Latar Belakang Masalah
Alquran
adalah kitab istimewa, kandungannya adalah mutiara, memiliki banyak
faidah, tergantung dari sudut mana pembaca mau mengambil hidayah dan
manfaatnya, dokter dapat menjadikan alquran sebagai landasan, filosof
mengambil dasar-dasar pemikiran dari nash-nash alquran.
Miniatur
kandungan Alquran tergambar dalam surah Alfatihah yakni aqidah,
syariah, dan akhlak. Walaupun begitu Alquran tidak menutup pintu-pintu
informasi lain jika digali lebih dalam. Dalam Alquran juga terdapat
fakta sejarah, iptek, dan filsafat. Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran
Alquran menjadi dua pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah.[1]
Pendapat Mahmud Syaltut ini tidak menafikan kandungan Alquran yang lain
seperti sejarah, IPTEK, hanya saja tujuan akhir diturunkannya Alquran
adalah aqidah dan syariat.
Aspek sejarah atau kisah dalam disebut dengan istilah Qishashul Quran,
bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak
ketimbang ayat-ayat hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran
sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak
mengandung pelajaran (ibrah). Sesuai firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”.
Oleh
karena itu kisah/sejarah dalam Alquran memiliki makna tersendiri bila
dibandingkan isi kandungan yang lain. Maka perlu kiranya kita sebagai
umat Islam untuk mengetahui sejarah yang ada dalam Alquran sehingga kita
dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu.
Pengertian Qishasil Qur’an
Secara etimologis, kata Qashash merupakan bentuk jama’ dari lafadz Qishah yang mempunyai makna penjelasan[2]. Ada makna lain yakni mengikuti jejak atau menelusuri bekas, atau cerita atau kisah.[3]
Menurut al-Azhary, al-Qashash adalah mashdar dari kata kerja Qashasha yang artinya mengisahkan[4],
jadi suatu kisah adalah cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui
sebelumnya. Sementara dalam kitab-kitab tafsir, para mufassirin dalam
mendefinisikannya tidak berhenti pada pendekatan etimologis saja, mereka
melakukan pendekatan dua arah yakni pendekatan etimologis dan
pendekatan religious, yaitu mengaitkan dengan maksud dan tujuan
kisah-kisah al-Quran tersebut.[5] Dalam Al-Quran, lafadz Qashash mempunyai tiga arti, sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut dibawah ini :
Pada ayat 64 surat al-Kahfi :
tA$s% y7Ï9ºsŒ $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£‰s?ö‘$$sù #’n?tã $yJÏdÍ‘$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Pada ayat diatas, lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti jejak yakni sama dengan menelusuri bekas.
Kemudian disebutkan pada surat al-Qashash ayat 11 :
ôMs9$s%ur ¾ÏmÏG÷zT{ Ïm‹Å_Áè% ( ôNuŽÝÇt7sù ¾ÏmÎ/ `tã 5=ãZã_ öNèdur Ÿw šcrããèô±o„ ÇÊÊÈ
dan
berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia"
Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak
mengetahuinya.
Pada ayat 11 dari surat al-Qashash ini, lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti.
Disebutkan juga pada ayat 62 surat Ali-Imran yang berbunyi :
¨bÎ) #x‹»yd uqßgs9 ßÈ|Ás)ø9$# ‘,ysø9$# 4 $tBur ô`ÏB >m»s9Î) žwÎ) ª!$# 4 žcÎ)ur ©!$# uqßgs9 Ⓝ͓yèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÏËÈ
Sesungguhnya
ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana .
Pada ayat ini lafadz Qashash mempunyai arti kisah.
Adapun secara terminologis, Qashashul
Quran adalah kabar-kabar dalam Al Quran tentang keadaan-keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi.[6] Manna al-Khalil al-Qaththan mendefinisikan Qashashul quran
sebagai pemberitaan Al Quran tentang hal ihwal umat-umat terdahulu dan
para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Dan
sesungguhnya Al quran banyak memuat peristiwa-peristiwa masa lalu,
sejarah umat-umat terdahulu, negara, perkampungan dan mengisahkan setiap
kaum dengan cara shuratan nathiqah.[7]
Macam-Macam Qashashil Qur’an
Kisah-kisah dalam Al Quran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Kisah para Nabi yang memuat dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang, perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mendustakan para Nabi[8].
- Kisah-kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiaanya, seperti kisah Thalut, Jalut, dua putra Adam, Ashahab al-Kahfi, Zulqarnai, Ashabul Ukhdud dsb.
- Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah seperti perang badar, uhud, tabuk dan lain sebagainya.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kisah Al-quran adalah:
- Pelaku (al-Syakhs). Dalam Al Quran para actor dari kisah tersebut tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dan burung hud-hud.
- Peristiwa (al-Haditsah). Unsur peristiwa merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi tiga, yaitu :
a) Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah.
b) Peristiwa
yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti
kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah, namun mereka tetap
mendustakannya lalu turunlah adzab.
c) Peristiwa
biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang
baik atau buruk, baik merupakan rasul maupun manusia biasa.
- Percakapan (Hiwar). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Musa dsb. Isi percakapan dalam Al Quran pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitan manusia, keesaan Allah, pendidikan dsb. Dalam hal ini Al Quran menempuh model percakapan langsung. Jadi Alquran menceritakan pelaku dalam bentuk aslinya.[9]
Tujuan Qashasil Qur’an
Adapun
tujuan kisah Al Quran adalah untuk memberikan pengertian tentang
sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.[10]
Apa
sebenarnya tujuan dan fungsi kisah dalam Al Quran? Kisah-kisah dalam Al
Quran merupakan salah satu cara yang dipakai Al Quran untuk mewujudkan
tujuan yang bersifat agama. Sebab Al Quran itu juga sebagai kitab dakwah
agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan
memantapkan dakwah tersebut.
Bahkan lebih jauh menurut Sayid Qutb kisah-kisah Al Quran ada hanya khusus untuk tujuan agama saja.[11]
Meskipun tunduk secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti
ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang,
terutama dalam penggambarannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan
agama dan kesusasteraan dapat terkumpul pada pengungkapan Alquran.[12]
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah dalam Al Quran adalah untuk
tujuan agama, meskipun demikian, tidak mengabaikan segi-segi sastranya
karena keindahan sastra sudah merupakan karakter dasar Al Quran.
Adapun tujuan dan fungsi Qashash dalam Al Quran antara lain adalah:
- Untuk menunjukkan bukti kerasulan Muhammad saw. Sebab beliau meskipun tidak pernah belajar tentang sejarah umat-umat terdahulu, tapi beliau dapat tahu tentang kisah tersebut. Semua itu tidak lain berasal dari wahyu Allah.
- Untuk menjadikan uswatun hasanah suritauladan bagi kita semua, yaitu dengan mencontoh akhlak terpuji dari para Nabi dan orang-orang salih yang disebutkan dalam Al Quran.[13]
- Untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw dan umatnya dalam beragama Islam dan menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.[14]
- Mengungkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
- Untuk menarik perhatian para pendengar dan menggugah kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah.
- Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah agama Allah, yaitu bahwa semua ajaran para Rasul intinya adalah tauhid.[15]
- Menjelaskan Sunnah Allah[16].
Pengulangan Kisah dan Hikmahnya
Dalam
al-Quran banyak kisah yang disebutkan berulang-ulang, kisah nabi Musa
misalnya, bahkan sampai disebutkan 126 kali, kisah nabi Ismail yang
disebutkan sebanyak 12 kali, kisah nabi Dawud sebanyak 16 kali, nabi
Ishaq 17 kali, nabi Luth 27 kali, nabi Ibrahim 99 kali, hanya saja
pengulangan itu dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda, kadang secara
singkat, sedang atau panjang.[17]
Adapun hikmah pengulangan sebagian kisah yang terdapat dalam al-Quran adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan
ketinggian tingkat balaghoh al-Quran, hal ini terbukti dengan
pengulangan kisah sampai beberapa kali, namun menggunakan ungkapan yang
berbeda sehingga tidak membosankan, bahkan mengasyikkan.
2. Membuktikan
ketinggian mukjizat al Quran, yakni mampu menjelaskan satu makna dalam
satu kisah dalam berbagai macam kalimat yang bermacam-macam sehingga
orang arab tidak mampu untuk menandinginya.
3. Untuk
lebih memperhatikan kepada pentingnya kisah-kisah al Quran, sehingga
perlu disebutkan dengan berulang-ulang agar lebih meresap dalam lubuk
sanubari serta terpatri dan terukir dalam jiwa, karena pengulangan
adalah salah satu cara memperkuat peresapan dalam hati dan salah satu
bukti meningkatkan perhatian.
4. Menunjukkan
perbedaan tujuan dari tiap-tiap penyebutan kisah, sehingga banyaknya
penyebutan suatu kisah menunjukkan banyaknya tujuan penyebutan tersebut,
sebab penyebutan suatu kisah yang pertama berbeda tujuannya dengan
penyebutan kisah yang kedua, ketiga dan seterusnya.[18]
Para
orientalis berpendapat bahwa adanya pengulangan-pengulangan dalam kisah
menunjukkan bahwa susunan Al Quran tidak sistematis dan terkesan
terjadi pemborosan yang pada akhirnya menjadikan Al Quran cacat,
mengenai Hal ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al Quran berbeda
dengan kitab-kitab lain, dalam Al Quran terjadi banyak pengulangan
karena dia adalah kitab dakwah, dan dakwah harus dilakukan terus menerus
dan berulang-ulang.
Bantahan Terhadap Tuduhan Kaum Orientalis
Ada
beberapa orientalis yang berpendapat bahwa kisah-kisah masa lampau yang
dikemukakan Al Quran diketahui Nabi Muhammad SAW dari seorang pendeta
atau beliau menjiplak dari kitab Perjanjian Lama. Pendapat ini jelas
tidak benar dari banyak segi.
Pertama,
Nabi Muhammad SAW tidak pernah belajar pada siapapun. Memang pada masa
kanak-kanak beliau pernah ikut berdagang pamanya ke Syam dan bertemu
dengan rahib yang bernama Buhaira yang meminta pamannya agar memberi
perhatian serius pada nabi karena dia melihat tanda-tanda kenabian pada
beliau. Namun pertemuan ini pun hanya terjadi beberapa saat. Di sini
kita bertanya, “kalau remaja kecil (Muhammad saw) belajar pada rahib
itu, apakah logis dalam pertemuan singkat itu beliau memperoleh banyak
informasi yang mendetail, bahkan sangat akurat?” tentu saja tidak.
Seorang
orientalis yang bernama Montgomery Watt yang berkata bahwa Nabi
Muhammad saw belajar pada Waraqah bin Naufal. Menurutnya, Khadijah
merupakan anak paman Waraqah bin Naufal, sedangkan ia merupakan agamawan
yang akhirnya menganut agama Kristen. Tidak dapat disangkal Khadijah
berada di bawah pengaruhnya dan boleh jadi Muhammad telah menimba
sesuatu dari semangat dan pendapat-pendapatnya.
Kita
mengakui kalau Waraqah beragama Kristen, tapi bahwa Muhammad datang
belajar kepadanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Hal ini
karena menurut berbagai riwayat, kedatangan beliau menemui Waraqah
adalah setelah beliau menerima wahyu dan bukan sebelumnya. Di sisi lain,
Waraqah berpendapat bahwa yang datang pada Nabi Muhammad saw di gua
Hira’ itu adalah malaikat yang pernah datang pada Nabi Musa dan Isa
a.s., dan beliau menyatakan bahwa seandainya hidup saat Muhammad
dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Jika demikian, logiskah
jika Nabi Muhammad saw belajar kepadanya setelah Waraqah mengakui
kenabiannya?[19]
Tidaklah
tepat jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw mempelajari Kitab
Perjanjian Lama, karena disamping beliau tidak dapat membaca dan
menulis, juga karena terdapat sekian banyak informasi yang dikemukakan
dalam Al-Quran yang tidak termaktub dalam kitab Perjanjian Lama ataupun
kitab Perjanjian Baru, misalnya kisah Ash hab Al-Kahfi.
Kalaupun ada yang sama, seperti beberapa kisah nabi-nabi, namun dalam
rincian atau rumusannya terdapat perbedaaan-perbedaan yang signifikan.
Walaupun
terjadi persamaan kisah dalam garis besarnya, bukan lalu merupakan
bukti penjiplakan. Apakah jika seseorang pada puluhan tahun yang lalu
melukis candi Borobudur, kemudian kini
datang pula pelukis lain yang melukisnya dan ternyata lukisan itu sama
atau mirip dengan yang sebelumnya apakah Anda berkata bahwa pelukis
kedua menjiplak dari pelukis pertama?
Nabi
Muhammad saw sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut
dari risalah para nabi. Beliau mengibaratkan diri beliau dengan para
nabi sebelumnya bagaikan seorang yang membangun rumah, maka dibangunnya
dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu.
Orang-orang berkeliling di rumah tersebut dan mengaguminya sambil
berkata, “Seandainya diletakkan bata di pojok rumah ini, maka Akulah
(pembawa) bata itu dan Akulah penutup para nabi.” Demikian sabda Beliau
yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir bin ‘Abdillah.[20]
Relevansi Kisah dengan Sejarah
Belakangan
ini gencar ide ide dari kalangan sarjana islam barat yang
mempertanyakan tentang historisitas kisah-kisah dalam Alquran, Ulil
Abshar Abdallah adalah salah satu contohnya, di blog pribadinya dia
menulis keterangan sebagai berikut:
“ Selama
ini kita memahami mukjizat secara fantastis sebagai peristiwa-peristiwa
besar seperti Musa membelah dan menyeberangi Laut Merah dengan
tongkatnya, atau banjir bandang pada masa Nuh yang menelan seluruh
manusia di bumi, atau Yesus yang menghidupkan orang mati, atau Muhammad
yang mengendarai hewan “buraq” dan melesat terbang ke langit tujuh dalam
peristiwa Isra’-Mi’raj, dsb.”.
“
Kita tak pernah benar-benar bisa tahu bahwa kejadian-kejadian fantastis
di masa lampau itu benar-benar faktual pernah tejadi. Boleh jadi itu
hanya dongeng yang dipungut oleh Quran dari khazanah folklore Yahudi
yang tersebar di kawasan Timur Tengah saat itu sekedar untuk medium
penyampaian pesan dakwah. Yang penting bukanlah mukjizat fantastis itu.
Tetapi pesan apa yang hendak disampaikan oleh dongeng mukjizat itu “[21].
Sebenarnya akar pandangan yang mempertanyakan keabsahan kisah dalam Alquran ini sudah mengemuka sejak terbitnya “ al fanni al qishashi fi al quran al karim “
, sebuah judul untuk desertasi yang diajukan Muhammad Ahmad Kholfullah
pada tahun 1927 yang berakhir dengan ditolaknya desertasi tersebut[22].
Salah
satu inti dari desertasi tersebut adalah tentang warna kisah dalam
alquran, ada yang memiliki realitas sejarah, ada yang hanya sebagai
majas tamsiliyah dan ada yang berbentuk folklore[23].
Menurut
Muhammad Ahmad Kholfullah sendiri unsur-unsur kisah dalam Al quran
seperti peristiwa, dan karakter atau pemeran adalah unsur yang bisa
terjadi dalam sejarah atau kadang hayalan atau bentuk imajinasi pikiran
saja[24].
Ahmad Kholfullah dan Ulil Abshar tidak menampik jika dalam Al quran ada unsur fiksi, dalam fiksi ada
kebebasan tanpa batas. Penulis bisa pergi ke mana saja, melanglang
buana semaunya, menghentikan waktu dan menjalankannya kembali, semua itu
bisa dilakukan kapan saja. Penulis fiksi juga bisa menciptakan
makhluk-makhluk aneh yang belum sempat tuhan ciptakan, membangun sebuah
pulau yang tak pernah tercatat dalam sejarah, mematikan tokoh
protagonis, memberi penghargaan kepada tokoh antagonis, membalik
segalanya, merusak segalanya, mendekonstruksi realita sehari-hari dengan
imajinasi. Ya, dengan menulis fiksi, penulis bisa melakukan apa saja.
Menurut
mereka tidak penting Apakah kisah “ajaib” Musa, para nabi atau Muhammad
sungguh-sungguh nyata atau hanya fiktif belaka, yang terpenting adalah
pesan Alquran tersampaikan, seperti keterangan Ulil sebagai berikut:
“ pelajaran
yang penting dari suatu mukjizat dan keajaiban bukanlah soal apakah
kejadian itu faktual atau tidak. Bagi saya, tak terlalu penting apakah
Musa benar-benar membelah laut dan menyeberangkan ribuan orang Israel dari Mesir untuk menghindar dari perbudakan yang mereka derita di sana”[25].
Historisitas
atau ahistorisitas kisah dalam Al quran menjadi diskusi panjang,
seperti Abdul Karim Khotib dalam “ Al Qishah Al Qurany fi Mantuqihi wa
Mafhumihi “ memberikan porsi yang banyak dari buku tersebut demi
mengkritik buku karangan Ahmad Kholfullah sebagai bentuk caunter attack
terhadap pandangan yang menyatakan adanya unsure fiksi dalam Al quran.
Khotib menyatakan bahwa kisah dalam Al quran adalah nyata seperti dalam Al quran QS. 3:62 “إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut As-Suyuthi,
kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari
sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Qur’an.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah
sebagai pelajaran kepada umat manusia dan bagaimana mereka menarik
manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat
bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya
sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 :
“Dan masa( kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
Kisah-kisah
yang ada dalam Al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata
sebagai dongeng, apalagi Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan
bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, apakah
kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau
sebaliknya ?, sebagai kisah yang historis, sejauh manakah posisi
Al-Qur’an dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas ?
Sebagai
kitab suci, Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, sehingga tidak adil jika
Al-Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya
tidak dipaparkan secara gamblang.
Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang diidentifikasikan sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang diidentifikasikan sebagai kota-kota Palin, penemuan tentang adanya kemungkinan laut bisa terbelah sebagaimana terjadi pada zaman musa, dan baru-baru ini ditemukan kerangka perahu yang disinyalir adalah perahu nabi Nuh.
Kemudian
berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir
sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang
terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk dideteksi dari sisi
historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu ada yang historis ada juga yang a-historis.
Meskipun
demikian, pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan
arkeologi sangat sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut
kacamata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang
dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Mohammad
Ghozali Al Quran adalah kitab dakwah dan sejarahnya, dengan adanya
pemaparan sejarah manusia-manusia zaman dahulu menjadi lebih jelaslah
dakwah Al Quran[26].
Pesan yang disertai dengan bukti sejarah akan lebih menancap ke dalam
hati dan akal manusia. Lengkap sudah keindahan dan keagungan Al Quran,
memiliki gaya bahasa dan kata-kata indah sekaligus menyuguhkan sejarah hidup tepat dihadapan pembaca.
KISAH AL QURAN DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Cerita
dapat digunakan orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan
membentuk kepribadian anak usia dini melalui pendekatan transmisi
budaya. Menurut Scott Russel Sanders sebagaimana dikutib Tadkiroatun,
ada sepuluh alasan penting mengapa anak perlu menyimak cerita. Kesepuluh
alas an tersebut antara lain:
- Menyimak cerita merupakan sesuatu yang menyenangkan anak;
- Cerita dapat mempengaruhi masyarakat;
- Cerita membantu anak melihat melalui mata orang lain;
- Cerita memperlihatkan kepada anak konsekuensi suat tindakan;
- Cerita mendidik hasrat anak;
- Cerita membantu anak memahami tempat/lokasi;
- Cerita membantu anak memanfaatkan waktu;
- Cerita membantu anak mengenal penderitaan, kehilangan, dan kematian;
- Cerita mengajarkan anak bagaimana menjadi manusia; dan
- Cerita menjawab rasa ingin tahu dan misteri kreasi.
Pendapat
Scott di atas memberikan gambaran global nilai penting cerita untuk
pendidikan anak usia dini. Sedangkan kisah-kisah dalam al-Qur’an
memberikan sumbangsih nyata selama berabad-abad dalam mendidik karakter
generasi terbaik. Melalui cerita anak bisa terhubung dengan situasi dan
karakter tokoh-tokoh terbaik masa lalu, sehingga diharapkan tumbuh
kecintaan pada “idola” yang tepat guna membangun karakter mereka. RUA.
Zainal Fanani memberikan pendapatnya terkait fungsi penting cerita/kisah
Islami (salah satunya dalam al-Qur’an) bagi pendidikan anak-anak.
Menurut Fanani sebagaimana dikutip Katri, ada sepuluh fungsi penting
kisah, antara lain:
- Sebagai sarana kontak batin antara guru/ustadz atau orang tua dengan anak-anak,
- Sebagai media penyampai pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu,
- Sebagai metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan (akhlaq),
- Sebagai sarana pendidikan emosi (perasaan) anak didik,
- Sebagai sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas (daya cipta) anak,
- Sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa anak,
- Sebagai sarana pendidikan daya pikir anak,
- Sebagai sarana memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak,
- Sebagai salah satu metode untuk memberikan terapi bagi anak-anak yang mengalami masalah psikologis, dan
- Sebagai sarana hiburan dan pencegah kejenuhan.
Dr.
Murti Bunanta menambahkan manfaat kisah bagi anak-anak adalah
membangkitkan minat baca dan sekaligus sebagai “obat” penenang, karena
bagaimanapun nakalnya anak, ia bisa duduk tenang hanya untuk
mendengarkan cerita/kisah.
Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan diantaranya:
- Al Quran merupakan kitab suci umat Islam dan manusia seluruh alam yang tidak dapat diragukan kebenarannya dan berlaku sepanjang zaman, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
- Sebagian isi kandungan dalam Al quran mayoritas memuat tentang Qashash (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).
- Qashashul quran dapat dipahami sebagai kabar-kabar dalam Al Quran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
- Tujuan kisah Al Quran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang lebih baik dan benar.
- Kisah dalam Al Quran dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kisah dakwah para nabi, kejadian umat terdahulu dan kejadian di zaman Rasulullah Muhammad saw.
- Unsur kisah Al Quran juga ada tiga, yakni: adanya Pelaku, kejadian atau peristiwa dan percakapan.
- Inti dari fungsi kisah dalam Al Quran adalah untuk dakwah menegakkan kalimat tauhid, membantah kebohongan kaum kafir serta menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam.
- Beberapa kaum orientalis ada yang meragukan keaslian kisah-kisah dalam Al Quran. Namun anggapan mereka terbantahkan dengan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas. Juga terdapat kesesuaian antara kisah dalam al Quran dan bukti sejarah.
- Al quran tidak hanya mempunyai sisi artistik ketika menyuguhkan cerita sehingga membuat pembaca semakin tertarik, bahkan memberikan kenyataan sehingga pesan-pesannya benar-benar tertanam dalam hati dan akal pembaca.
- Kisah dalam Al quran bisa menjadi sebuah media pembelajaran untuk pendidikan anak
DAFTAR PUSTAKA
1 A.Hanafi, Segi-Segi Kesusasteraan Pada Kisah-Kisah Quran. Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983
2 Jalal Abdul, Ulumul Quran, Surabaya : Dunia Ilmu, 2008
3 Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Ibn Ibrahim an-Naisaburi. Qishash Anbiya’. Beirut : Dar al-Fikr, tt
4 Al-Biqa’i. Badzl An-Nushah wa Asy-Syafaqah li At-Ta’rif bi Shuhbah as-Sayyid Waraqah.
5 DEPAG RI, Ulumul Quran III, Jakarta : DEPAG RI, 2001
6 Munawir , Fajrul dkk. Al-Quran. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
7 Shihab , M. Quraish. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan, 1998
8 Syaltut Mahmud, al-Islam Aqidah wa al-Syariah, Beirut : Dar al-Qalam, 1966
9 Qaththan (al), Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulumil Quran, tt, Masyurah al-Asyr, 1073
10 Khalafullah, Muhammad, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, Jakarta : Paramadina, 2002
11 Qutb, Sayyid. Al Tashwir al-Fannai fil Quran, Kairo: Darul Ma’arif. 1975
12 Shiddieqy (al), Hasbi. Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta : Bulan Bintang, 1972
13 Nuqroh, At Tahami, sikulujiyyatul qishah fi Al Quran, jamiatul Jazair, 1971
14 Khalfullah, Muhammad Ahmad, Al fann Al qisahshi fi Al Quran Al karim, Kairo: Maktabah Anjalu almishriyyah, 1965
15 Ghozali (al), Muhammad, Nadhorot fi Al Quran, (Kairo: Nahdlotu misr, 2005).
16 Zaidan, Abdul Karim, Al mustafad min qishshil quran, (Beirut: Muassasatur risalah), juz 1
[1] Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syariah, (Beirut : Dar al-Qalam, 1966), 11
[2] . Ibnul Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: dar al fikr, 1990), juz 7, 73
[3] DEPAG RI, Ulumul Quran III, (Jakarta : DEPAG RI, 2001), 52
[4] .Mandzur, Lisanul Arab, 74.
[5] Muhammad Khalafullah, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 2002), 100
[6] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al Quran. (Jakarta : Bulan Bintang, 1972), 176
[7] Yang dimaksud dengan shuratan nathiqah adalah seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran, (tt Masyurah al-Asyr, 1973), 306
[8] . Ibid., 306
[9] Fajrul Munawir dkk. Al-Quran. (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), 108-109
[10] Ibid, 107
[11] Sayyid Qutb. Al Tashwir al-Fannai fil Quran. (Kairo: Dar al Ma’arif,tt).120
[12] A.Hanafi, Segi-Segi Kesusasteraan Pada Kisah-Kisah Quran. (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983), 68
[13] Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Ibn Ibrahim an-Naisaburi. Qishah Al-anbiya’. (Beirut : Dar al-Fikr, tt), 12
[14] Q.S. 11:120
[15] Al-Qaththan, Ulumul Quran, 307.
[16] . Abdul Karim Zaidan, Al mustafad min qishshil quran, (Beirut: Muassasatur risalah, tt), 7.
[17] Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2008), 303-304
[18] Ibid.
[19] Al-Biqa’i. Badzl An-Nushah wa Asy-Syafaqah li At-Ta’rif bi Shuhbah as-Sayyid Waraqah.
[20] M. Quraish Shihab. Mukjizat Al-Quran. (Bandung: Mizan, 1998), 206-212
[21] . Ulil Abshar Abdallah, “Mukjizat Bertebaran Di Sekeliling Anda”, dalam http://ulil.net/2008/06/15/mujizat-bertebaran-di-sekeliling-anda/, (12 Desember 2011).
[22] . Tahami Nuqroh, “sikulugiyatul qishah fi alquran”, (Desertasi—Jamiatul jazair, 1971), 35.
[23] . Ibid., 36
[24] . Muhammad Ahmad Kholfullah, al fanni al qishashi fi al quran al karim, (Kairo: maktaba anggelo, 1965), 260.
[25] Ulil Abshar Abdallah, “Mukjizat Bertebaran Di Sekeliling Anda”, dalam http://ulil.net/2008/06/15/mujizat-bertebaran-di-sekeliling-anda/, (12 Desember 2011).
[26] . Muhammad Al Ghozali, Nadhorot fi Al Quran, (Kairo: Nahdlotu misr, 2005), 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar