I. PENDAHULUAN
Belajar
adalah suatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan dengan cara
mempelajari lewat buku-buku, menerima pelajaran di sekolah baik formal
maupun non formal. Jadi dalam belajar ada suatu usaha untuk memperoleh
kepandaian dan pemahaman, sehingga ada perubahan yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu, yang hal itu disebabkan oleh adanya pengalaman.
Aktivitas
belajar merupakan sesuatu yang harus terjadi pada manusia, baik pada
masa sekarang maupun masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
belajar sangat penting bagi manusia. Dan manusia tidak akan mempunyai
pengetahuan dan keahlian jika mereka tidak pernah melakukan aktivitas
belajar.
Dalam
agama Islam, aktivitas belajar merupakan suatu yang wajib bagi insan,
baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat betapa pentingnya aktivitas
belajar ini, sehingga wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah Swt,
kepada rasulnya adalah berkenaan dengan masalah aktivitas belajar, nabi
pun baru melakukan aktivitas belajar dengan bimbingan malaikat Jibril
yang berupa surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi :
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-‘Alaq : 1-5).[1]
Dalam
pandangan Islam, pendidikan bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam
menuju ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini
berarti pendidikan Islam bertujuan menyiapkan anak didik agar menjadi
generasi yang memiliki kepribadian dengan pola iman dan taqwa kepada
Allah SWT.
Pendidikan
agama hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa
anak-anak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya.
Oleh sebab itu pendidikan agama Islam harus ditanamkan dalam pribadi
anak sejak ia lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian
dilanjutkan dengan pembinaan pendidikan ini di sekolah.
Pendidikan
Islam berorientasi pada pembentukan pribadi yang bermoral dan
berakhlakul karimah, tidak hanya memberikan pengetahuan semata, namun
juga berupa merealisasikan dalam bentuk kegiatan keagamaan di sekolah.
Seperti halnya aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan
Pondok Pesantren Nurul Islami. Aktivitas belajar PAI tersebut selain
menambah wawasan dan pengetahuan agama, juga mendidik siswa untuk
mengamalkan ajaran agamanya. Dengan demikian keberhasilan pengajaran
pendidikan agama Islam di sekolah tidak lepas dari berbagai aktivitas
belajar agama yang dilakukan siswa di luar sekolah.
Segala
persoalan dan problema yang terjadi pada remaja, sebenarnya berkaitan
dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari implikasi
lingkungan dimana mereka hidup. Dalam hal ini, suatu faktor penting
yang memegang peranan menentukan dalam kehidupan remaja adalah agama.[2]
Remaja
adalah usia yang sangat strategis untuk perkembangan ke masa depan,
khususnya dalam hal pendidikan agama. Sehingga penulis berusaha mengkaji
aktivitas belajar PAI yang diterapkan di SMA Unggulan Nurul Islami yang
berusaha menggabungkan antara pendidikan formal dengan pendidikan non
formal, yang mana dengan tujuan agar anak didik dapat menjadi taat
kepada sang pencipta.
II. PERMASALAHAN
Untuk
mengetahui secara mendalam tentang “Aktivitas Belajar PAI dan Ketaatan
Beribadah”, maka perlu telaah lebih lanjut tentang :
1. Bagaimana aktivitas belajar PAI di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami Wonolopo – Mijen?
2. Bagaimana ketaatan beribadah anak didik?
3. Bagaimana
pengaruh aktivitas belajar PAI terhadap ketaatan beribadah anak didik
di SMA Unggulan Pondok Pesantren Nurul Islami Wonolopo Mijen?
III. PEMBAHASAN
A. Aktivitas Belajar PAI
1. Pengertian Aktivitas Belajar PAI
Kata aktivitas berasal dari bahasa Inggris “activity” yang artinya adalah kegiatan.[3] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas dapat diartikan sebagai kegiatan atau kesibukan.[4]
Learning
is process by which an activity originates or is changed through
reacting to an encountered situation, provided that characteristics of
the change in activity can not be explained on the basis of native
respon tendencies, maturation, or temporary states of the organism (e.g.
fatigue, drugs, etc.,).[5]
Belajar
adalah proses berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang
terhadap situasi yang disebabkan oleh pengalamannya secara
berulang-ulang dalam situasi di mana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya :
kelelahan, pengaruh obat, dan lain sebagainya).
Secara
umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai
oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang
yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang
terjadi melalui aktivitas mental yang bersifat aktif dan berorientasi
pada tujuan.
Dari
pengertian tersebut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama, belajar
ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, sikap, tingkah laku dan
ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
Kedua,
belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat komulatif,
artinya, hasil belajar tidak diperoleh secara tiba-tiba, akan tetapi
berlangsung melalui proses tahap demi tahap. Kemampuan (performance)
yang telah dikuasai sebagai landasan untuk tahapan proses belajar yang
lebih tinggi atau baik.
Ketiga,
belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang terjadi melalui mental
proses, yaitu serangkaian proses kognitif seperti persepsi, perhatian, mengingat, memecahkan masalah, dan lain-lain.[6]
Pengertian
pendidikan agama Islam sendiri adalah upaya mendidikkan agama Islam
atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.[7]
Dalam pengertian ini dapat berwujud dengan kegiatan yang dilakukan
seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam
menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk
dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup
dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.
Menurut
Zakiyah Daradjat pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan
melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia
dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam
yang telah diyakininya secara menyeluruh serta menjadikan ajaran agama
itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan
hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[8]
Jadi
aktivitas belajar PAI adalah proses kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang (guru)
untuk membantu anak didik dalam menanamkan dan menumbuhkan ajaran Islam
dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidup, yang
diwujudkan dalam sikap dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya
sehari-hari.
2. Jenis-jenis Aktivitas Belajar
Sekolah
adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah
merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Dalam belajar, seseorang
tidak akan dapat menghindarkan diri dari suatu situasi. Situasi akan
menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka belajar.
Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan aktivitas belajar
apa yang akan dilakukan.
Beberapa aktivitas belajar dalam pembahasan ini adalah :
a. Mendengarkan
b. Memandang
c. Menulis atau mencatat
d. Membaca
e. Mengingat
f. Berfikir
g. Latihan atau praktek.[9]
Belajar
yang berhasil, harus melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas
fisik maupun psikis. Aktivitas fisik ialah peserta didik giat, aktif
dengan anggota badan. Membuat sesuatu ataupun bekerja, ia tidak hanya
duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Peserta didik yang
memiliki aktivitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja
sebanyak-banyaknya atau berfungsi dalam pengajaran.[10]
3. Dasar Pelaksanaan PAI
Setiap
usaha atau tindakan yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
harus mempunyai dasar atau landasan yang kuat sebagai suatu pijakan.
Adapun dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam dapat ditinjau dari
beberapa aspek:
a. Dasar Yuridis atau Hukum
Karena Indonesia
adalah negara hukum maka seluruh aspek kehidupan termasuk kegiatan
pendidikan agama didasarkan pada hukum (perundang-undangan) yang
berlaku. Dalam hal ini ada 3 dasar operasional:
1) Dasar Idiil, yaitu dasar falsafah negara pancasila, sila pertama: ketuhanan yang Maha Esa.
2) Dasar struktural atau konstitusional, yaitu UUD 45 dalam BAB XI pasal 29 ayat 1, yang berbunyi:
a) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa.
b) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan
kepercayaan masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan
itu.[11]
3) Dasar
Operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian
dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978. Ketetapan MPR No.
II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap MPR No.
II/MPR/1993 tentang garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah
dasar hingga perguruan tinggi.[12]
b. Dasar Normatif
Dasar
normatif yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW
yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al mursalah,
istihsan, qiyas da sebagainya.[13]
Banyak ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang secara langsung maupun tidak
langsung mewajibkan umat manusia melaksanakan pendidikan, khususnya
pendidikan agama. Adapun pelaksanaan pendidikan agama Islam itu
ditujukan kepada:[14]
1) Kewajiban orang tua mendidik anaknya
Hadits Nabi Saw :
عن ابى هريرة
رضى الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم: ما من مولود الا يولد
على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه كماتننتح البهيمة جمعاءهل
وتحسنوا فيها من جديماء (متفق عليه). [15]
“Dari
Ai Hurairah r. a, Nabi SAW bersabda: “tiada anak dilahirkan kecuali
dalam keadaan fitrah (potensi iman dan Islam), maka kedua orang
tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi seperti seekor
ternak yang melahirkan anaknya dengan sempurna, apakah engkau dapati kekurangan?” (Muttafaqun ‘Alaih)
2) Kewajiban bagi setiap orang Islam untuk belajar agama.
3) Kewajiban mengajarkan agama kepada orang lain
c. Dasar Psikologis
Psikologis
yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan
bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada
hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga
memerlukan adanya pegangan hidup. Manusia merasakan bahwa dalam jiwanya
ada suatu perasaan yang mengakui adanya zat yang Maha Kuasa, tempat
mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan. Hal ini terjadi
pada masyarakat yang masih primitif maupun modern, mereka akan merasa
tenang dan tentram apabila dapat mendekat dan mengabdi pada zat yang
Maha kuasa.[16]
d. Dasar Historis
Pendidikan
agama Islam tumbuh dan berkembang bersamaan dengan datangnya Islam. Hal
ini terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang mendakwahkan ajaran
Islam kepada masyarakat sekitarnya yang dimulai dari keluarga dekat
beliau. Pada tahap awal antara dakwah dan pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan karena tugas utama Nabi adalah dakwah (menyeru) manusia agar
masuk Islam. Islam harus disampaikan agar dipahami, dihayati sampai
diamalkan karena dalam pendidikan Islam juga mencakup area kognitif,
afektif dan psikomotorik.[17]
4. Ruang Lingkup PAI
Pendidikan agama Islam mencakup usaha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
c. Hubungan manusia dengan sesama manusia
Adapun ruang bahan pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi lima unsur pokok, yaitu keimanan, Al-Qur’an, akhlak, fiqih dan tarikh.[19]
5. Karakteristik PAI
Setiap
pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat membedakan dengan
pelajaran lain, adapun karakteristik pelajaran pendidikan agama Islam
adalah sebagai berikut:
a. Secara
umum pendidikan agama Islam merupakan pelajaran yang dikembangkan dari
ajaran dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Untuk
kepentingan pendidikan, melalui proses ijtihad, para ulama mengembangkan
materi pendidikan agama Islam pada tingkat yang lebih rinci.
b. Prinsip-prinsip
dasar pendidikan agama Islam tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran
Islam, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Akidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syari’ah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak penjabaran dari konsep ikhsan.
Dari ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keislaman,
termasuk kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta seni dan
budaya.
c. Pelajaran
pendidikan tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai
berbagai ajaran Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta
didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajaran pendidikan agama Islam menekankan keutuhan dan keterpaduan
antara ranah kognitif, psikomotorik dan afektifnya. Alat atau cara yang
paling efektif untuk mencapai tujuan pendidikan adalah dengan
pengajaran.[20]
d. Tujuan
diberikannya pelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk
peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki
pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah. Oleh karena
itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan sejalan dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh pelajaran pendidikan agama Islam. Sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang RI No. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi:
“Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[21]
e. Tujuan
akhir dari pelajaran pendidikan agama Islam di SMA adalah terbentuknya
peserta didik yang memiliki akhlak mulia. Tujuan inilah yang merupakan
misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pendidikan
akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama Islam. Mencapai akhlak yang
karimah adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Sejalan dengan tujuan
akhlak maka setiap pelajaran lain yang diajarkan harusnya mengandung
muatan pendidikan akhlak dan setiap guru juga harus memperhatikan
tingkah laku peserta didik.[22]
6. Fungsi PAI
Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi sebagai Berikut:[23]
a. Pengembanan,
yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah
SWT yang telah ditanamkan dalam keluarga. Pada dasarnya dan pertama
kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang
tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi menumbuh kembangkan lebih lanjut
dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar
keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
b. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
c. Penyesuaian Mental,
yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran
agama Islam. Penyesuaian mental yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat
mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
d. Perbaikan, yaitu
untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan
pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan,
yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari
budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangan
menuju manusia Indonesia seutuhnya.
f. Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.
g. Penyaluran, yaitu
menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus dibidang agama Islam
agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Dari kedua pandangan dimensi tersebut intinya adalah sama, yaitu ada lima dimensi yang harus ada pada diri seseorang yang telah beragama.
B. Ketaatan Beribadah
1. Pengertian Ketaatan Beribadah
Tha’at
adalah patuh, setia, ataupun tunduk. Taat kepada Allah berarti patuh,
tunduk, setia kepada Allah Ta’ala dengan memelihara syariat-Nya,
melaksanakan segala perintah-Nya, meninggalkan segala larangan-Nya dan
mencontoh sunnah rasul-Nya.[24]
Dalam
arti sempit ibadah adalah menjalankan ajaran agama sesuai dengan agama
masing-masing, sedangkan dalam arti luas ibadah berarti berbuat kebaikan
terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan
alam.[25]
Beribadah
berarti melaksanakan semua perintah Tuhan sesuai dengan kemampuan dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan niat yang ikhlas. Unsur niat
atau kesengajaan merupakan salah satu penentu berpahala tidaknya
perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Tindakan keagamaan yang tidak
disertai dengan niat atau tanpa kesadaran beragama bukanlah ibadah.
Sebaliknya tingkah laku sosial dan pekerjaan sehari-hari, apabila
disertai niat karena Allah adalah termasuk ibadah.[26]
Dari
pengertian diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa ketaatan
beribadah adalah penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan untuk
mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya yang dilakukan
secara ikhlas untuk mencapai keridloan Allah SWT, dan mengharap
pahala-Nya di akhirat dan dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan
manusia.
2. Macam-macam Ibadah
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah
yang ketentuannya pasti), yaitu ibadah yang ketentuan dan
pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah
kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Ibadah ‘ammah (umum),
yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan
dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan dan
bekerja mencari nafkah. Hal ini berarti niat merupakan kriteria sahnya
ibadah ‘ammah.[27]
3. Ciri-ciri Orang yang Taat Beribadah
Orang
yang memahami arti hakekat penciptaan manusia, maka dapat memiliki
ketaatannya dalam beribadah. Orang yang taat beribadah dapat dilihat
dari segi bagaimana ia berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia atau
dengan makhluk lainnya.
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
Secara akal maupun wahyu manusia wajib berhubungan dengan Allah (hablum minallah).
Berhubungan dalam arti mengabdikan dirinya, hidup dan matinya hanya
kepada Allah. Yaitu dengan beribadah seperti menjalankan shalat, puasa
dan amalan yang baik lainnya.
b. Hubungan manusia dengan manusia
Orang
yang memiliki ketaatan beribadah maka ia akan menjalankan aturan yang
berlaku dalam sebuah masyarakat, bagaimana ia berhubungan dengan sesama
manusia, sehingga seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas.
c. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya
Agar
manusia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya, maka hubungan
manusia dengan makhluk lainnya harus didasarkan kepada nilai-nilai yang
positif. Tidak merusak lingkungan, tidak membuat kerusakan-kerusakan dan
pencemaran yang mengancam kelangsungan hidup manusia.[28]
Oleh
karena itu, orang yang memiliki ketaatan beribadah, ia akan berusaha
menjaga dan melestarikan lingkungan dan bagaimana memperlakukan hewan
sesuai haknya sebagai makhluk ciptaan-Nya dengan tujuan untuk beribadah
kepada Allah SWT.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketaatan Beribadah
Faktor yang dapat mempengaruhi ketaatan beribadah dapat dicapai dari dua faktor, yaitu:
a. Faktor Intern
Yaitu
keimanan atau kesadaran yang tinggi akan ibadah, orang yang memiliki
kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan
konsisten, stabil, mantap, dan penuh tanggung jawab serta dilandasi
pandangan yang luas.[29]
Hal ini juga dipengaruhi oleh fitrah manusia yang memiliki motif
ketuhanan dalam dirinya, yaitu belajar dengan tujuan hanya semata-mata
untuk meningkatkan amal ibadah dan kedekatannya dengan Tuhannya, serta
menyadari kewajiban sebagai makhluk untuk selalu beribadah.[30] Keimanan dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya ibadah, keduanya dipengaruhi oleh pemahaman ilmu agama yang tinggi pula.
b. Faktor Ekstern
1) Lingkungan keluarga
Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan yang paling pertama dikenal oleh anak dan
paling berperan utama dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan yang
baik. Kebiasaan yang ada pada lingkungan keluarga merupakan pendidikan
yang nantinya sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan
kebiasaan yang baik pada anggota keluarga.[31]
Sebagai gambaran langsung, keluarga yang anggota keluarganya selalu
membiasakan shalat berjama’ah maka akan mewarnai kebiasaannya baik
ketika berada di dalam maupun diluar lingkungan keluarga.
Menurut Ngalim Purwanto,
pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak
selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.[32]
2) Lingkungan pendidikan agama
Lingkungan
pendidikan agama baik formal maupun non formal sangat mempengaruhi
dalam membentuk corak warna kepribadian dan kebiasaan individu.
Seseorang yang tinggal di pondok pesantren, ia akan cenderung melakukan
hal-hal yang biasa dilakukan oleh santri, ustad atau bahkan sang kyai.
Sebagai contoh sekolah atau pondok pesantren yang semua guru (ustad) nya
selalu membiasakan untuk shalat berjama’ah maka secara tidak langsung
santrinya akan menirunya.
3) Lingkungan masyarakat
Lingkungan
masyarakat juga sangat berperan dalam mempengaruhi aktifitas keagamaan.
Diaman dari lingkungan ini akan didapat pengalaman, baik dari teman
sebaya maupun orang dewasa yang dapat meningkatkan aktivitas keagamaan
anak.
4) Media komunikasi yang membawa misi agama
Salah
satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang adalah
interaksi di luar kelompok. Yang dimaksud interaksi di luar kelompok
ialah interaksi dengan buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya
melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku-buku dan lainnya.[33]
Apabila yang disampaikan Pondok pesantren yang ada ditengah-tengah
masyarakat yang mempunyai motivasi tinggi dalam menjalankan
perintah-perintah agama, seperti kebiasaan shalat jama’ah maka ketika
waktu shalat masjid-masjid di lingkungan tersebut akan penuh jama’ah
shalat, kemungkinan besar kebiasaan santri pondok pesantren tersebut
tidak akan jauh dari masyarakat yang ada. Melalui alat komunikasi
tersebut adalah hal-hal yang berkenaan dengan agama, maka secara
otomatis perubahan perilaku yang muncul adalah perubahan perilaku
keagamaan, sebagai contoh apabila santri selalu membaca media yaitu
kitab-kitab kuning atau buku-buku keagamaan lainnya yang berisi tentang
shalat berjama’ah secara otomatis ia akan terdorong melalui pemikirannya
untuk berusaha melakukannya.
5) Kewibawaan orang yang mengemukakan sikap dan perilaku
Dalam
hal ini mereka yang berotoritas dan berprestasi tinggi dalam masyarakat
yaitu para pemimpin baik formal maupun non formal. Dari kewibawaan
mereka akan muncul simpati, sugesti, dan imitasi pada seseorang atau
masyarakat. Dalam pesantren para pengasuh dan kyai-lah menduduki
posisi ini. Oleh karena itu nasehat atau petuah yang disampaikannya
akan diterima oleh masyarakat dengan cepat dan penuh keyakinan.[34]
C. Pengaruh Aktivitas Belajar terhadap Ketaatan Beribadah
Belajar
bukanlah berproses dari kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai
aktivitas, tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan
aktivitas raganya. Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubungan dengan
masalah membaca, memandang, mengingat, berfikir, latihan atau praktek.
Dalam
belajar, seseorang tidak akan dapat menghindarkan diri dari situasi.
Situasi akan menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan dalam rangka
belajar. Bahkan situasi itulah yang mempengaruhi dan menentukan
aktivitas belajar apa yang akan dilakukan.
Pendidikan
agama Islam di sekolah atau madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal
keimanan dan ketaqwaan.
Untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah serta berakhlak mulia, ternyata tidak bisa hanya
mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya dua jam
pelajaran atau dua SKS, tetapi perlu adanya pelaksanaan aktivitas
keagamaan secara terus-menerus dan berkelanjutan di luar jam pelajaran
pendidikan agama, baik di dalam kelas atau di luar sekolah bahkan
diperlukan pula kerjasama yang harmonis interaktif diantara warga
sekolah dan para tenaga kependidikan yang ada di dalamnya.[35]
Aktivitas
belajar PAI di lembaga pendidikan manapun akan memberi dampak bagi
pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sebab pendidikan agama pada
hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama
lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras
dengan tuntunan agama.
Ibadah
merupakan perwujudan efektif bagi pengembangan akidah, Islam serta
kepercayaan yang sudah dibina. Dalam aktivitas PAI baik formal maupun
non formal, seperti juga bahwa ibadah merupakan perpanjangan iman dan
sekaligus sebagai makanan bagi jiwa manusia serta pertumbuhan bagi
akarnya. Karena iman memiliki sifat bertambah dan berkurang, maka ia
bertambah kuat serta kokoh dengan ketaatan beribadahnya.[36]
Aktivitas
belajar PAI yang meliputi mendengarkan, memandang, membaca, menulis,
mengingat, berfikir serta praktek dapat memperkuat pemahaman agama yang
sudah dimiliki oleh anak didik serta dapat bertingkah laku dengan baik
terhadap sesama, sehingga mampu menjadi anak yang taat dalam menjalankan
ibadah kepada Allah Swt.
Oleh
karena itu aktivitas belajar pendidikan agama Islam yang diterapkan di
SMA Nurul Islami Wonolopo-Mijen baik yang berada di pendidikan formal
maupun aktivitas yang berada di pondok pesantren dapat mempengaruhi
kejiwaan agama anak didik sehingga menimbulkan ketaatan dalam
beribadahnya.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Aktivitas
belajar PAI adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam
proses belajar mengajar PAI dengan tujuan untuk membentuk peserta didik
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, memiliki pengetahuan yang
luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
2. Ketaatan
beribadah adalah cerminan seorang hamba yang mampu menggunakan akal
fikirannya untuk berfikir tentang hakekat dia diciptakan, sehingga mampu
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang dapat
diaplikasikan dengan bagaimana ia berhubungan dengan Tuhannya, dengan
dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain.
3. Aktivitas
belajar PAI adalah salah satu kegiatan yang dapat menggerakkan dan
menambah pengetahuan serta pemahaman agama, sehingga mampu diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan berfikir dan jiwa menjadi tenang
dengan apa yang dia lakukan, sehingga dia mampu melaksanakan segala
ibadah yang diperintahkan Allah Swt dan disunnahkan oleh Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Ahmadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995, Cet. 3.
Arifin, M., Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
_______, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. 17.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro, 2005, cet. 5.
Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama Islam, Jakarta: 2004.
Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003.
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, cet.I.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1990, cet. XIX.
Hartanto, Jhon Surjadi, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, Surabaya: Indah, 1994.
Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower, Theory of Learning, New York : Meredith Publishing Company, 1966.
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Muslim, Imam Abi Khusain, Shahih Muslim, Beirut: Ikhya’u Taroti Al ‘Arobi, t.th.
Pasaribu, I. L., dan B. Simanjuntak, Proses belajar Mengajar, Bandung: Tarsito, t.th.
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.
Ruhani, Ahmad, dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, cet. I.
Rusyan, A. Tabrani, Pendidikan Budi Pekerit, Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th.
Shodiq, M., Kamus Istilah Agama, Jakarta: Bina Ciptama, 1990.
Thoha, Chabib, (eds), PBM PAI di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, cet.3.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bandung: Fokus Media, 2003.
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : PT. Gresco, 1991.
Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, Bandung: Armilo, 1986.
Zuhaili, Muhammad, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Jakarta: Ba’adillah Press, 1999, cet. 2.
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990), cet. XIX, hlm. 10.
[4] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), cet.3, hlm. 17.
[5] Ernest R. Hilgard, Gordon H. Bower, Theory of Learning, (New York : Meredith Publishing Company, 1966), hlm. 2.
[6] Abdul Mu’ti, PBM-PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998), cet.I, hlm. 94-95.
[7] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 7
[10] Ahmad Ruhani dan Abu Ahmadi, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), cet. I, hlm. 6.
[11] Jhon Surjadi Hartanto, Undang-Undang 1945, PA, GBHN, Warkat, (Surabaya: Indah, 1994), hlm. 45
[12] Ibid, hlm. 57
[13] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit, hlm. 19
[14] Achmadi, “Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, dalam Chabib Thoha (eds), PBM PAI di Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 33
[16] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 133
[17] Achmadi, op.cit, hlm. 48
[19] Ibid, hlm. 29
[20] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan…op.cit., hlm. 30.
[21] Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm.7
[22] Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Penyusunan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2003), hlm. 2
[23] Abdul Majid. dan Dian Andayani, op.cit, hlm.134
[24] M. Shodiq, Kamus Istilah Agama,(Jakarta: Bina Ciptama, 1990), hlm. 357.
[25] A. Tabrani Rusyan, Pendidikan Budi Pekerti, (Jakarta: PT. Cuti Media Cipta Nusantara, t.th), hlm. 47
[26] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1995), Cet. 3, hlm. 47
[28] Zaenuri, dkk, Pendidikan Agama Islam SMA, (Bandung: Armilo, 1986), hlm. 35
[29] H. Abdul Aziz Ahmadi, op.cit, hlm. 54
[31] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 134
[32] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 79
[33] W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : PT. Gresco, 1991), hlm. 155
[34] H. M. Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 126
[35] Muhaimin, op.cit., hlm.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar