Sebelum
Nabi Muhammad wafat, sumber penafsiran ada pada nabi. namun, setelah
wafat, semakin bertambahnya hari dan permasalahan yang semakin kompleks
membuat penafsiran Alquran mengalami perkembangan. Oleh karena itu,
sumber penafsirannya adalah dari sahabat, sebab para sahabat ini
menerima langsung penjelasan dari nabi.
Namun,
dikarenakan para sahabat tidak selalu berada di samping nabi, dan nabi
juga bertemu dengan sahabat yang berbeda-beda setiap harinya, maka tidak
dapat dihindarkan dalam perbedaan penafsiran suatu ayat Alquran. Para
sahabat pada masa ini adalah seperti khalifah rasyidin, Abdullah ibn
Abbas, Abdullah Ibn Masud dan lain-lain. Pada masa sahabat tafsir belum
dibukukan menjadi satu kitab tafsir yang khusus, walaupun terdapat
beberapa sahabat yang mempunyai penafsiran yang dibukukan dalam satu
mushaf.
Setelah
masa sahabat berakhir dengan wafatnya semua sahabat, maka mulailah
tabiin yang merupakan murid-murid sahabat menafsirkan Alquran. Jika para
sahabat menerima tafsir dari nabi, maka para tabiin menerima tafsir
dari para sahabat. Salah satu tabiin adalah al-Thabari yang konon
tafsirnya jami’ al-bayan adalah tafsir pertama dari abad ke-3 Hijriah
dalam sejarah penulisan kitab-kitab tafsir dan kitab tafsir tertua yang
sampai kepada kita.
Karena
itulah kami sebagai penulis akan membahas tafsir karya al-Thabari dalam
makalah ini sebagai wacana dalam mengetahui mengenai kitab tafsir pada
abad pertengahan tiga Hijriah.
METODOLOGI PENAFSIRAN AL-THABARI DALAM JAMIUL BAYAN
A. Biografi al-Thabari
Nama
lengkap dari al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid
ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli, beliau dilahirkan di kota
Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir
pada akhir tahun 224 Hijriah awal tahun 225 Hijriah (al-Dzahabi,
20041:147).
Al-dzahabi
(20041:148) menjelaskan bahwa pada waktu kecil al-Thabari sudah hafal
Alquran pada umur tujuh tahun dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi
imam sholat pada masa itu. Beliau juga menulis hadis pada umur sembilan
tahun.
Al-Dzahabi
(20041:148) menyatakan bahwa al-Thabari mengetahui berbagai macam cara
baca Alquran, memahami makna yang terkandung di dalamnya serta memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang hukum-hukum di dalam Alquran.
Beliau
tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup
perhatian terhadap pendidikan, terutama bidang keagamaan. Beliau sangat
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Hal itu tampak pada saat beliau
mencari ilmu keliling pada tiap kota untuk memperkaya pengetahuan dalam
berbagai disiplin ilmu. Menurut al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari
dikirim oleh ayahnya ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria. di Rayy
beliau belajar pada Ibn Humayd, Abu Abdillah Muhammad ibn Humayyad
al-Razi, beliau juga pernah pergi ke Baghdad untuk menimba ilmu kepada
Ahmad ibn Hanbal, tetapi sesampainya di sana Ahmad ibn Hanbal telah
wafat.
Menurut
al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari menghabiskan waktunya untuk
mempelajari ilmu ke-Islaman dan tradisi-tradisi Arab. Selain ahli fiqih
beliau juga ahli sejarah, tafsir, sastra, tata bahasa, logika,
matematika dan kedokteran. Beliau merupakan salah satu tokoh terkemuka
yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu, beliau meninggalkan warisan
cukup besar yang mendapatkan sambutan besar di setiap masa dan generasi
yaitu karya beliau yang masyhur Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an.
Karya tafsirnya tersebut merupakan rujukan utama bagi para mufasir yang
menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-ma’tsur. Beliau meninggal pada
tahun 310 Hijriah.
Nama
lengkap tafsir ini adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an.
Al-Dzahabi (20041:149) berpendapat bahwa kitab tafsir tersebut ditulis
pada Tahun 306 Hijriah dan terdiri dari dua belas jilid. Mulanya tafsir
ini hilang tetapi kemudian terdapat satu manuskrip yang di simpan oleh
Amir Mahmud ibn Abd al-Rasyid seorang pengusaha Naj, dari manuskrip ini
kemudian diterbitkan dan beredar luas serta menjadi sebuah ensiklopedi
tafsir bi al-Ma’tsur.
B. Metode Penafsiran
Al-dzahabi
(20041:148) beranggapan bahwa Ibn Jarir al-Thabari dipandang sebagai
tokoh terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, yaitu dalam ilmu
fiqih, hadis, bahasa, sejarah dan termasuk dalam bidang tafsir Alquran,
seperti pada dua buah karya besarnya yaitu tarikh al- Umam wa al-Mulk,
yang berbicara tentang sejarah dan al-bayan Fi tafsir Alquran, sehingga
berhasil mengangkat popularitas beliau pada saat itu dan sampai saat ini
pun karya beliau masih dikenal oleh banyak kalangan.
Tafsir
ini dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, walaupun demikian al-Thabari
dalam menentukan makna yang paling tepat pada sebuah lafad juga
menggunakan ra’yu. Tafsir ini menggunakan metode tahlili, sebab
penafsirannya berdasarkan pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam
urutan mushaf (al-Dzahabi, 20041:149).
Di
samping sebagai mufasir, beliau juga pakar sejarah yang mana dalam
penafsirannya yang berkenaan dengan historis beliau jelaskan panjang
lebar dengan dukungan cerita-cerita israiliyat (al-Dzahabi, 20041:147).
Dengan pendekatan sejarah yang beliau gunakan tampak kecenderungannya
yang independen. Beliau menyatakan bahwa ada dua konsep sejarah
menurutnya: pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian dan
yang kedua, pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan pengalaman
konsisten sepanjang zaman (al-Dzahabi, 20041:149).
Berikut merupakan metode yang digunakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya (al-Dzahabi,20041:151):
1. Menempuh jalan tafsir dan atau takwil.
Menurut
al-Dzahabi (20041:151), ketika al-Thabari akan menafsirkan suatu ayat,
al-Thabari selalu mengawali dengan kalimat القول فى تأويل قوله تعالى.
Kemudian, barulah menafsirkan ayat tersebut.
2. Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma’tsur).
Al-Dzahabi
(20041:151) menyatakan bahwa al-Thabari dalam menafsirkan suatu ayat
selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
3.
Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak
kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad
(al-Dzahabi, 20041:153).
4. Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makna ayat.
Al-Dzahabi
(20041:153) berpendapat bahwa al-Thabari juga menyebutkan berbagai
macam qiraat dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qiraat
tersebut serta menjelaskan hujjah dari ulama qiraat tersebut.
5. Menggunakan cerita-cerita israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya yang berkenaan dengan historis.
Al-Dzahabi
(20041:154) menerangkan bahwa al-Thabari dalam penafsirannya yang
berkenaan dengan sejarah menggunakan cerita-cerita israiliyat yang
diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Manbah, Ibn Juraij dan
lain-lain.
6. Mengeksplorasi syair dan prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat.
Menurut
al-Dzahabi (20041:156) metode ini tidak hanya digunakan oleh al-Thabari
saja, tetapi juga dipergunakan oleh mufasir lain seperti Ibn Juraij
ketika menafsirkan ayat dengan riwayat yang diperoleh dari Ibn Abbas.
7. Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan.
Al-Dzahabi
(20041:156) menuturkan bahwa ketika al-Thabari mendapati kata dalam
suatu ayat ada perselisihan antar ulama nahwu, al-Thabari menjelaskan
kedudukan kata tersebut menurut tiap-tiap mazhab degan memperhatikan
aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan ditarjih
serta menjelaskan penafsirannya.
8.
Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk
kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum.
Menurut
pejelasan al-Dzahabi (20041:157), al-Thabari selalu menjelaskan
perbedaan pendapat antar mazhab fikih tanpa mentarjih salah satu
pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.
9. Menjelaskan perdebatan di bidang akidah.
Al-Dzahabi
(20041:158) menuturkan bahwa dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan
masalah akidah al-Thabari menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.
C. Contoh Penafsiran
Ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 89 yang berbunyi :
لايوأخذكم
الله باالغوفي ايمانكم ولكن يوأخذكم بما عقد تم الايمان فكفارته إطعام
عشرة مساكين من أوسط ماتطعمون أهليكم أوكسوتهم أوتحريررقبه
Yang
dicermati al-Thabari adalah kalimat من أوسط ماتطعمون أهليكم yang mana
potongan ayat ini ditafsirkan oleh sebagian sahabat nabi dengan pendapat
yang berbeda-beda. Ibn Abbas (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan ayat
tersebut dengan : من أوسط ماتطعمون أهليكم من عسرهم يسرهم , yaitu jenis
makanan yang di konsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda)
secara moderat tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah, tidak
terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.
Sementara
Sa’id ibn Jubair dan Ikrimah (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan dengan
: اي من اعدل ماتطعمون اهليكم (atau makanan dari jenis yang sederhana
yang di konsumsi keluarga).
Di
samping penafsiran para sahabat yang beliau jadikan rujukan
penafsirannya, beliau juga menjadikan hadits yang berkaitan dengan
penafsirannya sebagai rujukan juga. Seperti yang di riwayatkan oleh Ibn
Sirin dari Ibn Umar, Rasulullah bersabda : والخيروالتمر, ومن افضل
مااهليكم, الخبزواللحم, الخبزوالسمن, والخبزواللبن,والخبزوالزيت
(Al-Thabari, 20018:616).
Setelah
ditopang oleh sejumlah refrensi yang cukup akurat, kemudian al-Thabari
menyatakan, bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah dalam hal
kuantitas, moderat, tidak sedikit dan tidak pula banyak. (Al-Thabari,
20018:616).
D. Penilaian Ulama’ Tentang Al-Thabari
Abu
Hamid al-Isfarayini (wafat 1015 Hijriah) (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga,
2004:39) menyatakan bahwa semua informasi yang diberikan oleh al-Tabari
diperoleh secara berantai dari para periwayat. Mata rantai ini
dipelajari oleh Dr. H. Horst, yang menghitung ada 13.026 mata rantai
yang berbeda dalam tiga jilid tafsir al-Thabari. Dua puluh satu dari
13.026 ini termasuk di dalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk
informasi, hadis-hadis, yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas
berbagai mata rantai peristiwa.
Di
pihak lain, Dr. F. Sezgin (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40)
membandingkan kutipan-kutipan al-Thabari dengan sumber-sumber aslinya,
pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa tafsir al-Tabari sangat luas
dan ensiklopedis. Isinya sangat bervariasi dengan subyek pembahasan yang
sangat kaya.
Dalam
suatu kesempatan Muhammad Abduh (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40)
mengomentari tafsir al-Thabari dengan menyatakan bahwa kitab-kitab
terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah
melepaskan diri dari belenggu taklid dan berusaha untuk menjelaskan
ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan
perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan.
Berdasarkan
penelitian Taufik Adnan Amal (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:39-40)
menyatakan bahwa Ibn Jarir al-Thabari adalah mufasir “tradisional”
paling terkemuka, menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari dua
puluh sistem bacaan (qiraat).
Penulis
tafsir Ayat-ayat Ahkam Muhammad Ali al-Sabuni (1990:57) berkomentar
bahwa kitab tafsir Ibn Jarir termasuk tafsir bi al-ma’tsur yang paling
agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan
tabiin serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mufasir. Hal itu
senada dengan apa yang dinyatakan oleh Manna’ al-Qattan (Tanpa Tahun
386), yakni kitab tafsir al-Tabari merupakan tafsir paling besar dan
utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-ma’tsur.
Tak
ketinggalan pula dedengkot orientalis, Ignaz Goldziher (Dosen TH UIN
Sunan Kalijaga, 2004:40) secara jujur mengakui kapasitas kitab tafsir
Al-Thabari dengan mengatakan bahwa karya sejarahnya pernah menjadi
mahakarya, karena kelengkapan informasi dan kompleksitas materi
kajiannya, banyak di antara para ilmuwan dan sejarawan yang menggunakan
data-data darinya sebagai rujukan.
E. Analisis
Setelah
melihat dari penjelasan di atas, maka dapat dianalisis bahwa Al-Tabari
dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufasir klasik setelah
masa tabi’ al-tabiin, karena lewat karya monumentalnya jami’ al-bayan fi
tafsir Alquran mampu memberikan inspirasi baru bagi mufasir sesudahnya.
Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat
sampai abad 3 Hijriyah. Kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak
baru dalam bidang tafsir. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang beraneka
ragam terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang
telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir
ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran
(ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat,
tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Penerapan
metode secara konsisten beliau tetapkan dengan tahlili menurut
perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara
pembaca dengan teks-teks Alquran dan diharapkan adanya kemampuan untuk
menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang
kuat.
Itulah
sebabnya tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan
tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan
syair dan prosa Arab kuno, varian qiraat, perdebatan isu-isu bidang
kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim
kebenaran subyektifnya, sehingga al-Thabari tidak menunjukkan sikap
fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu
kesimpulan bahwa al-Thabari termasuk mufasir professional dan konsisten
dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.
Simpulan
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa nama lengkap dari al-Thabari
adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Ghalib al-Thabari
al-Amuli, beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota
Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir pada tahun akhir tahun 224
Hijriah awal tahun 225 Hijriah dan nama lengkap dari karya al-Thabary
adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir Alquran. Ditulis pada tahun 306 Hijriah
dan terdiri dari dua belas jilid.
Kitab
tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber
penafsiran (ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para
sahabat, tabiin, tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan,
maupun riwayat-riwayat yang muktabar dari kalangan Yahudi dan Nasrani
yang telah setia memeluk Islam. Kitab ini juga didukung dengan nalar
kritis untuk membangun pemahaman-pemahaman objektifnya.
Metode
penafsirannya adalah (1) Menempuh jalan tafsir dan atau takwil, (2)
Melakukan penafsiran ayat yang berhubungan dengan sejarah dengan
penjelasan kisah-kisah israiliyat, (3) Menafsirkan Alquran dengan
sunah/hadis (bi al-ma’tsur), (4) Berdasarkan pada analisis bahasa bagi
kata yang riwayatnya diperselisihkan, (5) Mengeksplorasi syair dan
menggali prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat, (6)
Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk
ditashih dan ditarjih, (7) Pemaparan ragam qiraat dalam rangka
mengungkap makan ayat, (8) Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan
teori hukum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian
dan penetapan) hukum, (9) Melakukan kompromi antar pendapat bila
dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk
kesepadanan kualitas sanad.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 1976. Al-Tafsir Wa al-Mufasirun. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1990. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Iftikar.
Al-Thabari, Abu ja’far ibn Muhammad Jarir. 2001. Jami’ al-bayan fi Tafsir Alquran. Jilid VIII. Tanpa Tempat: Hijr
Al-Qattan, Manna’. 1973. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Masyurat al-‘Ashr al-Hadits.
Dosen TH UIN Sunan Kalijaga. 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar