hukum yang memberikan kelonggaran (musi').
Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid dengan melakukan
shalat pada awal waktunya, atau antara menolong orang yang celaka dengan
melakukan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong
orang yang celaka.
Dulukan yang
tidak ada penggantinya dengan yang ada penggantinya. Misalnya,
menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu'
itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa
diganti dengan batu.
Dulukan yang
sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang memberikan alternatif
(mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar atau membayar kifarat. Anda
bernadzar untuk memberikan makanan bagi orang miskin, tapi juga Anda
harus membayar kifarat puasa.
Dulukan
yang lebih penting dari pada yang penting. Anda wajib melakukan haji
dan pada saat yang sama Anda harus membayar hutang. Bayarlah hutang Anda
lebih dulu.
Ta'arudh terjadi kalau ada dua
dalil syara' yang bertentangan. Para ulama ushul mengusulkan beberapa
cara, yang tidak dapat kita perinci satu per satu: mendulukan yang
mutlak di atas yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas
mansukh, hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang
disepakati di atas yang diikhtilafi.
Kedua, istihsan berarti
mengambil sesuatu yang sudah dipandang baik oleh 'urf atau akal.
Misalnya, mencatat pernikahan di kantor departemen Agama.
Istihsan dalam arti ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Karena apa yang dipandang baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat
subyektif, sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias
sosio-psikologis. Kita juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.
Ketiga, istihsan berarti
meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk mendatangkan maslahat atau
menegakkan hukum di atas pertimbangan maslahat yang lima: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini
disebut juga istishan atau al-mashalih al-mursalah.[8]
Qiyas berbeda dengan istihsan.
Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian
pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau
kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan
mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan
hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa
atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama
dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.[9]
Dengan perkataan lain bahwa pada
qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil
mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu
peristiwa.
E. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil
istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya
semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena
ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika
dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat
mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada
hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping
Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian
Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan
tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan
menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan
berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah
SWT."[10] Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan
pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan
yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut
mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab
Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah
kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan
dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah
perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa
hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
F. Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
Pindah
dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang
mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan
darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan
atau karena darurat.[11]
Contoh istihsan macam pertama:
Menurut Madzhab Hanafi: bila
seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang
diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah
itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas
jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf
itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak
milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual
beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan
hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian
pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu
diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik.
Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang
atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu
kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Menurut Madzhab Hanafi: sisa
minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan
istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing
dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang
telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada
dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga
air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung
buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang
buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau
zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu
tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh
paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu
yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.
Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua:
Syara' melarang seseorang
memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang
belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku
untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi.
Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang
dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan
waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan
(salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan
lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam
itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan
menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
Menurut hukum kulli, seorang
pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena
itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya.
Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros
itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu
hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan
diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak bahwa
karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum
juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya,
maka istihsan terbagi kepada:[12]
Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
Istihsan dengan sandaran nash;
Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
Daftar Pustaka
Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1996.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t..
Rakhmat, Jalaluddin, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001.
Syafi’I, ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
_____, al-Umm. Beirut: Dar Fikr, t.t.
Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, jil II. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, jil. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Taqiy, Muhammad, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran. Beirut: Dar al-Andalus, 1979.
Yafie, Ali Konsep Istihsan dan Istishlah, artikel internet pada www.paramadina.org didownload pada 7 Juli 2008.
Zuhaili, Wahbah Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar Fikr, 1986.
Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1996.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t..
Rakhmat, Jalaluddin, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001.
Syafi’I, ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
_____, al-Umm. Beirut: Dar Fikr, t.t.
Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, jil II. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, jil. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Taqiy, Muhammad, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran. Beirut: Dar al-Andalus, 1979.
Yafie, Ali Konsep Istihsan dan Istishlah, artikel internet pada www.paramadina.org didownload pada 7 Juli 2008.
Zuhaili, Wahbah Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar Fikr, 1986.
[1] Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t.), hal. 324 - 325.
[2] as-Syafi’I, ar-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H), hal. 504.
[3] Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram; (3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
[4] As-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, jil II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 116-117.
[5] Ali Yafie, Konsep Istihsan dan Istishlah, artikel internet pada www.paramadina.org didownload pada 7 Juli 2008.
[6] Louis Ma’luf, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 134.
[7] Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran (Beirut: Dar al-Andalus, 1979), hal. 361-362.
[8] Jalaluddin Rakhmat, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001), hal. 73.
[9] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1996), h. hal. 120.
[10] As-Syafi’I, al-Umm (Beirut: Dar Fikr, t.t.), hal, 313.
[11] As-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, jil. II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hal. 200.
[12] As-Sarkhasi, Ushul, hal. 203-205 lihat juga Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Beirut: Dar Fikr, 1986), hal. 743.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar