Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
- Guru menyajikan pelajaran.
- Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
- Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
- Memberi evaluasi.
- Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Model Examples Non Examples
Examples Non
Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh.
Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
- Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
- Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
- Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
- Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
- Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
- KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
Model Lesson Study
Lesson Study adalah
suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan
oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2.
Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan
yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan
dasar-dasar teori yang menunjang.
3.
Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar
di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4.
Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran
sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap
observasi terlalui.
5.
Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian
bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang
telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini
juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran
berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
Model Pembelajaran ARIAS
Abstrak. Model
pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat
digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran
dengan baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran
yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction yang
dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.
Model ini sudah
dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di Kota
Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten
Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan
menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan
hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh
para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Salah satu masalah
dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil belajar siswa.
Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten dan
propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah (Lastri 1993:12).
Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1993/1994
sampai dengan 1997/1998) menunjukkan hasil belajar yang kurang
menggembirakan (Depdikbud, 1998).
Hasil belajar
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal)
maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang
termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis
(misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif),
sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan
instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom
(1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil
belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas
pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang
digunakan.
Sering ditemukan di
lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan baik tetapi
tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu
terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model
pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa
rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model
pembelajaran yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan
oleh para guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran
dengan baik sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi
dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan
berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model
pembelajaran yang disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah
siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan
menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai
dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu
alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar siswa. Tujuan percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada
pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan
hasil belajar.
2. Kajian Teori dan Pembahasan
2.1 Model Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran
ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp
(1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran
yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model
pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan
(expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai
(value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar
berhasil mencapai tujuan itu. Dari
dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen.
Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance,
confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987:
289-319).
Model pembelajaran
ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan
pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian,
pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal
evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan
pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan
pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan
berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana
kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco,
1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran
menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72)
dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi,
maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen
evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi
tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen
yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence
(percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment
(evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence
menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama
confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance
sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan
pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan
berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri
siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga
penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest
(minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata
interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal
kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih
baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi
assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari
modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk
menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada
relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara
minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa
bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan
mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS
sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah
dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen
(assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang
disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan
satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi
singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan
untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah
sebagai berikut.
Komponen pertama
model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu
berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang
berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut
Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang
yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil
bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa
yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka
bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini
mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap
ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau
harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai
suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya
diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan
prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap
percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa
untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai
keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan
merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong
untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang
lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap
percaya diri adalah:
- Membantu siswa
menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa
gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang
terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video
tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model),
misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap
diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433)
penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan
tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan
seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut
Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan
secara luas di sekolah-sekolah.
- Menggunakan suatu
patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan
(misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan
di bawah ini tanpa melihat buku).
- Memberi tugas yang
sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan
siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah
berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap
sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge
seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202)
merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen kedua model
pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa
baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang
berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang
(Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka
ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka.
Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari
ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang
jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta
ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk
mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan
mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan
didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang
telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll,
1988: 140).
Dalam kegiatan
pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam
pembelajaran adalah:
- Mengemukakan
tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan
harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk
mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
- Mengemukakan
manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau
untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
- Menggunakan bahasa
yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman
nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu
bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang
langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru.
Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara
esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam
melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus
merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan
(Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media
pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian
dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media
pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen ketiga
model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan
minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan
(1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada
minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430)
menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya
harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan
berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan
pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya
minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong
siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang
menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan
memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan
siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
- Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
- Memberi kesempatan
kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran,
misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan
dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu
dipecahkan.
- Mengadakan variasi
dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip
Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat
ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya
mengajar.
- Mengadakan
komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan
simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan
untuk menarik minat/perhatian siswa.
Komponen keempat
model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan
dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok
dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid
(Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip
Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah
yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan
siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang
telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa,
evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi
berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa
dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka
capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan
dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak
hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri
mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri
dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman
mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi
dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka
akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui
oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan
evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa
meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14)
bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan
belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat
mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga
sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip
Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa
evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
- Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
- Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen kelima
model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan
dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar
satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa
yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa
bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu
menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan
berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan
yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan
perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561).
Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari
dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana
individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai
atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul
karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau
lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987:
2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan
dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal
dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut
Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan
suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower,
1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga
dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
- Memberi penguatan
(reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun
non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan
guru : “Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!”.
Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban
siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi
siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus
dan/atau senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa
dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan
memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
- Memberi kesempatan
kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru
diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.
- Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal dan dihargai oleh para guru.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami kesulitan/memerlukan bantuan.
2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan model
pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan
kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak
guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan
pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru
kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan
pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga
satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS.
Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan
yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa,
mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa,
melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru
atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan
dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media
pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan,
dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian
pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi
dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran
sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus disusun
berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar
atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri
pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi
dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat
membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat
menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang
jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya
dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar
dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup.
Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat
membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat
membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya
sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai
urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan
evaluasi sendiri.
3. Hasil Percobaan di Lapangan
Model pembelajaran
ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda.
Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V dari sebuah
sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu caturwulan yaitu
catur wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini diambil sebagai
sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota
Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini
diambil 60 orang siswa kelas V sebagai sampel yang dikelompokkan ke
dalam empat kelompok, di mana masing-masing kelompok berjumlah 15 orang
siswa. Sampel siswa ini juga diambil secara acak sederhana. Percobaan
menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Untuk
memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes hasil belajar
dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data yang
diperoleh dianalisis dengan ANAVA—2 jalur dengan uji F pada
taraf signifikansi a = 0,05.
Percobaan kedua juga
menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2 dilaksanakan di SD
yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu
Asin. Lama
percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran
1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke
dalam empat kelompok di mana masing-masing kelompok berjumlah 20 orang
siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa diambil secara acak sederhana.
Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan tes motivasi
berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan
ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a = 0,05. Seperti halnya
pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga dilakukan uji
persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji
Bartlett untuk homogenitas data.
Apakah motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran
ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran
non-ARIAS. Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun pada percobaan
kedua, siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan eksperimen.
Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dilaksanakan berdasarkan
model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun berdasarkan
model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis. Pada
kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan model
pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran disusun oleh guru kelas
bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:
(1) Menyetarakan
setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis skor tes awal
setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek yang berbeda;
(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari efek perbedaan instrumen pengukur;
(3) Mengusahakan
agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama penelitian
berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam percobaan;
(4) Memberikan
perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek pematangan dan
efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:
1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;
2. Suasana belajar,
situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama seperti hari-hari
belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran ARIAS pada kelompok
eksperimen, untuk menghindari efek lingkungan yang dapat menyebabkan
reaksi yang berlebihan dari siswa;
3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari efek Howthorne dan John Henry.
Hasil ANAVA
menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih besar dari
Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor
antara kedua kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 – 121).
Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model
pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari
Ft=3,96 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor
antara kedua kelompok adalah XA=18,55 > Xn-A=15,98 (Sopah,1998:
99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa yang
mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang
mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
Hasil kedua
percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi
dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih
tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
4. Penutup
Dari hasil kedua
percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan
lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini
memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
Dari hasil kedua
percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan
lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini
memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
- Percobaan ini
dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di Kota Palembang
(percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu
Asin (percobaan kedua). Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun
jumlahnya sangat terbatas, sehingga hasilnya belum tentu dapat
digeneralisasikan ke wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu
penelitian sejenis lainnya dengan sebaran dan wilayah sampel yang lebih
luas. Dengan dukungan hasil penelitian sejenis ini maka diharapkan dapat
merupakan bahan pertimbangan penggunaan model pembelajaran ARIAS di
Sekolah Dasar.
- Waktu yang
digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya berlangsung
selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka bahan atau
materi yang diberikan juga terbatas, belum begitu banyak. Meskipun dalam
percobaan ini telah dilakukan pengendalian secara cermat, namun karena
terbatasnya waktu dan bahan yang diberikan kemungkinan adanya pengaruh
variabel lain yang tidak terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu
adanya penelitian lanjutan yang waktunya lebih lama, bahan/materi yang
diberikan lebih banyak, sehingga dapat lebih mencerminkan bahwa model
pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil belajar siswa atau tidak.
- Bidang studi yang
digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu subbidang studi.
Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini belum tentu
memberikan hasil yang sama pada bidang studi lain. Karena itu juga perlu
adanya penelitian sejenis lainnya pada berbagai bidang studi, sehingga
dapat mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap
hasil belajar siswa.
- Dalam percobaan
ini satuan pelajaran yang disusun menurut model pembelajaran ARIAS, baik
untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh
penulis. Satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS ini
dicobakan dan ternyata hasilnya baik. Hasil baik ini mungkin perlu
didukung oleh penelitian sejenis lainnya di mana satuan pelajaran
menurut model pembelajaran ARIAS disusun oleh guru bersangkutan. Dengan
demikian akan terlihat apakah memang satuan pelajaran menurut model
pembelajaran ARIAS yang disusun oleh guru dengan berbagai macam
keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih baik.
Pustaka Acuan :
Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar