A. Pendahuluan
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam
ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak
pribadi maupun kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta
didiknya. Ketika umat Islam telah menjadi sebuah komunitas di sebuah
daerah, barulah umat Islam mendirikan masjid, surau, bale, kobong, dan
yang lainnya. dari tempat-tempat tersebut telah terjadi proses belajar
mengajar antara guru dan murid. Dalam teori pendidikan dikemukakan
paling tidak ada tiga hal yang ditransferkan dari si pendidik kepada si
terdidik, yaitu transfer ilmu, transfer nilai, dan transfer perbuatan
(transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill) di dalam
proses pentransferan inilah berlangsungnya pendidikan. Kajian-kajian
histories menunjukkan bahwa sampai abad ke-19, pendidikan Islam, dalam
bentuk masjid dan pesantren, masih menjadi lembaga pendidikan yang
dominant bagi masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi pada masa
penjajahan. Sekitar tahun 1865 masyarakat pribumi, khususnya di Jawa,
disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan kebjakan
pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan ini pada awalnya untuk
mempersiapkan kalangan pribumi menjadi pegawai gubernurmen
(kantor-kantor pemerintah Hindia Belanda). Pola pendidikan yang
dijalankan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan ini sama sekali
bukan merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap sistim pendidikan Islam
pada masa itu, tetapi malah lebih menyerupai sekolah-sekolah zending
yang berkembang di wilayah Minahasa dan Maluku. Pemerintah Hindia
Belanda mengambil jalan aman (netral) dengan tidak dimasukkannya sistim
pendidikan Islam dalam sistim pendidikan mereka. Ini dikarenakan
kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda kalau pendidikan Islam mampu
memberikan motivasi tinggi terhadap perlawanan dan perjuangan umat Islam
dalam membela tanah airnya yang direbut oleh pemerintahan
kafir. Setelah Indonesia merdeka pendidikan Islam mulai menemui titik
terang –walaupun tidak seterang lampu 100 watt- untuk bisa berkiprah
dalam sistim pendidikan di Indonesia. Makalah ini akan mengkaji tentang
pendidikan Islam yang belum bersinar terang dalam sistim pendidikan
nasional di era kemerdekaan hingga dikeluarkannya UU no. 4/1950 jo no.
12/1954. B. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam menurut Zarkowi
Soejoeti terbagi dalam tiga pengertian yaitu: Pertama, “Pendidikan
Islam” adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya
didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan
nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun
dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh
kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan
perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk
program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan
sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang
lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian
di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus
sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang
diselenggarakan. Dari pengertian di atas ada dua aspek yang ingin
dicapai dalam pendidikan Islam yaitu aspek kognitif (keilmuan) dan
aspek afektif (pelaksanaan).
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan
oleh Barlian Somad, bahwa ciri khas pendidikan Islam itu ada dua macam :- Tujuannya: Membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut ukuran Allah;
- Isi pendidikannya: Ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-hari dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah Saw.
Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha menjelaskan definisi
pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan antara konsep
“pendidikan” dan konsep “Islam”. Istilah pendidikan Islam tersebut dapat
dipahami sebagai:
- Pendidikan (Menurut) Islam,
- Pendidikan (Dalam) Islam,
- Pendidikan (Agama) Islam.
Dalam hubungan yang pertama pendidikan Islam bersifat normative,
sedang dalam yang kedua pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis.
Adapun dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat
proses-operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam.
Dalam kerangka akademik, pengertian yang pertama merupakan lahan
Filsafat Pendidikan Islam, dan pengertian yang ketiga merupakan kawasan
Ilmu Pendidikan islam Teoritis.
B. Pendidikan Islam dalam Sistim Pendidikan Nasional
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu dari tujuan
Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
tercapainya cita-cita tersebut maka pemerintah dan rakyat Indonesia
berusaha membangun dan mengembangkan pendidikan semaksimal mungkin.
Usaha-usaha yang dilakukan dalam mengembangkan pendidikan adalah;
pertama sekali membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran
tahun 1946 pada masa Menteri PP dan K, Mr. Soewndi, panitia tersebut
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Panitia bertugas untuk meninjau
kembali dasar, isi, susunan, dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran.
Sejak awal masa kemerdekaan tidak ada masalah yang prinsipil tentang
pendidikan Islam dalam pengertian eksistensial. Keberadaannya di
Indonesia merupakan suatu kenyataan yang sudah berlangsung lama. Untuk
kepentingan ini pun pada tahun 1946 dibentuk Departemen Agama antara
lain mengurusi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta, pengajaran
umum madrasah, dan penyelenggaraan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta
Pendidikan Islam Hakim Negeri (PIHN). Pembentukan Departemen Agama
dengan beberapa tugas itu pun sebetulnya sudah lebih dulu didirikan
lembaga serupa pada masa pemerintahan Jepang. Ruang lingkup pendidikan
agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak hanya terbatas pada
sekolah-sekolah agama saja -pesantren dan madrasah- tetapi juga
menyangkut sekolah-sekolah umum. Uapaya-upaya untuk melaksanakan
pendidikan agama di sekolah umum, telah dimulai sejak adanya rapat Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), di antara usul Badan
tersebut kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan,
adalah termasuk masalah pengajaran agama, madrasah, dan pesantren.
Mengenai ini usul Badan Pekerja adalah sebagai berikut pengajaran agama
hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat
perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang
dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah Kementrian mengadakan
perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada
hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya
hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa
tuntutan dan bantuan material dari Pemerintah. Usul badan pekerja itu
baru dapat dilaksanakan pada masa Menteri PP dan K dipegang oleh Mr
Suwandi M dalam kurun waktu 2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947. akhirnya
ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam
pendidikan nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), antara lain :
- Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah
- Para guru dibayar oleh Pemerintah
- Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
- Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentuPara guru diangkat oleh departemen Agama
- Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum
- Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama
- Diadakan latihan bagi guru agama
- Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki
- Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan
Berdasarkan rekomendasi itu pendidikan Islam berarti sangat terbatas
pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas IV. Waktunya pun
seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Dalam
rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian lembaga seperti
pesantren dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali kalimat
nomor 9 : kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki. Mengenai
batas materi pendidikan agama, diisyaratkan oleh pernyataan Ki Hajar
dewantara –pimpinan Taman Siswa dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Pertama- yang memandang pendidikan agama terutama hanya sebagai
pendidikan budi pekerti, secara umum dalam Islam. Usaha selanjutnya
mengadakan kongres pendidikan di Solo tahun 1947. Pada tahun 1948
dibentuk panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran. Panitia ini juga diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Tahun
1949 diadakan Kongres Pendidikan kedua di Yogyakarta. Dengan selesainya
kongres pendidikan di Yogyakarta, maka bertambah banyaklah bahan-bahan
masukan guna menyusun Undang-Undang Pokok Pendidikan. Akhirnya pada
tahun 1950 lahirlah Undang-Undang No. 4 tahun 1950 dengan nama:
Undang-Undang tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang
disingkat menjadi UUPP. Undang-Undang ini seluruhnya terdiri dari 17 bab
dan 30 pasal. Di dalam UUPP tersebut dicantumkan tujuan dan dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran. Setelah lahirnya UU tersebut tidak serta
merta terselesaikannya permasalahan pendidikan Islam yang sudah mengakar
pada tubuh umat Islam. Masalah pendidikan Islam muncul pada segi
lingkup sejauh mana pendidikan Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada
pendidikan Islam dalam pengertian agama secara murni, atau pendidikan
Islam dalam pengertian system yang mengajarkan berbagai aspek kehidupan
yang berdasarkan agama. Hal ini menjadi serius karena akan sangat
menentukan pola dan system pendidikan nasional secara menyeluruh.
Kalangan Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di
Indonesia sejauh mungkin, sementara kalangan non-Islam membatasinya
dalam lingkup pengajaran agama.
C. Berkenalan dengan UU No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954
“Tak Kenal Maka Tak Sayang”, ungkapan ini sepertinya
akrab di telinga kita, sebagai gambaran bahwa banyak yang belum kenal
dengan UU ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa
Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tidak lahir dengan begitu saja, tapi
malalui proses panjang seperti halnya pembentukan UU Sisdiknas tahun
2003 yang sulit untuk disahkan karena banyak kepentingan, baik secara
politik, social, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut
ikut serta di dalamnya. Proses pembentukan Undang-Undang tentang dasar
Pendidikan dan Pengajaran yang kemudian disebut UUPP ini memakan waktu
sekitar 4 tahun lebih;
- Pertama, tahun 1946 pada masa menteri PP dan K, Mr Soewandi Mangoensarkoro, membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.
- Kedua, tahun 1947 panitia mengadakan kongres pendidikan I di Solo.
- Ketiga, tahun 1948 dibentuk Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran, diketuai juga oleh Ki Hajar Dewantara.
- Keempat, tahun 1949 panitia mengadakan kongres pendidikan II di Yogyakarta.
Secara yurids, pendidikan di Indonesia telah bersemai dalam
Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah (lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), yang
pelaksanaannya ditegaskan dalam UU No. 12 tahun 1954, tentang Pernyataan
Berlakunya UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah unuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1954
Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550). Undang-Undang tersebut
ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2 April 1950 oleh Presiden
Republik Indonesia, Soekarno dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan S. Mangoensarkoro, kemudian diundangkan pada tanggal 5 April
1950 oleh Menteri Kehakiman pada saat itu A.G. Pringgodigdo. Selanjutnya
Presiden Republik Indonesia menyatakan berlakunya Undang-Undang No. 4
tahun 1950 dari Republik Indonesia terdahulu tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1954 di Jakarta pada tanggal 12
Maret 1954 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 1954 yang
ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
Muhamad Yamin serta Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo. Berdasarkan
dokumen resmi tersebut, kita dapat mempelajari seluruh pemikiran
sekaligus praktik pendidikan di Indonesia, terutama sampai berakhirnya
masa Demokrasi Terpimpin. Secara umum dapat diberikan pandangan bahwa
bunyi undang-undang tersebut sangat singkat. Total hanya 17 bab dan 30
pasal, termasuk satu bab dan dua pasal penutup, dibanding UU No. 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang mencapai 20 bab
dan 59 pasal. Bisa kita lacak dari UUPP No. 4 tahun 1950 itu hanyalah
mengatur hal-hal pokok saja, seperti mengenai tujuan pendidikan dan
pengajaran, dasar-dasar pendidikan dan pengajaran, bahasa pengantar,
jenis pendidikan dan pengajaran dan maksudnya, pendidikan jasmani,
kewajiban belajar, pengelolaan sekolah oleh Negara dan swasta,
syarat-syarat menjadi guru, murid, pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri, pendidikan campuran dan terpisah (laki-laki dan perempuan),
libur sekolah dan hari sekolah, serta pengawasan dan pemeliharaan
pendidikan dan pengajaran. Dari sisi tersebut di atas, UU No. 4 tahun
1950 Jo UU No. 12 tahun 1954 ini simple tapi padat, tapi pada sisi lain
UU ini belum maksimal dalam merefleksikan keinginan umat Islam –yang
mayoritas jumlah penduduknya- dalam memasukkan pendidikan Islam. Sampai
akhir decade 60-an pelaksanaan pendidikan secara nasional masih bertumpu
pada Undang-Undang No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 “tentang
dasar-dasarPendidikan dan Pengajaran di Sekolah”. seperti dapay dipahami
dari namanya, Undang-Undang tersebut pada pengaturan pendidikan di
sekolah. Dalam kenyataan tidak memberi perhatian yang cukup pada
pendidikan di sekolah. Dalam kenyataannya tidak memberi perhatian yang
cukup pada pendidikan di luar sekolah. Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan
sebagai berikut; “Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan
pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat”. Mengenai
Madrasah hanya diisyaratkan dalam pasal 10 ayat 2 sebagai berikut :
“Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri
Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Padahal pasal 3 dari
Undang-Undang tersebut menyebutkan : “Tujuan pendidikan dan pengajaran
ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah air.” Dari rumusan ini tidak tercermin adanya perhatian terhadap
usaha pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus menerus
melalui proses pendidikan. itulah sebabnya pada pasal 20 ayat 1 dan 2
disebutkan : “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama;
orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
tersebut.” “Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.” Dalam
penjelasannya bahkan dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama
bukan merupakan factor penentu dalam kenaikan kelas anak didik. Untuk
merealisasikan ayat 2 di atas, maka dikeluarkanlah Peraturan Bersama
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama: No. 1432/Kab. Tanggal 20 januari 1951 (Pendidikan) No. K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951 (Agama)
Peraturan ini terdiri dari 11 pasal, yang intinya adalah : Pendidikan
agama diberikan di sekolah rendah dan sekolah lanjutan. Di sekolah
rendah pendidikan agama dimulai di kelas 4 sebanyak 2 jam dalam 1
minggu. Sedangkan di lingkungan istimewa pendidikan agama dapat dimulai
pada kelas satu dan lama belajarnya tidak boleh lebih dari 4 jam
seminggu. Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas baik di
sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah van diberikan pendidikan
agama 2 jam tiap-tiap minggu. Pendidikan agama yang diberikan sesuai
dengan agama murid dan jumlah murid yang mengikuti pelajaran agama dalam
satu kelas sekurang-kurangnya sepuluh orang untuk agama tertentu.
Selama berlangsung pendidikan agama, murid yang beragama lain boleh
meninggalkan kelas. Guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama dan
begitu juga pembiayaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama setelah
mendapat persetujuan dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan. Peraturan bersama yang dikluarkan tanggal 20 Januari 1951
ini sekaligus berfungsi mencabut Penetapan Bersama Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama tanggal 2 desember 1946.
Sebagai bahan lanjutan dari peraturan bersama ini, maka pada tanggal 16
Juli 1951 dikeluarkan lagi peraturan bersama dengan nomor surat
masing-masing : No. 17678/Kab. Tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) No. K/I/1980 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) Isi dari Peraturan Bersama ini adalah: Memperbaiki Peraturan Bersama yang dikelaurkan tanggal 2 Januari 1951: No. 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) No. K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951 (Agama)
Pada prinsipnya kedua peraturan tersebut, yaitu peraturan yang
dikeluarkan tanggal 15 Januari 1951, dengan peraturan berikutnya tanggal
16 Juli 1951, adalah sama halnya terdapat perbaikan pada poin khusus
tanpa ada perubahan yang prinsipil. Peraturan Bersama tanggal 16 Juli
1951 diiringi dengan keluarnya Instruksi Pelaksana Bersama, tanggal 14
Oktober 1951 dengan nomor surat masing-masing: No. 36923/Kab. Tanggal 14 Oktober 1952 (Pendidikan) No. K/I/15773. Tanggal 14 Oktober 1952 (Agama)
Instruksi Bersama ini memuat sepuluh pasal meliputi hal yang berkenaan
dengan : Guru agama, persiapan pengajaran agama di SR dan SL, formulir,
lingkungan istimewa, pengawasan, tempat latihan beribadat, nilai
pengajaran agama, kerja sama dan pengajaran agama di sekolah partikulir.
Di luar Undang-Undang itu, kebijakan pemerintah khususnya yang
menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. sejumlah ketetapan
MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah, dan Surat
Keputusan Menteri dikeluarkan. Ketetapan itu memang tidak mengubah
status pendidikan agama sebagai mata pelajaran minor/pilihan, tetapi
memperluas jangkauannya sampai ke universitas. Perubahan seperti ini
belum banyak berarti, apalagi yang dalam pelaksanaannya dihadapkan pada
situasi politik NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis) yang memberikan peran
langsung pada komunis Indonesia dalam pemerintahan.
D. Penutup
Dari Uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut: Pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
kepada rakyat Indonesia untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan
yang mendalam untuk menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berlandaskan pada sila pertama dari pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang
Maha Esa. Untuk menuju kearah yang dicita-citakan itu yaitu membentuk
manusia yang susila sesuai dengan tujuan pendidikan bab 2 pasal 3 UU No.
4 tahun 1950 jo No. 12 tahun 1954, tentu harus melalui pendidikan agama
yang memadai. Pendidikan agama yang tercantum dalam dictum UU tersebut
belum menjadi bagian dalam pendidikan nasional, karena pendidikan agama
hanya sebagai pelengkap bagi orang tua yang menyetujui anaknya untuk
belajar pendidikan agama, belum menjadi mata pelajaran pokok di sekolah.
Pendidikan madrasah dan pesantren belum mendapat tempat yang semestinya
dalam undang-undang ini, hanya tersirat saja, dan rekomendasi dari
BPKNIP memberikan harapan untuk peningkatan kualitas madrasah dan
pesantren. UU itu telah berlalu, UU itu telah menjadi sejarah, sejarah
menjadi cermin, cermin untuk ditatap sebagai pijakan menuju masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
- Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKiS, 2007
- Fajar,Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999
- Haidar Daulay Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarat : Kencana, 2007
- Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003
- Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: tanpa penerbit, 1970
- Somad, Barlian, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1981
- Steenbrink, Karel A, Pesantren Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994
- Sumardi, Muljanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, Jakarta: LPIAK Balitbang Agama Depag, 1977
- Undang-Undang No. 4 tahun 1950 jo No. 12 tahun 1954
Tidak ada komentar:
Posting Komentar