• Pengertian Nikah. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikan Nikah sebagai “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.”
• Rukun Perkawinan
1. Suami
2. Isteri
3. Wali
4. Shigat (Ijab Kabul)
5. Dua orang saksi
Mahar tidak termasuk rukun tapi wajib
• Syarat Perkawinan
o Halal menikahi antara para calon
o Adanya shigat ijab dan kabul
o Saksi
o Adanya kerelaan dan kemauan sendiri
o Jelas pasangan yang akan melakukan perkawinan
o Tidak sedang haji atau umrah, baik salah satu atau keduanya
o Mahar
o Tidak disembunyikan perkawinannya
o Tidak ada penyakit yang membahayakan antara keduanya
o Adanya wali
• Kutipan UU No.01 tahun 1974 tentang Perkawinan
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
• Nikah Siri adalah pernikahan yang tidak dicatat dan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
• Nikah Siri menurut KHI; Sah atau Tidak?
KHI adalah kompilasi dari berbagai kitab fikih yang telah dibahas secara mendalam oleh para ulama Indonesia yang disesuaikan dengan kultur keindonesiaan. Atas penjelasan ini, maka tak dapat diterima lagi pernyataan sah menurut fikih dan tidak sah menurut KHI. Jelasnya, hukum Islam yang telah dibukukan dalam KHI adalah reverensi semua fikih Indonesia. Di sinilah letak kaidah hukmu al-sulthan raful khilaaf (aturan formal negara meniadakan perbedaan pendapat) berlaku.
Kemudian masalah sah. Istilah sah masih cenderung dipahami sebagai bahasa normatif yang melulu terkait dengan legitimasi Tuhan dengan sanksi dosa. Padahal, sah adalah bahasa teknis hukum. Ketika hukum telah diundangkan, maka sah sama persis artinya dengan legal. Sebagai lawannya adalah tidak sah atau ilegal (melanggar aturan) yang bentuk sanksinya otomatis berupa hukuman nyata di dunia sini.
Sah adalah suatu kondisi dimana suatu transaksi (aqd)/perilaku tertentu memenuhi syarat dan rukun.
Kebanyakan ulama kita berpendapat hukum nikah siri adalah sah menurut agama, tapi tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa pernikahan harus dicatat dan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) (KHI/Bab II/Pasal 5), namun tidak secara tegas melarang praktik nikah siri. Sebagai gantinya, KHI memberikan pernyataan yang lebih lunak dan longgar dengan kalimat: pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak memunyai kekuatan hukum (KHI/Bab II/Pasal 6). Bahasa tegasnya, silahkan menikah di luar pengawasan PPN, tapi resiko ditanggung sendiri.
• Manfaat dan Madharat Niukah Siri
Manfaat:
a. Menghindari zina
b. Apabila suami istri bekerja pada instansi yang melarang orang beristri/bersuami maka nikah siri adalah solusi alternatif
Madharat:
a. Status anak tidak diakui oleh negara
b. Jika dicerai suami, istri tidak bisa menuntut ke pengadilan
c. Menimbulkan banyak terjadinya poligami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar