BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak hanya mengajarkan
masalah-masalah eksternal dalam membimbing manusia untuk mengetahui jalan hidup
yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam
sisi-sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah diinterprestasikan
oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat
beragam.
Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah
pemikiran-pemikiran Tasawuf. Pembahasan Tasawuf adalah pembahasan yang banyak
berkutat dengan hal-hal yang metafisik. Sehingga dibutuhkan penguasaan
metodologi dan pengalaman langsung untuk memudahkan kita menjelaskan apa yang
sebenarnya dialami tokoh-tokohnya saat menuangkan gagasan dan tindakannya
sebagai manifestasi keyakinannya.
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan sedikit tentang pemikiran
dan ajaran Tasawuf “Al Hulul”. Semoga
dari apa yang penulis akan paparkan bisa menambah wawasan kita tentang
masalah-masalah spiritual keagamaan. Terutama dalam agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin penulis angkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Pengertian konsep Al Hulul
2.
Bagaimana proses Hulul terjadi
3.
Siapa tokoh pencetus dan pengembang paham Al Hulul
C. Tujuan
Yang menjadi motivasi dan tujuan penulis makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian tentang konsep Al Hulul
2.
Memberi pengertian tentang proses terjadinya Hulul
3.
Untuk mengetahui tokoh pencetus dan pengembang paham Al
Hulul
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL
HULUL
Secara
etimologi, “Hulul” berasal dari kata “Halla yahlul-hululan” yang berarti
menempati. Al hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara
bahasa berarti “Tuhan menngambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang
telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana’.[1]
Adapun menurut istilah, hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh manusia itu dilenyapkan. Menurut Abu Nasr al Tusi dalam al Luma’
sebagai dikutip Harun Nasution, Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham
bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar
pemikiran Al Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat
dasar, yaitu lahut berasal dari perkataan ilah yang berarti Tuhan atau sifat
ketuhanan. Sedangkan nasut berasal dari perkataan nas yang berarti manusia atau
sifat kemanusiaan. Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia
dalam bukunya yang bernama al Thawasin.[2]
Menurut
Al Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing
mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat
kesamaan. Dengan demikian, bila kesamaan itu telah semakin mendekat, kaburlah
garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul)
antara Al Haqq dengan manusia.[3]
Pemikiran
Al Hallaj tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian mengkristal
dalam terma Al Hulul merupakan salah satu bentuk Ittihad. Ittihad
yang dimaksud di sini adalah suatu tingkatan dalam tasawuf, ketika seorang sufi
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan saat yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu.[4]
Pemikiran
Al Hulul dari Al Hallaj bermula dari pendapatnya yang mengatakan bahwa dalam
diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Untuk dasar pemikiran itu,
ia menta’wilkan ayat Al Qur’an yang menyerukan agar malaikat bersujud untuk
Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka Al Hallaj
memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.
Ia
berpendapat demikian karena sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat
diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan
dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata
ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya.
Allah melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang
tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya
yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah
menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta
pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian
pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari
Tuhan sendiri.
Dengan
cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini
dipahami dari Firman Allah yang berbunyi :
ﻰﺒﺍ ﺲﻴﻟﺒﺍ ﻻﺍ ﺍﻭ ﺩﺠﺴﻓ ﻡ ﺩﻷ ﺍﻮ ﺪﺠﺴﺍ ﺔﻜﺋﻟﻣﻟﻟ
ﺎﻧﻟﻘ ﺫﺍﻭ
﴾ﺓﺮﻗﺒﻠﺍ﴿ ﻦﻴﺮﻓﻜﻠﺍ ﻦﻤ ﻦﺎﻜﻭ ﺮﺒﻜﺘﺴﺍﻭ
Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat : “Sujudlah kepada
Adam”, semuanya sujud kecuali Iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi
yang tidak percaya. (QS. Al Baqarah : 34)
Paham
bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat dipahami dari hadits yang
berbunyi :
ﻪﺗﺮﻮﺼ ﻰﻠﻋ ﻡ ﺩﺍ ﻖﻠﺨ ﷲﺍ ﻦﺍ
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al Hallaj
berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan
dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan
yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam
diri Tuhan maka terjadilah Hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia
harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya (al nasut).
Untuk melenyapkan sifat al nasut, seorang hamba harus
memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil
usahanya dalam melenyapkan sifat tersebut, maka yang tinggal dalam dirinya
hanya sifat al lahut. Pada saat itulah sifat al nasut Tuhan turun dan masuk ke
dalam tubuh seorang sufi, sehingga terjadilah hulul.[5]
dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat. Pernyataan al Hallaj bahwa dirinya
tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya,
sebagaimana ungkapan syairnya, maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya
membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi
makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minim.[6]
Berdasarkan uraian di atas, maka al Hulul dapat
dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini, Hulul pada hakikatnya istilah lain dari al Ittihad.
Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.
Hamka mengatakan, bahwa al Hulul adalah ketuhanan
(lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat
kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup
kebatinan.[7]
B. TOKOH YANG
MENGEMBANGKAN PAHAM AL HULUL
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh
yang mengembangkan paham al Hulul adalah al Hallaj. Nama Lengkapnya adalah
Husein bin Mansur al Hallaj. Ia lahir tahun 244H (856M) di negeri Baidha,
persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16
tahun ia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal,
bernama Sahl bin Abdullah al Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat
ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al Makki, dan pada tahun
264H ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al Junaid yang juga seorang sufi.
Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali.
Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan
tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar
masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Ibn Daud al Isfahani dikenal
sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan
zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud
itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al Hallaj, sehingga al Hallaj
ditangkap dan dipenjarakan. Setelah satu tahun, dia dapat meloloskan diri
berkat bantuan seorang sifir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu
wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi selama 4 tahun, dan tetap
pada pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara
selama 8 tahun. Akhirnya pada tahun 309H (921M) diadakan persidangan ulama di
bawah pengawasan Kerajaan Bani Abbas, Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya
pada tanggal 18 Zulkaidah 309H (921M) al Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia
dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib,
sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan
ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad,
dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda
pendirian
Al Hallaj sebagai pembawa paham al Hulul, dapat
dipahami dari beberapa pernyataan di bawah ini :
ﻞﻻﺯﻠ ﺀﺎﻤﻠﺎﺒ ﺓﺮﻤﺨﻟﺍ ﺝﺯﻤﺗ ﺎﻣﻛ ﻰﺣﻭﺮ ﻰﻓ
ﻚﺤﻮﺮ ﺖﺠﺰﻣ
ﻞﺎﺣ ﻝﻜ ﻰﻓ ﺎﻧﺍ ﺖﻨﺍ ﺍﺫﺎﻓ
ﻰﻨﺴﻣ ﺀﻲﺷﻙﺴﻤ ﺍ ﺫﺎﻔ
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air
suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan
ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
ﺍﺫﺎﻓ ﺎﻨﺩﺒ ﺎﻧﻠﻟﺣ ﻦﺎﺣﻭﺮ ﻦﺣﻨ ﺎﻨﺍ ﻯﻭﻫﺍ ﻦﻤﻭ
ﻯﻮﻫﺍ ﻦﻣ ﺎﻨﺍ
ﺎﻧﺗﺮﺻﺒﺍ ﻪﺗﺮﺻﺒﺍ ﺍﺫﺍﻭ
ﻪﺘﺮﺻﺒﺍ ﻰﻨﺗﺮﺼﺒﺍ
Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami
adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau
lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
Dalam paham al Hulul yang dikemukakan al Hallaj
tersebut ada dua hal yang dapat dicatat, yaitu :
1. Paham al Hulul merupakan pengembangan atau bentuk
lain dari paham mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al Adawiyah.
2.
Paham al Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan
Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al Hallaj
melalui al Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al
Ittihad.
Perbedaan
antara Ittihad al Bustami dengan Hulul al Hallaj, dalam ittihad yang dilihat
satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan al Hallaj berikut :
ﺎﻧﻨﻴﺒ ﻕﺮﻔﻔ ﻖﺣ ﺎﻨﺍ ﻞﺒ ﺎﻨﺍ ﻖﺣﻠﺍﺎﻣ ﻕﺤﻠﺍﺮﺴ ﺎﻨﺍ
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu
aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dengan ungkapan al Hallaj yang demikian itu, kita
dapat menilai bahwa pada saat al Hallaj mengatakan ana al haqq
sebenarnya bukanlah roh al Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan
yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al Hallaj.
Al Hallaj menggambarkan uluhiyah (ketuhanan) dengan
tajrid dan tanzih dan tidak terlintas dalam dirinya bahwa mengetahui Allah yang
ditanzihkan merupakan sesuatu yang ada di luar kemampuan manusia. Oleh sebab
itu, dia berpendapat bahwa seseorang yang berketuhanan akan mendapatkan hakikat
gambar Tuhan yang diberikan Allah setelah melalui usaha keras (riyadhah dan
mujahadah) dan hidup zuhud. Hal ini karena Allah menciptakan manusia sesuai
gambar-Nya atau bentuk-Nya.
Al Hallaj berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang
Allah terhadap hamba-Nya berada di atas segala sesuatu, dan dasar cinta adalah
pengorbanan (at-tadhiyah), serta tanpa diminta Dia rindu bertemu dengan yang
dicintai-Nya. Oleh karena itu, para wali Allah harus menghadapkan dirinya
kepada Allah semata dalam bentuk penghambaan yang utuh dan mematuhi
perintah-Nya meskipun memberatkan mereka. Inilah tampaknya pemahaman agama yang
dianjurkan Al Hallaj.
Dari analisis sederhana ini, dapat dilihat bahwa
paham sufistik Al Hallaj dipengaruhi oleh berbagai unsur agama, paham, dan isme
yang ada sebelumnya, dan tampaknya ia mengadopsi dari unsur-unsur itu, hal-hal
yang sulit dipahami.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa
pandangan-pandangan sufistik Abu Mansur Al Hallaj memanng sangat berbeda dengan
paham-paham sufistik para tokoh lainnya, bahkan terkesan ganjil. Akan tetapi,
keganjilan ini dapat dimaklumi, bahkan dianggap suatu kewajaran bila ditelusuri
kondisi dan lingkungan yang mempengaruhi visi khasnya. Karena visi sufistiknya
memang terbentuk dari unsure paham, ajaran, dan agama yang beragam, beragam
pula penilaian atau kecaman yang diserahkan kepadanya. Yang jelas, dunia
tasawuf terasa semakin semarak dan signifikan dengan kehadiran
pandangan-pandangan yang aneh tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manshur al Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah
formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini
dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dengan Tuhan
memiliki dua sifat yang sama, yaitu al Lahut dan al Nasut. Apabila kedua sifat
ini melebur jadi satu, maka berarti antara manusia dengan Allah sebagai
Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al Lahut dan al Nasut ini
dalam teori tasawufnya Mansur al Hallaj disebut Al Hulul.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, et. Al, Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Hadi, M. Abd., Tragedi
al-Hallaj, (Bandung: Pustaka, 1976)
Simuh, Tasawuf dan
perkembangannya Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1997)
Al-Kumayi, Sulaiman, Kearifan
Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004)
Syukur, M. Amin, Menggugat
Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Musthafa al Syaibi, Kamil, Syarah
al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an Nahdhoh, 1974)
Mahmud, Abdul Kadir, al-Fikr
al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa al-Hadits (Mesir: Hajah
al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986)
Nasution, Harun, Falsafah dan
Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Joebar, Ajoeb, The Secret of Ana
Al-Haqq, (Jakarta: Rajawali, 1986)
[1] A.Qadir
Mahmud, hal .337.
[2] Harun
Nasution , Filsafat dan Mitos dalam islam (Jakarta : Buana bintang , 1983 )
hlm.88
[3] Opcit,
69
[4]Ibid , 82
[5]
Azyumardi Azra, et.al, op.cit , hlm. 75
[6] Kamil
Mustofa
[7] Hamka, Tassawuf
perkembangan dan Pemurnianya ( Jakarta : Pustaka Panjimas,1984 ) hlm 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar