I. Pendahuluan
Allah
telah mengatur segala sesuatu termasuk rizki manusia satu dengan yang
lainnya. Tak bisa dielakkan lagi, kita hidup di dunia memerlukan segala
sesuatu termasuk harta. Mencari rizki merupakan usaha dalam rangka
memenuhi kebutuhan, dalam pemenuhan kebutuhannya tentu saja dengan cara
usaha dengan berbagai cara. Tetapi perlu diingat, sebagai seorang muslim
dalam usaha mencari rizki harus dengan cara yang benar, dalam arti
dihalalkan hukum Islam baik prosesnya maupun hasilnya.
Bekerja
dan berusaha dalam kehidupan duniawi merupakan bagian penting dari
kehidupan seseorang dalam mempraktekkan Islam, karena Islam sendiri
tidak menganjurkan hidup hanya semata-mata hanya untuk beribadah dan
berorientasi pada akhirat saja, namun Islam menghendaki terjadi
keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi.
II. Permasalahan
Islam
telah mengajarkan tentang bagaimana cara mencari rizki yang halal lagi,
tetapi tidak semua orang dapat mengetahui dan memahami tentang hal itu.
Maka berikut ini kami bahas lebih lanjut tentang bagaimanakah tata
aturan Islam bagi seorang muslim dalam mencari rizki yang halal.
III. Pembahasan
Sebelum
menelusuri lebih jauh tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang
rizki yang halal, tidak ada salahnya jika kita mengetahui lebih dahulu
tentang arti dari rizki itu sendiri, adapun arti rizki ialah sesuatu
yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup.[1]
Hal kedua yang perlu kita ketahui adalah kata halal. Kata halal berasal
dari kata kata yang berarti “lepas” dari ikatan atau “tidak terkait”.
Sesuatu yang halal adalah lepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.[2]
Jadi
rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh
dikerjakan atau dimakan dengan pengertian bahwa yang melakukannya tidak
mendapat sanksi dari Allah. Selain itu memohon dan berdo’a juga
termasuk salah satu bagian dalam usaha mencari rizki.
Hadits di bawah ini akan dibahas hadits-hadits mengenai dorongan mencari rizki yang halal.
a. Hadits Abdullah bin Umar tentang orang memberi lebih baik dari orang yang menerima
حدثنا
اَبُوالنُعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَأ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ اَيُّوْبَ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ
التَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ يقول : قال َّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ
وَالتَّعَفُّفَ وِ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ
الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَاهي
الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَىهي السَّائِلَةُ {البخارى في كتاب الزكاة}[3]
Artinya :
Bercerita
kepada kita Abu Nu’man berkata telah bercerita pada kita Khammad bin
Zaid dari Ayyub dari Nafi’ bin Umar r.a dia berkata: saya telah
mendengar Nabi Saw bercerita kepada kita Abdullah bin Maslamah dari
Malik bin Nafi’. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a : di atas
mimbar Rasulullah SAW berbicara tentang sedekah, menghindari dari
meminta pertolongan (keuangan) kepada orang lain, dan mengemis kepada
orang lain, dengan berkata “tangan atas lebih baik dari tangan di bawah.
Tangan di atas adalah tangan yang memberi, tangan di bawah adalah
tangan yang mengemis”.
Pada lafadz وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ, yang dimaksud adalah menyebut keutamaan shodaqoh dan ta’affuf (menjaga diri dari perbuatan meminta-minta). Dan pada lafadz الْيَدِ السُّفْلَى adalah orang yang mau menerima, maksudnya orang yang tidak mau memberi dan diartikan pula orang yang meminta-minta.الْيَدُ الْعُلْيَا diartikan orang yang memberi shodaqoh.
Dari
hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih
baik daripada orang yang meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta
merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan
hina.
Sebenarnya
meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila
seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan
kata lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi
perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika pekerjaan itu dalam
keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan dirinya sendiri baik di
mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhirat nanti.[4]
Orang
yang dermawan lebih utama dari pada orang yang kerjanya hanya
meminta-minta saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus
diamalkan orang yang membutuhkan, sebab Islam telah memberi tanggung
jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena
alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui
zakat dan shadaqah dan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan
orang lain atau dengan kata lain Islam tidak menyukai pengangguran dan
mendorong manusia untuk berusaha.
Dalam
hadits ini juga berkaitan dengan kisah Nabi yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibnu Khizam yang mana terjadi dialog
antara Nabi dengan sahabat yang bernama Hakim, di situ dalam
percakapannya hakim meminta sesuatu dari Rasulullah, maka di situ beliau
memberikannya hingga dua kali, yang mana terakhir disertai dengan
sabdanya : “Hai Hakim, sesungguhnya harta itu sesuatu yang manis dan
menyenangkan, maka barang siapa yang mengambilnya dengan sikap
kedermawanan diri tentu diberkati Allah apa yang diperolehnya, barang
siapa mengambilnya dengan sikap diri yang menghambur-hamburkan tidaklah
harta itu diberkati dan dinamakan tiada menyenangkan. Tangan di atas
lebih baik daripada tangan di bawah”.
b. Hadits Abu Hurairah tentang menjual kayu bakar lebih baik dari pada meminta-minta
حدثنا يحي بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهابٍ عن أبي عبيد مولى عبد الرحمن بن عوف أنه سمع ابا
هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب
احدكم حزمة على ظهره خير له من ان يسال احد فيعطيه او يمنعه {اخرجه البخارى
في كتاب المساقة}[5]
Artinya :
Bercerita
kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari
Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah
mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : Rasulullah bersabda
“Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus
dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang
lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”.
Makna
hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah SAW menganjurkan untuk
kerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya sendiri, bekerja
dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap muslim dituntut
bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu jika
mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan
diri dari perbuatan meminta-minta karena Islam sebagai agama yang mulia
telah memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Dalam
menari rizki harus mengenal ketekunan dan keuletan. Rasulullah
memerintah mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan
agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain.
Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada
mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam surat al-Isra’ ayat 84 menyatakan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan :
Artinya : Katakanlah:
"Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)
c. Hadits Miqdam bin Ma’dikariba tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri
حدثناإبراهيم ابن موسى أخبرنا عيسى بن يو نس عن ثورٍ عن خالدبن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما اكل احد طعاما قط خيرا من ان ياءكل من عمل يده وان نبي الله داوودعليه السلام كان ياء كل من عمل يده {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[6]
Artinya :
Telah
bercerita Ibrahim bin Musa dikabarkan pada kita Isa bin Yunus dari
Tsaurin dari Khalid bin Ma’dan Diriwayatkan dari al-Miqdam ra : Nabi Saw
pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang
kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri.
Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri”.
Dari
hadits tersebut dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki
yang di dapat dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha
diri sendiri.
Dengan
mengambil contoh, bahwasanya Nabi Daud as adalah seorang Nabi, akan
tetapi beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat
pakaian (rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada
kaumnya.[7]
d. Hadits Abu Hurairah r.a tentang Nabi Zakariya seorang tukang kayu
حدثناهدّاب
بن خالدٍ. حدثنا حمادبن سلمة عن ثابت، عن أبي رافعٍ، عن ابى هريرة رضي
الله عنه يقول قال رسول الله صلىالله عليه وسلم قال كان زكرياء نجّارا
{اخرجه مسلم في كتاب الفضائل}[8]
Artinya :
Telah
bercerita pada kita Haddab bin Kholid telah bercerita pada kita Khammad
bin Salamah dari Tsabit dari Abi Raafi’ dari Abu Hurairah ra.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Nabi Zakariya as, adalah
seorang tukang kayu”
Dalam
hadits di atas memberi ketegasan bahwa pekerjaan apapun tidak dipandang
rendah oleh Islam, hanya perlu ditekankan bahwa dalam berusaha harus
memperhatikan prosesnya yang terkait dengan halal dan haram.
Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ {البقرة : 168}
Artinya :
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)
Nabi
adalah contoh dan suritauladan bagi umatnya seperti yang tertera pada
hadits ini bahwa Nabi pun mengajarkan kita bahwa bekerja apapun asalkan
halal, maka kita boleh melakukannya.
Nabi
Muhammad sendiri pun pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah
sebelum menjadi Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi Nabi dan Rasul
itu tidak merintangi tugasnya sebagai pembawa risalah kebenaran dari
Allah SWT.
IV. Penutup
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mencari rizki yang halal itu
wajib. Sedangkan rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya baik diri sendiri maupun keluarganya. Dan dalam mencari rizki
yang halal, Islam mendorong umatnya untuk tidak memperhatikan jenis
pekerjaan, asalkan pekerjaan itu halal. Dalam artinya bahwa yang
melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah SWT.
[1] M. Ali Usman, dkk., Hadits Qudsy, CV. Diponegoro, Bandung, 1995, hlm. 263
[2] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2000, hlm. 148
[3] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz I, Daarul Fikr, Beirut Libanon, 1981, hlm. 117-118
[4] Usman as-Sakir al-Khaubawiyi, Butir-butir Mutiara Hikmah, Durratun Nasihin, Alih Bahasa Dr. Abdul Ghani, Wicaksana, Semarang, 1985, hlm. 214
[5] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz 3,
Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, 1992, hlm. 112. Hadits
tersebut dibahas dalam bab 14, hadits ini merupakan hadits ke 2074 yang
diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
[6] Ibid.,
[7] Musthoya Muhammad Imaroh, Jawahir al-Bukhari dan Syekh al-Qostholani, Sarah an-Nur, Asia, 1271 H, hlm. 233
[8] Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 8, Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, t.th, hlm. 142. Hadits ini dibahas dalam bab 45 yang merupakan hadits ke 2379
Tidak ada komentar:
Posting Komentar