I. PENDAHULUAN
Di dalam al-Qur’an, Islam
dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah. Wahyu
Allah sebagai sumber pokok ajaran agama Islam yang turunnya berakhir
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan makhluk yang paling
sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal dengan memakai kesan-kesan
yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat
absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal
bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Oleh karena
itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber
pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih dapat
dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?
Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini saya akan mencoba menguraikannya.
II.PEMBAHASAN
II.PEMBAHASAN
A.Pengertian
1. Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحي), tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحي), tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Dalam
pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam
arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata
‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Tapi ini timbul
pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui
akal yang berpusat dikepala? Dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam
surat al-Hajj ayat 46 46 yang dikatakan bahwa pengertian, pemahaman dan
pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Sebagaimana
ayat berikut :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا (محمد:24)
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad : 24)
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad : 24)
Dan
ayat yang lainpun menjelaskan juga bahwa tidak disebutkan bahwa akal
adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql malahan dikatakan
sama dengan al-qolb yang berpusat di dada.
Memang banyak sekali
pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam
pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat
dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam
pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang
membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.1
2.Wahyu
Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
2.Wahyu
Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
Dalam pengertian
lain, wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli
Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan
kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan
dan kitab. Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara
sembunyi-sembunyi dan dengan cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya
komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri.
Dalam
Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
terkumpul semuanya dalam al-Qur’an. Salah satu ayat menjelaskan :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (الشورى:51)
Artinya : Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S al-Syura : 51)
Jadi ada tiga cara :
1.Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham
2.Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa
3.Melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (الشورى:51)
Artinya : Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S al-Syura : 51)
Jadi ada tiga cara :
1.Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham
2.Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa
3.Melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Menurut
ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya
rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Dalam tassawuf dikenal
tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan
kalbunya dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Adanya komunikasi antara
orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena
itu adanya dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW,
bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal.4 Maka yang
diwahyukan dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari
ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan lain kata
yang diakui wahyu dalam Islam adalah teks Arab di rubah susunan kata /
diganti kata sinonimnya, itu tidak lagi wahyu. Soal akal dan wahyu, yang
menjadi pegangan bagi ulama-ulama adalah teks wahyu dalam bahasa Arab
dan bukan penafsiran atau terjemahan, yang diperbandingkan adalah
pendapat akal dengan teks Arab dari al-Qur’an.
B.Perbedaan Pendapat tentang Akal dan Wahyu oleh beberapa Aliran
Kalau
kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai
bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan
dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua.
Masalah
pertama ialah soal mengetahui Tuhan, masalah kedua soal baik dan jahat.
Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan (khusul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifat Allah).
Kedua
cabang dari masalah kedua ini adalah mengetahui baik dan jahat, dan
kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan
jahat (ma’rifah al-husn wa al-Qubh dan wujud i’tinaq al-hasan wa ijtinab
al-qabih yang juga disebut al-tahsin wa al-tawbih). Masing-masing
aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Menurut golongan
mu’tazilah bahwa mereka menyimpulkan bahwa dari keempat permasalahan di
atas, semuanya dapat diketahui oleh akal. Golongan Asy’ariyah tidak
sependapat. Dan mengatakan bahwa betul akal dapat mengetahui Tuhan,
tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima
kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh
kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh memperoleh
hukuman.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi
tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena
segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Al-Ghazali,
seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi juga berpendapat bahwa akal tak dapat
membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban
ditentukan oleh wahyu.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendapat
Asy’ariyah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah. Bahwa yang diwajibkan akal
ialah perintah dan larangan bukan mengetahui mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk, yang pada intinya bahwa akal hanyalah dapat
mengetahui tiga persoalan pokok. Sedang yang satu lagi yaitu kewajiban
berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui
wahyu. Ini juga sependapat dengan golongan Samarkand dan Bukhara.
Walaupun demikian, sebagian dari golongan Bukhara berpendapat bahwa akal
tidak dapat mengetahui baik dan buruk dan sebenarnya mereka masuk dalam
aliran Asy’ariyah dan Muturidiah.
Untuk itu dapatlah
disimpulkan bahwa mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal.
Muturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari mu’tazilah,
tetapi lebih besar dari pada Muturidiah Bukhoro. Diantara semua aliran
itu, Asy’ariyahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.
C.Fungsi Akal dan Wahyu
Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
_____________, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI Press, Jakarta, cet.V, 1986.
Syukur, Amin, Prof. Dr. H.M MA., Pengantar Studi Islam, CV. Bima Sejati, Semarang, 2003.
Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
_____________, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI Press, Jakarta, cet.V, 1986.
Syukur, Amin, Prof. Dr. H.M MA., Pengantar Studi Islam, CV. Bima Sejati, Semarang, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar