I. PENDAHULUAN
Manusia
sebagai kenyataan fisik material terdiri atas bagian-bagian yang
membentuk suatu komposisi yang menunjukkan eksistensi manusia secara
fisik biologis. Secara psikis, manusia juga memiliki aspek-aspek dan
dimensi-dimensi psikis yang membentuk suatu struktur / komposisi
totalitas psikis manusia.[1]
II. PEMBAHASAN
Secara bahasa kata motivasi berasal dari bahasa Inggris “motivation” yang kata kerjanya adalah motivate yang berarti “to provide with motives, as the characters in a story or play”.
Artinya : “Sebagai karakter dalam cerita / permainan”. Berdasarkan itu,
dapat dijelaskan bahwa motivasi adalah dorongan yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu perbuatan. Dalam istilah psikologi, motivation
adalah “a general term referring to the regulation of need–satisfying and goal–seeking behaviors”. Artinya : “motivasi adalah istilah umum yang merujuk kepada perputaran pemenuhan kebutuhan dan tujuan tingkah laku”.[2]
Berdasarkan
sifatnya yang intrinsik, motivasi muncul sebagai akibat adanya tiga hal
pokok, yaitu kebutuhan pengetahuan, dan aspirasi cita-cita. Sementara
itu, motivasi ekstrinsik muncul sebagai akibat adanya tiga hal pokok
juga, yaitu : ganjaran, hukuman, persaingan / kompetisi. Sejalan dengan
itu, maka motivasi itu berguna dan bermanfaat bagi manusia sebagai:
menggerakkan tingkah laku, mengarahkan tingkah laku, menjaga dan
menopang tingkah laku. Kecuali itu, yang tak kalah pentingnya adalah
bahwa motivasi itu juga mempunyai peranan dan fungsi yang besar bagi
manusia, yaitu : 1) menolong manusia untuk berbuat / bertingkah laku. 2)
menentukan arah perbuatan manusia, dan 3) menyeleksi perbuatan manusia.
Peranan
yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut niyyah dan
ibadah. Niyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat / beramal.
Sementara ibadah adalah tujuan manusia berbuat / beramal. Maka
perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah
hadits Rasulullah menjelaskan bahwa perbuatan sangat ditentukan oleh
niyat.
إنّـما لأعمـال بالنيـة
“Sesungguhnya amal perbuatan itu ditentukan oleh niyatnya”[3]
Berdasarkan
itu, dapat dirumuskan ada tiga kelompok sifat-sifat kebutuhan manusia,
yaitu : kebutuhan yang bersifat jismiah (fisik-biologis, primer),
kebutuhan yang bersifat nafsiah (psikologis / sosiologis, sekunder), dan
kebutuhan yang bersifat ruhaniah (spiritual, meta-kebutuhan).
Kebutuhan-kebutuhan
jismiah adalah seluruh kebutuhan yang bersifat fisik-biologis.
Kebutuhan-kebutuhan itu berada pada dasar yang paling bawah dari
rangkaian kebutuhan manusia.
o Kebutuhan-kebutuhan nafsiah
Kebutuhan-kebutuhan
nafsiah adalah sejumlah kebutuhan diri manusia yang bersifat psikis /
psikologis. Kebutuhan-kebutuhan ini muncul dari berbagai dimensi dalam
aspek nafsiah.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-nafsu
Tingkatan
kedua adalah kebutuhan pada rasa aman dan seksual. Kebutuhan-kebutuhan
pada dimensi ini merupakan sisi dalam dari kebutuhan-kebutuhan biologis
dari aspek jismiah manusia.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-aql
Tingkatan
ketiga adalah kebutuhan kepada penghargaan diri dan rasa ingin tahu.
Dengan adanya pemikiran dan sifat rasional itu, manusia dapat menyadari
dan menilai keberadaan dirinya di antara keberadaan orang lain.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-qalb
Tingkatan
keempat adalah kebutuhan kepada rasa cinta dan kasih sayang. Kebutuhan
ini sebagai akibat adanya sifat supra rasional, perasaan, dan emosional
yang bersumber dari dimensi qalb.
Kebutuhan-kebutuhan Ruhaniah
Kebutuhan-kebutuhan
ruhaniah merupakan kebutuhan yang bersifat spiritual. Sejalan dengan
dimensi yang ada pada aspek ruhaniah ini, yaitu dimensi al-ruh, dan
dimensi al-fitrah, maka ada dua jenis kebutuhan aspek ruhaniah ini,
yaitu kebutuhan perwujudan diri (akulturasi diri) dari dimensi al-ruh,
dan kebutuhan agama (ibadah) dari dimensi al-fitrah.
o Kebutuhan perwujudan diri (akulturasi diri)
Tingkatan
kelima adalah kebutuhan akan perwujudan diri untuk mewujudkan fungsi
itu manusia telah dibekali oleh Allah dengan sejumlah potensi.
o Kebutuhan ibadah (agama)
Tingkatan
keenam adalah tingkatan tertinggi dan terakhir, yaitu kebutuhan kepada
agama. Bentuk kebutuhan pada agama dalam hal ini diartikan sebagai
kebutuhan beribadah sebagai salah satu tugas manusia.[4]
Abraham
Horald Maslow (1326-1390 H / 1908-1970 M) menyebutnya dengan istilah
meta-motivasi. Menurutnya ada tiga kelompok motivasi manusia dan
bertingkah laku, yaitu motivasi biologis, motivasi psikologis dan
meta-motivasi. Meta motivasi baginya adalah pemenuhan akulturasi diri, yaitu mewujudkan potensi luhur batin manusia.
o Sumber penyakit kejiwaan
Setiap
makhluk hidup memiliki kebutuhan primer, yaitu kebutuhan hidup demi
menjamin keberlangsungan keberadaannya, memenuhi kebahagiaannya, dan
mengukuhkan kelangsungan keturunannya. Semua itu dinamakan dengan
pemeliharaan atas beberapa naluri yang meliputi : (1) naluri mencintai
kehidupan dan menjaga keberlangsungannya, (2) naluri mencintai
kepemilikan, (3) naluri seksual (kecenderungan terhadap lawan jenis),
(4) naluri kasih sayang dan welas asih yang muncul dari perasaan fitri
akan kelemahan diri.
Naluri
penjagaan diri / mencintai kehidupan dan kekekalannya yang disertai
dengan adanya pengaruh kebiasaan masyarakat yang dominan / pendidikan
rumah dan sekolah yang keliru akan menumbuhkan penyakit takut mati dan
penyakit turunannya seperti penyakit takut umur pendek, takut akan siksa
kubur, penyakit ingin kekal, penyakit takut sakit, dan penyakit rasa
berat hati orang sakit kepada anak-anaknya.
Naluri
mencintai kepemilikan yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan
sekolah yang keliru / kebiasaan masyarakat yang desktruktif akan
menumbuhkan penyakit bakhil, penyakit mencemaskan masa depan, penyakit
takut akan masa depan, penyakit merasa kekurangan, penyakit mencelakai
orang lain, penyakit cinta terhadap kekuasaan dan kepada penguasa, dan
sebagian penyakit seksual.[5]
Perasaan
fitri akan kelemahan diri dan kebutuhan setiap diri akan kasih sayang
dan sikap welas asih yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan
sekolah yang keliru serta kebiasaan masyarakat yang destruktif akan
menimbulkan penyakit merasa serba kurang, penyakit takut kepada orang
lain, penyakit mencelakai diri sendiri dan orang lain, dan sebagian
penyakit seksual.
Kebutuhan
/ naluri seksual yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan
sekolah yang keliru serta berbagai pemahaman masyarakat yang salah akan
menimbulkan penyakit berupa berbagai penyimpangan seksual.
Telah
menjadi kebiasaan di kalangan para psikolog untuk menyebut berbagai
sumber dan sebab munculnya berbagai perasaan emosional dan perilaku yang
sakit dengan penyakit kejiwaan. Beberapa ayat al-Qur’an mulia menyebut
penyakit kejiwaan ini dengan istilah kesukaran (‘aqabat), thaghut,
syahwat, hawa nafsu, dan ‘Tuhan’ (arbab).
o Penyebab
Sesungguhnya
kehilangan, penyimpangan, ataupun tidak adanya pengetahuan terhadap
dasar-dasar pendidikan rumah dan sekolah yang benar yang dibangun di
atas prinsip-prinsip akhlak yang benar dan yang disandarkan pada
pelajaran-pelajaran samawi yang benar merupakan penyebab utama bagi
timbul dan tumbuhnya akar penyakit kejiwaan pada generasi muda.
o Mekanisme dan gejalanya
Ada
beberapa mekanisme kejiwaan untuk melepaskan jiwa dari segala kesukaran
yang dialami. Bagi seorang ahli, hal semacam ini dapat terlihat karena
penyakit itu berubah menjadi kebalikannya, yang dinamakan dengan ‘ganti
rugi’. Seperti : penyakit kekikiran sering berubah menjadi keserakahan,
ketamakan, dan kebakhilan, penyakit kelemahan berubah menjadi penyakit
kesombongan dan keangkuhan, penyakit kurang kasih sayang berubah menjadi
suka menyakiti, bersikap ganas, dan tinggi hati.[6]
o Penyakit kikir akan kasih sayang
Setiap
makhluk hidup membutuhkan sekali kasih sayang, cinta dan pemeliharaan,
yang paling penting dan wajib direalisasikan adalah kasih sayang, cinta
dan pemeliharaan terhadap (1) orang tua, (2) karib kerabat. (3)
saudara-saudaranya yang mukmin.
Hewan
dan tumbuhan juga membutuhkan kasih sayang dan pemeliharaan fisik
maupun psikis, jadi tidak hanya manusia. Hilangnya cinta pada manusia,
khususnya sejak kelahirannya sampai berakhirnya masa remaja, biasanya
akan mendatangkan penyakit kurang kasih sayang. Penyakit ini akan
berpengaruh secara negatif terhadap perasaan dan perilaku manusia.
Sehingga ia tampak seperti menipu dirinya sendiri maupun orang lain. Di
antara gejalanya adalah sikap mementingkan diri sendiri, menjadi gila,
ragu / bimbang, cemas, sedih, jahat, serta cenderung menyakiti orang
lain dan dirinya sendiri.
o Penyakit kikir dan bakhil
Penyakit
ini dalam beberapa kondisi, berhubungan erat dengan penyakit kurang
kasih sayang. Kebanyakan gejalanya merupakan kebalikannya seperti
berlebihan dalam makan dan minum serta kebergantungan pada segala
sesuatu yang cepat hilang, yang kemudian melahirkan penyakit seperti
sikap bakhil dan takut miskin.
o Penyakit merasa kekurangan, menyesal dan takut kepada orang lain
Merasa
kurang dan lemah sesungguhnya merupakan perasaan alamiah dalam diri
setiap makhluk hidup. Dalam beberapa kondisi, penyakit merasa kekurangan
ini berhubungan erat dengan penyakit kikir materi dan kurang kasih
sayang / penyakit buruk akhlak dan perilaku dengan pendidikan rumah dan
masyarakat yang salah / dengan semua sebab-sebab ini. Di antara
gejalanya adalah adanya sikap mengasingkan diri, melarikan diri, takut
kepada orang lain, sangat cemas menghadapi segala sesuatu yang baru,
buruk akhlak, serta senang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
o Penyakit angkuh, sombong dan arogan (penyakit iblis / penyakit maksiat yang pertama)
Keangkuhan,
kesombongan dan arogansi merupakan penyakit yang tidak disenangi Allah
sekaligus merusak diri sendiri dan orang lain, karena biasanya sering
menyertai sifat kezaliman.
Manusia
sejak pembentukan kepribadiannya sampai tarap kematangannya senantiasa
berusaha mengalahkan perasaan lemah yang bersifat alamiah yang ada pada
dirinya. Jika keluarga dan para pendidik, di dalam proses pendidikan
mereka terhadap anak-anak, tidak memperbandingkan antara perasaan lemah
yang bersifat fitri dan dorongan perasaannya untuk mengalahkan perasaan
lemah ini melalui kesukaan dan kebutuhan pada kekuatan dan kekuasaan,
maka hawa nafsu dan keinginan anak-anak kadang-kadang condong untuk
terus menerus berada dalam penyakit keangkuhan, kesombongan dan sikap
arogan.
Tidak
ada sesuatu pun yang dapat membimbing jiwa manusia menuju tingkat yang
seimbang antara penyakit kekurangan dan penyesalan dengan penyakit
keangkuhan dan sikap arogan, kecuali pendidikan agama yang benar.[7]
Freud
menemukan persamaan antara perbuatan was-was (obsessions and
compulsions) dan upacara-upacara agama, maka seorang yang menderita
gangguan jiwa dengan ganjil compulsive behavior, misalnya terpaksa
mengulangi perbuatan / kata-kata tertentu, yang tidak ada gunanya,
kendatipun menurut logika dan kesadarannya ia tidak menginginkan
terjadinya seperti itu.[8]
III. KESIMPULAN
Jika
Islam dipahami, dipelajari dan dilaksanakan dengan sistematis dan
ilmiah, baik di rumah, di sekolah, ataupun di tengah-tengah masyarakat.
Maka dia akan menjadi satu-satunya sistem samawi yang sempurna dan tidak
memiliki cela. Sistem samawi inilah yang mampu membebaskan manusia dari
segala penyakit kejiwaan, bahkan meninggikan derajat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Bahrudin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Dr. Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2005.
[1] Dr. Bahrudin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 203
[2] Ibid., hlm. 238
[3] Ibid., hlm. 239
[4] Ibid., hlm. 247
[5] Dr. Adnan syarif, Psikologi Qur’ani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 122
[6] Ibid., hlm. 126
[7] Ibid., hlm. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar