H. Arief Furqan, MA, PhD.
Pendahuluan
Dari
beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu
lembaga pendidikan, barangkali kurikulumlah yang bisa
dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan.
Hal ini tidak lain karena kurikulum merupakan rencana
pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa. Bahkan
dalam pengertian lebih luas, keberadaan kurikulum tidak
saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam
ruang kuliah, melainkan juga meliputi apa saja yang
sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami mahasiswa
di dalam kampus. Oleh karena itu, posisi kurikulum menjadi
mata rantai yang urgen dan tidak dapat begitu saja dinafikan
dalam konteks peningkatan kualitas perguruan tinggi.
Karena
ibarat orang membangun, kurikulum adalah 'blue print'
(gambar cetak biru) nya. Blue print ini harus jelas
bagi semua fihak yang terkait, meliputi; arsitek yang
menggambar, pemilik rumah yang akan membiayai proyek
pembangunan rumah tersebut, dan pemborong serta para
tukang yang akan membangun rumah. Tidak boleh ada perbedaan
persepsi di antara fihak-fihak terkait mengenai bagaimana
bentuk akhir rumah tersebut berdasarkan blue print itu.
Apabila terjadi perbedaan persepsi di antara fihak fihak
tersebut, pastilah akan terjadi kesalahfahaman dan kekecewaan,
terutama di fihak pemilik rumah yang telah mengeluarkan
uang untuk proyek tersebut.
Dari
sudut pandang ekonomi, lembaga pendidikan yang memungut
biaya (berupa SPP atau lainnya) dapat dianggap sebagai
lembaga penjual jasa, yaitu jasa layanan pendidikan.
Dalam hal ini, kurikulum itulah yang ditawarkan untuk
'dijual' kepada masyarakat. Apabila pengelola lembaga
pendidikan tersebut menginginkan agar lembaga pendidikannya
diminati masyarakat, maka mereka harus membuat kurikulum
yang menarik dan dianggap dapat memenuhi harapan dan
kebutuhan masyarakat. Tentu saja, kurikulum bukanlah
satu-satunya daya tarik. Karena apalah artinya kurikulum
yang baik, par exellence kalau dosennya (tukangnya)
kurang mampu mewujudkan kurikulum tersebut dalam lapangan
empiric (kenyataan). Begitupula kurikulum akan tidak
banyak mempunyai arti (meaningless) kalau sarana pendidikannya
(alat pertukangannya) juga kurang memadai. Namun, tanpa
kurikulum yang baik dan jelas, dosen dan sarana sebaik
apapun tidak akan menghasilkan lulusan yang bagus.
Seperti
diuraikan di atas, kurikulum harus disusun dengan baik
dan harus jelas bagi semua fihak yang berkepentingan,
dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri Civitas akademika
dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia
masih tidak demikian. Banyak di antara perguruan tinggi
yang kurikulumnya "meniru" perguruan tinggi
lain yang sejenis tanpa mengerti landasan filosofis
yang ada di balik kurikulum tersebut. Demikian pula
halnya dengan IAIN dan STAIN, apalagi PTAIS. Kurikulum
nasional mereka dibuat oleh Departemen Agama di Jakarta
dan hanya berupa daftar matakuliah. Silabusnya pun dibuat
seragam dan berupa deretan topik inti yang kadang-kadang
tumpang tindih (over laping) satu sama lain. Celakanya
lagi kurikulum dan silabus buatan orang lain ini dianggap
sakral (untouchables) dan tak dapat diubah lagi. Padahal
sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya mereka
menyadari sifat otonomi keilmuan yang mereka miliki.
Kurikulum lokal yang menjadi hak penuh mereka pun diisi
dengan matakuliah yang dulu ada dan dalam kurikulum
baru sengaja dihilangkan. Akibatnya, kurikulum baru
1997 tidak ada bedanya dengan kurikulum 1995 sebelumnya.
Hanya posisi matakuliahnya saja yang berbeda.
Dengan
membaca kurikulum yang tertulis dalam buku pedoman kebanyakan
PTAI, kita masih belum dapat memperoleh gambaran tentang
hal-hal penting. Gambaran tersebut antara lain berisi
apakah yang akan dibentuk oleh PTAI melalui kurikulum
itu? (Kalaupun ada ungkapan seperti 'ulama yang intelek
dan intelektual yang ulama' di kalangan civitas akademika,
hal itu juga masih belum kongkrit dan terukur. Bagaimanakah
profil lulusan PTAI yang diidamkan itu: bagaimana sikap
hidup mereka, pengetahuan dan ketrampilan apa yang akan
mereka peroleh sebagai hasil belajar mereka di PTAI?)
Bagaimana cara PTAI untuk mewujudkan lulusan seperti
itu? Aspek-aspek apakah yang akan dikembangkan melalui
kurikulum itu? Bagaiman cara PTAI untuk mengembangkan
aspek-aspek tersebut? Bagaimana PTAI akan mengevaluasi
apakah mahasiswa telah menguasai aspek-aspek tersebut?
Bagaimana cara PTAI memastikan bahwa tujuan kurikulum
yang telah mereka nyatakan itu telah tercapai atau belum?
Apa standar kelulusan (standar kualitas) yang dipedomani
oleh PTAI?
Yang
lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa kurikulum tersebut
bukan saja tidak jelas bagi masyarakat yang ingin mengetahui
apa isi kurikulum PTAI, melainkan juga tidak jelas (setidaknya
tidak ada jaminan bahwa hal itu sudah jelas) bagi sebagian
(mungkin sebagian besar) dosen yang secara langsung
mendidik mahasiswa di ruang kuliah. Kalau diibaratkan
PTAI sebagai developer yang berusaha menjual rumah kepada
masyarakat, maka dalam hal ini masih terdapat ketidak
samaan visi antara arsitek (pembuat kurikulum) dengan
pemborong (pimpinan PTAI) dengan para tukangnya (dosen)
mengenai bagaimana gambar akhir dari rumah (lulusan)
yang akan dihasilkan oleh proyek pembangunan rumah (pendidikan
mahasiswa) itu. Masing-masing fihak memiliki visi masing-masing
mengenai kualitas lulusan dan apa yang seharusnya dilakukan
untuk menghasilkan lulusan seperti itu.
Bagaimanakah
seharusnya kurikulum suatu perguruan tinggi?
Mengingat
kurikulum adalah program layanan pendidikan yang ditawarkan
atau 'dijual' kepada masyarakat, maka seharusnya kurikulum
dipandang sebagai jati diri perguruan tinggi yang bersangkutan.
Kurikulum perguruan tinggi harus mencerminkan identitas
lembaga tersebut sebagai perguruan tinggi yang bermutu
(melakukan pendidikan, pengembangan ilmu/penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat). Di samping itu ia
harus mencerminkan misi dan visi perguruan tinggi tersebut
sebagai lembaga. Kurikulum juga harus memberikan gambaran
yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan dan
bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan
lulusan yang diharapkan itu melalui berbagai program
studi (jurusan) yang ada di perguruan tinggi tersebut.
Ia juga harus menunjukkan keistimewaan perguruan tinggi
tersebut jika dibandingkan dengan perguruan tinggi sejenis.
Mengingat
kurikulum inilah yang sebenarnya 'dibeli' atau yang
menarik minat masyarakat, maka kurikulum harus dikemas
sedemikian rupa hingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa
mereka tidak akan rugi kalau belajar di lembaga pendidikan
yang bersangkutan. Di sampping penampilan, bahasa dalam
kurikulum itu harus menarik dan meyakinkan pembaca.
Pembaca harus diyakinkan bahwa program pendidikan di
perguruan tinggi tersebut telah dirancang dengan cermat
dan rapi sehingga tidak akan membuang waktu, tenaga,
dan dana mahasiswa yang belajar di tempat itu.
Kurikulum
ini harus jelas terutama bagi civitas akademika perguruan
tinggi itu sendiri (pimpinan, dosen, karyawn, dan mahasiswa).
Hal ini diperlukan agar terjadi persamaan persepsi mengenai
arah yang harus dituju oleh proses pendidikan di lembaga
itu dan bagaimana cara menuju ke arah tersebut. Kegagalan
dalam menyamakan persepsi mengenai kurikulum ini akan
mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan kurikulum yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, setelah kurikulum
itu disusun dengan baik dan jelas, ia harus disosialisasikan
kepada seluruh civitas akademika. Kualitas lulusan yang
tidak seperti yang diharapkan merupakan indikator adanya
hal yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mengajar
yang ada di perguruan tinggi bersangkutan. Perlu segera
dikaji apakah problemnya ada di kurikulum yang kurang
jelas dan terarah, pada sosialisainya, pada kemampuan
dosen untuk merealisasikan kurikulum tersebut, kurangnya
sarana pembantu, ataukah pada evaluasinya.
Kurikulum
suatu perguruan tinggi seharusnya memuat informasi yang
jelas tentang hal-hal sebagai berikut:
- Misi perguruan tinggi tersebut. Misi dapat dianggap sebagai alasan mengapa atau untuk apa perguruan tinggi tersebut diadakan. Misalnya, untuk PTAI, misi tersebut mungkin adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ahli agama yang mampu menerjemahkan ajaran agama dalam kehidupan modern ini. Misi ini harus juga mencerminkan ciri khas perguruan tinggi yaitu tri dharma: pendidikan, penelitian (pengembangan ilmu), dan pengabdian kepada masyarakat (pengamalan ilmu).
- Visi ke depan perguruan tinggi itu. Visi ini merupakan gambaran masa depan yang diinginkan terjadi pada perguruan tinggi tersebut sebagai antisipasi terjadinya perubahan zaman di masa depan. Misalnya, ada perguruan tinggi yang mempunyai visi (cita-cita) untuk menjadi perguruan tinggi yang bertaraf internasional. Visi ini berguna sebagai pendorong semangat juang civitas akademikanya untuk meningkatkan mutu mereka sehingga menjadi seperti yang mereka cita-citakan.
- Tujuan kurikuler. Bagian ini hanya mencakup satu aspek saja dari misi perguruan tinggi, yaitu bidang pendidikan. Mengingat kurikulum adalah rencana pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa untuk menghasilkan lulusan (sarjana) sesuai dengan yang dicita-citakan, maka tujuan kurikuler ini harus secara eksplisit menyebutkan lulusan yang bagaimana yang diharapkan akan dihasilkan oleh perguruan tinggi itu. Tentunya ada ciri-ciri dasar yang sama bagi setiap lulusan perguruan tinggi tersebut di samping ciri-ciri khusus yang merupakan kekhasan jurusan atau program studi tertentu.
- Profil lulusan. Karena tujuan kurikuler biasanya bersifat umum, maka diperlukan suatu gambaran atau profil lulusan yang lebih kongkrit dan terukur. Profil ini harus menggambarkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan apa yang akan dapat dimiliki atau dilakukan oleh lulusan setelah mereka mengikuti program pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Misalnya, lulusan akan sudah mampu mengoperasikan komputer, berbahasa Inggris secara lancar, memahami isi kitab berbahasa Arab, memiliki akhlaq mulia, mampu menyebutkan perbedaan dan persamaan para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur'an, dsb.
- Pendekatan yang diambil dalam proses pendidikan. Ini adalah filsafat pendidikan yang dianut oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Misalnya, ada perguruan tinggi yang menggunakan pendekatan Sokrates (dosen mengajukan pertanyaan untuk merangsang mahasiswa berfikir), ada pula yang menggunakan pendekatan library-based teaching atau pendidikan yang berpusat atau berbasis pada perpustakaan, dsb.
- Aspek kepribadian mahasiswa yang dikembangkan. Misalnya aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta bagaimana cara mengembangkannya. Semakin rinci penjelasan tentang hal ini akan semakin jelas bagi semua fihak yang terlibat dan akan semakin mudah Perguruan Tinggi tersebut mewujudkan cita-cita pendidikannya (menghasilkan lulusan yang bermutu dan berguna bagi masyarakat).
- Program studi yang dikembangkan di perguruan tinggi tersebut. Program studi inilah sebenarnya yang diambil oleh setiap mahasiswa. Dalam hal ini harus diberikan deskripsi singkat tentang tiap-tiap program studi yang ada. Untuk setiap program studi perlu diberikan tujuan kurikuler serta profil lulusannya. Tujuan kurikuler dan profil lulusan jurusan/program studi ini harus selaras dengan tujuan kurikuler dan profil lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan yang telah ditetapkan di muka.
- Daftar mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa untuk mewujudkan profil lulusan seperti itu. Dalam daftar matakuliah ini perlu ditunjukkan fungsi tiap-tiap mata kuliah dalam upaya mewujudkan profil lulusan sehingga tampak keterkaitan satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Perlu diingat bahwa materi matakuliah hanyalah sarana sedang yang dikembangkan adalah pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan ketrampilan mahasiswa agar dapat menjadi sosok lulusan seperti yang diidam-idamkan dalam profil lulusan. Keberhasilan suatu matakuliah diukur berdasarkan keberhasilan mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, serta ketrampilan yang diniatkan dikembangkan melalui matakuliah itu pada diri mereka sendiri.
- Deskripsi mata kuliah yang akan diberikan. Deskripsi ini diperlukan guna membantu mahasiswa mengetahui apa yang akan mereka peroleh dan tujuan apa yang akan mereka capai kalau mengikuti mata kuliah tersebut. Deskripsi ini juga akan membantu dosen yang akan mengampu mata kuliah tersebut.
- Sistem evaluasi yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut yang menjelaskan bagaimana mereka akan mengukur keberhasilan mahasiswa dalam mencapai tujuan kurikuler maupun tujuan matakuliah.
- Sistem perkuliahan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut. Misalnya apakah menganut sistem sks ataukah tidak, apakah mahasiswa diperbolehkan mengambil matakuliah sejenis lintas jurusan ataukah tidak, apakah ada program remedial bagi mahasiswa yang memerlukan, apakah ada program perbaikan nilai bagi mahasiswa yang menginginkannya, dsb.
Pentingnya
Buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum di Setiap PTAI
Pendidikan
di perguruan tinggi seperti PTAI adalah suatu usaha
bersama. Upaya mendidik mahasiswa dilakukan oleh banyak
orang (dosen, pimpinan, pegawai, dsb.). Ini berbeda
dari kursus kecil yang cukup dilayani oleh seorang guru.
Dalam kerja bersama ini, yang menentukan adalah persamaan
persepsi tentang ke mana pendidikan itu harus diarahkan,
bagaimana caranya, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilannya.
Oleh
karena itu, setiap perguruan tinggi harus memiliki sebuah
buku pedoman pelaksanaan kurikulum yang menjelaskan
secara rinci dan jelas hal-hal tersebut di atas. Tanpa
adanya buku seperti itu, dikhawatirkan arah pendidikan,
cara mendidik, dan cara mengukur keberhasilan upaya
pendidikan di perguruan tinggi tersebut akan difahami
secara berbeda-beda oleh fihak-fihak yang terlibat di
dalamnya. Akibatnya, tidak ada persamaan pandangan di
antara para dosen, pimpinan, mahasiswa, dan masyarakat.
Masing-masing fihak itu akan memiliki tafsiran sendiri-sendiri
tentang ke mana seharusnya pendidikan di perguruan tinggi
itu harus diarahkan dan bagaimana cara seharusnya. Keadaan
seperti ini tentu saja dapat menyebabkan proses pendidikan
di perguruan tinggi tersebut kurang efektif dan efisien.
Buku
pedoman ini harus disusun berdasarkan kesepakatan para
pendidik yang ada di perguruan tinggi tersebut dengan
melibatkan para stakeholders lainnya. Berikut ini penulis
sebutkan beberapa pertanyaan yang harus diajukan untuk
membuat buku pedoman pelaksanaan kurikulum di PTAI.
Tentu saja, setiap PTAI berhak menentukan sendiri pertanyaan
apa yang harus mereka ajukan untuk membuat pedoman tersebut
jelas bagi para stakeholdersnya.
Pertanyaan-pertanyaan
untuk membuat pedoman pelaksanaan kurikulum PTAI
Untuk
menghasilkan suatu pedoman pelaksanaan kurikulum PTAI
yang jelas bagi setiap fihak yang berkepentingan, maka
ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh buku
pedoman tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
- Apa misi PTAI tersebut?
- Bagaimana visi PTAI tersebut sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi?
- Berdasarkan misi dan visi itu, apa tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum PTAI tersebut saat ini?
- Bagaimana tujuan kurikuler tersebut dijabarkan dalam bentuk profil lulusan PTAI yang operasional dan dapat diukur?
- Pendekatan apa yang akan ditempuh oleh PTAI dalam upaya mewujudkan lulusan seperti itu?
- Aspek apa sajakah dari pribadi mahasiswa yang ingin dikembangkan oleh PTAI? Bagaimana cara mengembangkan aspek-aspek tersebut?
- Program Studi atau Jurusan apa saja yang ditawarkan oleh PTAI?
- Apa tujuan kurikuler dari masing-masing prodi itu?
- Mata kuliah apa sajakah yang disediakan untuk menjamin terwujudnya lulusan sesuai dengan tujuan kurikuler institut dan prodi? Apa tujuan dan bagaimana deskripsi masing-masing mata kuliah itu? Bagaimana kaitan mata kuliah itu satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan kurikuler?
- Bagaimana prestasi mahasiswa akan dievaluasi? Berdasarkan patokan standar apa?
Penutup
Dari
paparan yang telah kami kemukakan di atas, tulisan memang
ini tidak berpretensi untuk menjawab semua problem PTAI,
khususnya mengenai kurikulum. Namun demikian, tulisan
ini telah berupaya memotret beberapa persoalan krusial
menyangkut pembenahan kurikulum bagi PTAI yang ada pada
saat ini. Apalagi pasca diberikannya wewenang yang lebih
luas dalam mendesain kurikulum muatan local. Keadaan
ini menutut adanya kreativitas dari para civitas akademika
di perguruan tinggi untuk berbuat lebih maksimal.
Karena
sebagaimana telah diketahui bersama bahwa keberadaan
kurikulum telah direvisi oleh Depag, sehingga memungkinkan
tiap UIN/IAIN/STAIN untuk menonjolkan "keistimewaannya"
melalui kurikulum lokal yang jumlahnya cukup besar (40%
dari 144 sks atau sebesar 57 sks, bahkan ke depan prosentase
itu akan lebih besar lagi). Namun, jika kurikulum tersebut
belum tertulis dengan jelas, maka dikhawatirkan justru
akan menimbulkan persoalan baru. Yakni belum dapat menjamin
adanya kesamaan persepsi bagi semua fihak dalam civitas
akademika (pimpinan, dosen, dan mahasiswa). Tidak terjaminnya
kesamaan persepsi ini dikhawatirkan akan mengganggu
pencapaian tujuan kurikuler yang telah ditetapkan, serta
pelaksanaan misi PTAI yang mulia. Untuk itu, tulisan
ini juga menyarankan agar setiap PTAI menyusun suatu
buku pedoman pelaksanaan kurikulum PTAI yang lebih jelas
dan rinci sehingga tidak memungkinkan perbedaan persepsi
di kalangan civitas akademikanya.
Wa
Allahu a'lam bi al-shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar