I. PENDAHULUAN
Membahas
dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa maupun di
kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita
mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan
hal-hal tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah mengosongkan /
membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat
terpuji. Sifat tercela in adalah terjemahan dari pada bahasa arab “sifahul mazmumah”,
artinya sifat-sifat yang tidak baik yang tidak membawa seseorang
manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau akibat-akibat yang membinasakan.
Imam
Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat,
yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada
kebinasaan, sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu
kehinaan. Pada dasarnya sifat-sifat yang tercela dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin.
Maksiat
lahir adalah segala sifat yang tercela yang dikerjakan oleh anggota
lahir seperti mulut, tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan maksiat batin
adalah segala sifat yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin,
yaitu hati.[1]
II. PEMBAHASAN
A. Buruk Sangka (Suuzhan)
Buruk
sangka adalah merupakan suatu perbuatan yang timbulnya dari lidah,
tidak ada buruk sangka terhadap seseorang, jika lidah tidak bicara /
mengata-ngatai.
Sesungguhnya
prasangka buruk terhadap seorang muslim disertai fakta yang benar
merupakan kendaraan melalui jalan yang kasar dan aib, serta dapat
menjadi wabah kemadlaratan bagi masyarakat Islam. Prasangka buruk
bukanlah suatu dosa bila hanya bisikan hati sesaat dalam jiwa manusia.[2]
Prasangka
dihasilkan dari perbuatan dan perkataan seseorang atau gerak gerik
orang yang mendapat tuduhan tertentu dari orang lain. Biasanya prasangka
timbul bila seseorang berada dalam situasi yang sulit. Secara
psikologis prasangka dapat melahirkan kecenderungan hati untuk menuduh
orang lain yang menganggap jelek diri kita. Oleh karena itu Nabi
bersabda :
حديث
ابىهريرة رضي الله عنه، انّ رسول الله صلىالله عليه وسلم قال : اِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ {رواه البخارى}
“Dari
Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : hendaklah kamu
menjauhkan dari sangkaan”, karena sesungguhnya sangkaan itu omongan yang
paling berdusta”. (HR. Bukhari).[3]
Sering
kita melihat orang yang menuduh orang lain jelek, dan berusaha untuk
mengintai orang lain tanpa hak, setelah meneliti dan menemukan suatu
kesimpulan dia berghibah (membicarakan kejelekan) terhadap saudaranya
yang muslim. Orang yang berbuat seperti itu sama saja dengan melakukan
tiga dosa, yaitu dosa karena berprasangka, dosa dari menyelidiki
kejelekan orang lain, dan dosa dari membicarakan kejelekan orang lain.
Begitulah prasangka jelek itu akan menarik manusia berbuat dosa lebih
banyak. Oleh karena itu Allah SWT melarang attjassus
“mengintip-intip” dan ghibah. Setelah melarang suudzan “buruk sangka”
sebagai peringatan terhadap orang Islam agar tidak menempatkan diri pada
posisi yang menjurus kepada suudzan terhadap orang muslim yang adil dan
terjaga dari perbuatan dosa.[4]
B. Takabur dan Tahasud
وعن
عبدالله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلىالله عليه وسلم قال :
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ من كان فىقَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
{رواه مسلم}
“Dari
Abdillah ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda : tidak akan
masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, walaupun
hanya sebesar atom”. (HR. Muslim).[5]
Takabur
artinya : sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi dari orang
lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan, petunjuk, dan lain-lain.
Takabur itu terbagi atas 2 macam yaitu :
Takabur batin : yang merupakan pekerti di dalam hati
Takabur
lahir : yang merupakan kelakuan-kelakuan yang keluar dari anggota
badan, kelakuan-kelakuan ini amat banyak sekali bentuknya dan oleh
karena itu sukar untuk dihitung dan diperinci satu persatu.
Jelasnya
ialah orang yang menghinakan saudaranya sesama muslim melihatnya dengan
mata ejekan, menganggap bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, suka
menolak kebenaran, sedangkan ia telah mengetahui bahwa itulah yang
sesungguhnya benar, maka jelaslah bahwa orang tersebut dihinggapi
penyakit kesombongan dan mengabaikan hak-hak Allah, tidak mentaati apa
yang diperintahkan olehnya serta melawan benar-benar pada zat yang maha
kuasa.
Takabur itu hukumnya haram, kecuali pada 2 tempat :
1. Sombong terhadap orang yang sombong
2. Sombong diwaktu peperangan terhadap orang-orang kafir.[6]
Tahasud
عن
ابى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم :
اِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ ياء كل الحَسَنَاتِ كَمَاتَاءْ
كُلُ النَّارُ الْحَطَبَ {اخرجه ابودود}
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasul bersabda takutlah
kamu terhadap akibat hasud, sebab hasud itu dapat memakan
(menghilangkan) semua kebaikan, seperti makannya api terhadap kayu
bakar.[7]
Hasud
adalah al-munafasah “bersaing”. Perbuatan hasud ini tidak terjadi
kecuali karena suatu nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang,
barang siapa yang membenci nikmat dan menginginkan hilangnya nikmat dari
saudaranya Muslim maka orang itu termasuk orang yang hasud. Oleh karena
itu definisi hasud adalah membenci nikmat yang diberikan Allah kepada
orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu, sekalipun dengan cara
memberi kuasa kepada orang lain untuk menghilangkan nikmat itu.[8]
C. Membuka aib orang lain
وعن
ابى هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلىالله عليه وسلم قال اَتَدْرُوْنَ
مَالْغِيْبَةُ؟ قالوا : اللهُ وَرَسُوْلُهُ اعلمُ : قال ذِكْرُ كَ اَخَاكَ
بِمَايَكْرَهُ قَالَ اَفَرَاَيْتَ اِنَ كَانَ فِىاَخِى مَااَقُوْلُ، قَالَ
: اِنْ كَانَ فِيْهِ مَاتَقُوْلُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ، وَاِنْ لَمْ يَكُنْ
فِيْهِ مَاتَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. {رواه مسلم}
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bertanya : “Tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu? Para
sahabat berkata: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui, beliau bersabda :
“Yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak
menyenanginya. Ada seorang
sahabat bertanya : bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi pada saudaramu itu maka berarti kamu telah
menggunjingnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu benar-benar
membohongkannya” (Riwayat Muslim).[9]
Ghibah
/ menggunjing adalah merupakan suatu perbuatan tercela yang timbulnya
dari lidah. Ghibah dengan buruk sangka adalah suatu perbuatan yang
hampir-hampir sama, hanya ada perbedaannya sedikit.
Ghibah (menggunjing) à membicarakan kejelekan orang dibelakang orangnya.
Buruk sangka à
suatu anggapan tentang orang lain yang boleh jadi benar / salah dengan
berdasarkan data-data yang jauh sekali dari kebenaran. Buruk sangka
terhadap seseorang sangatlah dicela oleh Islam. Sebab hal ini bisa
mengakibatkan pertumpahan darah, karena itu Islam menyuruh menjauhi
sifat tersebut.
Buruk
sangka dikatakan perkataan dusta karena dua hal : benarnya belum tentu,
sedang salah lebih besar dan pasti. Seperti halnya Ghibah, keduanya
mencemarkan kehormatan seseorang yang ditimpa buruk sangka.
Humazah yakni mengumpat à orang yang menusuk perasaan seseorang, melukai hati dan memburuk-burukkan orang lain.
Lumazah à penggunjing yang suka daging sesama manusia disebabkan gemar mengumpat.[10]
D. Boros
وعن
عَمْرِ وبن شُعَيْبٍ عن اَبِيْهِ عن جَدِّهِ رضي الله عنهم قال : قال رسول
الله صلىالله عليه وسلم كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِى غَيْرِ
سَرَفٍ وَلاَ مَحِيْلَةٍ. {اخرجه ابودود واحمد، وعلَّقَهُ لِلْبُخَاريّ}
Dari
Amr Putra Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : bersabda
Rasulullah SAW, makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah
dengan tidak lebih berlebihan dan bukan tujuan sombong”. (Hadits
dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad). Imam Bukhari menyatakan
ta’liqnya.[11]
Pada
hakikat sesungguhnya harta benda itu adalah merupakan nikmat yang besar
dari Allah SWT. Karena itu berlaku boros dan berroyal dengan harta itu
hukumnya haram sebab ada nash yang mencegah hal itu. Demikian juga
dihukumi dengan haram kikir membelanjakan harta benda; sebaik-baik
penggunaan harta yaitu secara pertengahan dan sedang-sedang, tidak
berlebih-lebihan dan berlaku kikir.
Boros
/ royal terhadap benda yaitu penggunaan harta benda secara berlebihan
tanpa ada manfaatnya baik untuk kepentingan duniawi maupun kepentingan
ukhrawi, sehingga kemanfaatan harta itu menjadi sia-sia dan tidak
memberikan manfaat, misalnya membuang harta ke dalam lautan /
membakarnya ke dalam api, tidak memetik buah-buahan yang telah masak di
pohon sehingga ia menjadi busuk / rusak dan tidak bisa diambil
kemanfaatannya.[12]
III. KESIMPULAN
Akhlak
tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan sehari-hari.
Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada dalam
hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu
apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati
segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan
kepada keduniawian).
IV. PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya. Tentunya banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam
penulisan makalah ini baik terlebih masalah isi, untuk itu penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Asmaran AS. MA., Pengantar Study Ahlaq, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.
Imam Ghazali. Bahaya Lidah, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Hasan Ayyub, Etika Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1994.
Riyadlussalihin, Jilid I.
Riyadlussalihin, Jilid II.
Drs. Anwar Mas’ari, MA., Ahlaq al-Qur’an, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1990.
Bulughul Maram.
[1] Drs. Asmaran AS. MA., Pengantar Study Ahlaq, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 183
[2] Imam Ghazali. Bahaya Lidah, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.
[3] Riyadlussalihin, hal. 190
[4] Hasan Ayyub, Etika Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1994, hal. 124
[5] Riyadlussalihin, Jilid I, hal. 576
[6] Drs. Anwar Mas’ari, MA., Ahlaq al-Qur’an, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hal. 210
[7] Bulughul Maram, hal. 761
[8] Hasan Ayyub, op.cit., hlm. 113
[9] Riyadlussalihin, Jilid II, hal. 393
[10] Imam Ghazali, op.cit., hlm. 64
[11] Bulughul Maram, hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar