oleh M. Quraish Shihab
Pendahuluan
Poligami menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu
pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam
waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, ketika seorang
wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.
Poligami dalam
kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia,
tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka
pintu untuk terlaksananya poligami.
Makalah ini akan
membahas poligami secara terbatas, bukan poliandri, bukan saja karena
secara umum orang memahami kata poligami dalam arti terbatas itu, tetapi
juga karena poliandri tidak dikenal dalam masyarakat beradab, apalagi
masyarakat Indonesia.
Poligami dahulu
dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu
oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa
poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan.
Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia
pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant
sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk
antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini
berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki?
Ternyata tidak!
Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih
baik–kalau enggan berkata lebih buruk—daripada kondisi perempuan di
Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif.
Meski demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi,
masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi
bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau
ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu?
Seandainya mereka—dahulu atau kini—tidak bersedia, pasti jumlah lelaki
yang berpoligami akan sangat sedikit.
Agaknya, poligami
marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun
perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang
sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender,
sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal,
termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak
lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih
perempuan dalam berbagai bidang.
Poligami dan Agama-Agama
Secara umum, dapat
dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama.
Dalam Perjanjian Lama—misalnya—disebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki
tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4).
Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang
isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad
XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam
Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan
bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain
dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa as. tidak datang untuk
membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.
Sekian banyak
alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut
bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan
perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena
kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena
dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”.
Di sisi lain,
kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat
terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan
menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis
seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga
menimbulkan stress atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau
kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik?
Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan–sehingga bisa saja
diterima atau ditolak–sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau
agama dan budaya yang dianutnya.
Islam dan Poligami
Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya, “Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan
(yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain):
dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4]: 3).
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas. Pertama,
ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami
telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan
adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi
mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi
orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran
untuk bermonogami dengan firman-Nya, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adalah wajar bagi
satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku
untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi
kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan
kemungkinan.
Seandainya ayat itu
berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat
dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda—apalagi
Tuhan—menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak
tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya
ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan
contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain
yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati
pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan
itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya,
tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak
berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri,
sebagaimana akan disinggung nanti.
Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika
kamu mengetahui. Ini berarti, siapa yang yakin atau menduga, bahkan
menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang
yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan
poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras
dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak,
sayogianya tidak diizinkan berpoligami.
Kita tidak dapat
membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan
alasan bahwa Nabi Muhammad saw. kawin lebih dari satu, karena tidak
semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua
yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi
umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu,
memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah
konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat
sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan
Nabi Muhammad saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan
pemenuhan kebutuhan seksual karena isteri-isteri beliau itu pada
umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia
senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul saw. baru berpoligami
setelah isteri pertamanya wafat.
Perkawinan beliau
dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau
empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Khadijah) barulah
beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah ra.). Beliau ketika itu berusia
sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini
berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh
lebih pendek daripada hidup bermonogami, baik dihitung berdasar masa
kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika
demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang
diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon
isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?
Kendati penulis
tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami,
namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam
pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat
dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu,
karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali
orang-orang tertentu.
Sementara orang
melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya.
Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan
tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudârat yang bukan saja
menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi
juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan
ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya.
Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan
antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan
antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang
melarang poligami secara mutlak.
Tetapi, perlu
diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan
di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan
hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum
bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu,
apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi
masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang
poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat,
telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan,
dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk,
lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.
Di sini, kalau kita
membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, kita akan melihat
betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa
yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.
Tujuan dan Tali-Temali Perkawinan
Perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd al-nikâh. Kata ’aqd berarti “ikatan”, sedang nikâh berarti “penyatuan”.
Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat. Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Oleh karena itu, yang bersemai mawaddah
dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh
hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu
hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang
mungkin datang dari pasangannya).
Kedua, rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di
dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang
bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan
kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan.
Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan
betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami
dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri
harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi
potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau
isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai
tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi,
juga ada unsur lain—katakanlah kelahiran anak—yang menjadikan mawaddah
mengalami erosi. Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan.
Rahmat—walau tanpa
cinta—mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan
pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi
isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi
melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika
ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya,
rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan
tersebut. Ketika itu, si suami akan ”berkorban“ demi mawaddah dan
kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan
kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi,
sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya
berkorban dan ”menutup mata“.
Ketiga, amanah. Amanah
berasal dari akar kata yang sama dengan kata “aman”, yang bermakna
“tenteram”. Juga, sama dengan kata “iman” yang berarti “percaya”.
Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing
memilikinya. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain
disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa
apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman
keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu.
Isteri adalah
amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri.
Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui
perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga
isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa
aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari
mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah
(ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di
sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami
terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa
keadilannya.
Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwâl al-Syakhshiyyah,
menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang
menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada
keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan.
“Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu“.
Yang ingin penulis
kemukakan dengan kutipan di atas, banyak jalan yang dapat ditempuh guna
menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal
poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang
sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya.
Kawin Sirri
Dalam ajaran Islam,
pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi,
bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam
menganjurkan agar dilakukan pesta, walau sederhana, dan dirayakan dengan
bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah
(pesta pernikahan), dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia
tidak berpuasa, hendaklah dia makan. Tapi bila berpusa, cukup
menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan
terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga
dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau
penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.
Saksi pernikahan
minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah
hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan
pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri,
yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan
dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung
penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan.
Dengan diumumkannya
perkawinan, tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika
seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian
hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang
tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia,
diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan
menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku
hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam.
Demikian. Wa Allah ‘A’lam, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar