I. PENDAHULUAN
Bangsa
Turki mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan
Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam politik ketika masuk
dalam barisan tentara profesional maupun dalam birokrasi pemerintahan.
Begitu juga masyarakat Turki menekankan pembaharuan-pembaharuan kelompok
sekuleris Republik Turki, sehingga masyarakat Turki mempunyai ciri khas
ke-Islamannya. Maka di tahun belakangan ini Turki telah memperlihatkan
suatu kontras yang menyolok dengan negeri-negeri Islam di Timur Tengah,
baik di bidang politik luar negeri, tapi kebanyakan negeri Islam lain
telah memperlakukan dunia barat dengan sikap yang berkisar dari sikap
netral sambil merenggut namun penuh harap sampai kepada sikap yang
terang-terangan permusuhan sehingga timbullah permasalahan-permasalahan
yang dihadapi.
Apakah yang menjadi politik bangsa Turki berkembang dan apakah ada perubahan-perubahan oleh bangsa Turki?
II. PEMBAHASAN
A. Asal Mula Turki Usmani
Kerajaan
Turki Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari
wilayah Asia Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol
menyerang dunia Islam, pemimpin suku Kayi Sulaiman Syah, mengajak
anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan
lari ke arah Barat. Mereka akhirnya terbagi menjadi dua kelompok yang
pertama ingin pulang ke negeri asalnya, yang kedua meneruskan
perantauannya ke wilayah Asia Kecil.
Kelompok
kedua itu berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthegrol
(Arthoghol) anak Sulaiman. Akhirnya mereka menghambakan dirinya kepada
Sultan Ala Ad-Din II dari Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya berpusat
di Konya,
Anatholi, Asia Kecil. Ertheghol mempunyai seorang anak yang bernama
Usman, kira-kira lahir tahun 1258. Nama Usmanlah ditunjuk sebagai nama
kerajaan Turki Usmani.[1]
Namun
dikawasan Timur, kekuatan Turki memperoleh tantangan dari dinasti
Shafawiyyah, yakni dinasti lain yang muncul dari asal-usul yang tidak
jelas, yang juga cikal bakal terbentuknya kabilah Turki. Terjadi
perjuangan panjang guna mengendalikan wilayah-wilayah perbatasan yang
terletak diantara pusat kekuasaan, yakni Anatolia
timur dan Irak. Bagdad ditaklukkan oleh dinasti Utsmaniyyah pada tahun
1534 M, direbut oleh Shafawiyyah pada tahun 1623 M, dan tidak dikuasai
lagi oleh dinasti Utsmaniyyah hingga tahun 1638 M. Sebagian disebabkan
perjuangan melawan dinasti Shafawiyyah. Dinasti Utsmaniyyah berpindah ke
selatan memasuki tanah-tanah kesultanan mamluk.
B. Bentuk Pemerintahan Turki Usmani
Gelar
bagi penguasa Usmani adalah Padi Syah atau Sultan, gelar tersebut
menandangi kaitannya dengan tradisi kerajaan Persia, tapi ia juga ahli
waris tradisi Islam, mereka mengklaim bahwa dirinya adalah pelaksana
otoritas yang absah dalam term-term Islam. Dinasti Usmaniyyah terkadang
menggunakan gelar khalifah, akan tetapi gelar tersebut tidak membawa
klaim apapun bagi otoritas universal atau eksklusif seperti pada
pendahulu mereka, adakalanya gelar seorang sultan itu lebih dari sekedar
lokal dan dengan menggunakan kekuasaannya untuk tujuan yang diridhoi
agama.
Dinasti
Usmaniyyah mempertahankan perbatasan Islam dan mengadakan ekspansi,
mereka berseteru dengan dinasti Shafawiyyah untuk memperebutkan
Anatholia dan Irak. Dinasti Shafawiyyah memproklamirkan Syiah sebagai
agama resmi dinasti, sedangkan dinasti Usmaniyyah menganut ajaran Sunni
seiring dengan perluasan imperium yang meliputi pula pusat-pusat budaya
tinggi Islam perkotaan.[2]
Sultan
bukan hanya sebagai pembela perbatasan-perbatasan Islam, melainkan juga
sebagai pengawal kota-kota suci, Makkah, Madinah, Yerusalem, Zebron.
Seorang sultan itu memiliki gelar sebagai pelayan kota suci, ia juga
memegang pemerintahan pada zaman Turki Usmani, yaitu Pat Syiah yang
mengklaim dirinya sebagai pemimpin otoritas yang sah dalam term-term
yang absah dalam Islam. Sistem pemerintahannya dipegang oleh pemerintah
yang bertolak belakang dengan pendahulunya.
C. Birokrasi Usmaniyah Tradisional
Birokrat-birokrat
dinasti Usmaniyyah yang dilatih dalam sistem istana dan bukan di
madrasah atau di sekolah agama memiliki suatu pandangan lain terhadap
hubungan timbal balik antara politik dan agama. Pandangan mereka
dilukiskan sebagai mengutamakan rasion d’etat. Birokrat Usmaniyyah
melihat pemeliharaan kesatuan negara dan kemajuan Islam sebagai
tugasnya. Ini diungkapkan dalam rumusan Din U devlet (din wa daulat)
atau agama dan negara. Tetapi aspek paling efektif dari kontrol
pemerintahan Usmaniyyah terhadap lembaga Ulama, yaitu hirarki
orang-orang berilmu atau memiliki pengetahuan keagamaan.[3]
Setelah
ada birokrasi Usmaniyyah terjadi perubahan baik di dalam negeri
kebanyakan diantara mereka telah menjalani suatu reaksi keagamaan dan
politis yang garis besarnya sejajar sama-sama menuju masa depan yang
belum pasti, tetapi ini berlaku di Mesir dan Nahas Via Faruq ke Najib,
di Suriah, di Iran. Bahwa kita melihat kemerosotan dan keruntuhan
pemerintahan parlementer dan pertumbuhan diktator. Tetapi toh hal
tersebut terjadi dimana-mana. Turki telah menjadi dewan Eropa dan
sesudah itu anggota Pakta Atlantik yang menjadikan semangat Turki lebih
besar dari negara-negara lain.
Adapun
kebijakan luar negeri Turki telah berjalan sejajar dengan negara-negara
lain, karena perkembangan di dalam negeri yang serupa. Suatu gerak
Westernisasi yang sukses dan kontinyu, suatu pertumbuhan dan perbaikan
pemerintahan berparlemen.[4]
Pada
puncak sistem kendali imperium yang luas ini bertahta seorang penguasa
keluarga kerajaan “keluarga Usman”. Otoritas kekuasaan terletak pada
keluarga dan bukan pada anggota yang ditunjuk, tidak ada hukum baku yang
mengatur pergantian kekuasaan, yang ada hanyalah tradisi suksesi damai
dan pemerintahan yang panjang hingga awal abad ke-17 M. Penguasa selalu
digantikan oleh salah seorang putranya, akan tetapi setelah itu yang
lazim berlaku adalah manakah keluarga tertua, sang penguasa hidup di
tengah-tengah keluarga besar di dalamnya termasuk para Harem berikut
pengawalnya, pelayan pribadi, tukang kebun, dan penjaga istana.
Kedudukan dibawah penguasa ditempati oleh Sadr-i azam (pejabat tinggi) atau dalam bahas Inggris lazim Grand Vizier (Menteri
Besar). Setelah periode pertama dinasti Usmaniyyah, Sadr-i azam tadi
dianggap memiliki kekuasaan mutlak yang berada langsung dibawah sang
penguasa, ia dibantu oleh sejumlah wazir lain yang mengendalikan militer
dan pemerintah provinsi serta pelayanan sipil. Sebagian besar militer
Usman merupakan kekuatan kafaleri yang direkrut dari orang-orang Turki
dan penduduk lain dari Anatholia dan pedesaan Balkan, kafaleri dibantu
oleh sejumlah prajurit dan diberi hak pengumpulan dan penyimpan pajak
atas lahan pertanian sebagai imbalan atas pelayanan yang mereka berikan.
Sistem ini dikenal dengan sistem Timar.
Pada abad ke-16 M, mulai berkembang birokrasi yang rumit (kalemiye), yakni birokrasi yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu :
1. Sekretaris yang mempersiapkan secara seksama dokumen-dokumen pemerintah, peraturan dan tanggapan terhadap petisi.
2. Para
petugas yang menjaga keuangan, penilaian terhadap aset yang terkena
pajak serta catatan mengenai berapa besar jumlah pajak yang terkumpul.[5]
Pada
paruh pertama abad ke-17 M, terdapat periode ketika kekuasaan
pemerintah melemah, ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, salah
satunya adalah inflasi, dan hal ini diikuti oleh kebangkitan kembali
kekuatan pemerintahan tetapi dalam format yang berbeda, yakni menteri
besar menjadi lebih kuat, jalur promosi menjadi lebih banyak lewat
keluarga istana menteri besar dan para pejabat tinggi lainnya daripada
lewat keluarga istana penguasa. Imperium cenderung berubah menjadi
Oligarkhi. Para
pejabat yang kuat dan mereka ini terikat oleh sentimen Asykhabiyah,
karena tumbuh dalam rumah tangga yang sama, pendidikan yang sama dan
tidak jarang oleh kekerabatan dan perkawinan. Jadi, setelah pada paruh
pertama abad ke-17 M, organisasi dan pola aktivitas pemerintahan sudah
mencerminkan ideal kerajaan Persia (menurut Nizham al-Muluk -penulis
tema sejenis-), maksudnya para penguasa harus menjaga jarak dengan
lapisan masyarakat yang berbeda agar dapat mengatur aktifitas masyarakat
dan memelihara harmonis segenap lapisan.[6]
D. Revolusi Turki
Turki
Muda yang juga merupakan lawan-lawan sejati Sultan, menyadari bahwa
mereka tidak dapat menyingkirkan Islam selama warga muslim dinasti etnis
yang terdiri dari Multi Etnis tetap bertahan. Karena upayanya dinasti
itulah yang menyebabkan Ataturk mampu melaksanakan
pembaharuan-pembaharuannya sendiri. Tetapi menurut dia mengutamakan
devlet atau negara yaitu negara modern.
Adapun
tindakan-tindakan Ataturk sering disebut-sebut adalah penghapusan
kekhalifahan, pemakaian undang-undang sipil Swiss, penggunaan abjad
latin, pembatalan Islam sebagai agama negara dan pemalsuan prinsip
sekulerisme dalam konstitusi Turki. Tetapi kecuali personalia Masjid dan
direktorat jenderal urusan keagamaan yang masih dipersiapkan.
Dengan lenyapnya ilmu dan membangkitkan tarekat dihapuskan, Partai Rakyat Republik (The Republican People’s Party / RPP)
menghancurkan dua kekuatan keagamaan Turki. Kemudian suatu sistem Multi
partai mendapat lampu hijau sejak tahun 1946, dan RPP sadar bahwa dalam
pemilihan umum mendatang ia harus bersaing dengan Partai Demokrat (The Democrat Party / DP).[7]
Di
dalam pemilu yang bebas dan jujur di bulan Mei 1950. Sesudah kemenangan
Partai Demokrat terdapat suatu periode penuh bahaya, yaitu ketika
pertengkaran dan intoleransi yang bertambah-tambah besar kedua partai
tersebut mengancam berfungsinya organisasi-organisasi yang menghasut,
yang menyebarkan ide-ide rasional dan klerikal merupakan ancaman pula
bagi eksistensi Republik Turki sendiri.[8]
Tetapi
setelah kampanye pemilihan umum tahun 1957, Partai Demokrat dan sekte
Nur mempererat suatu persekutuan yang sejak waktu itu menjadi sangat
sementara sifatnya.
Kemudian
Partai Demokrat diganti menjadi Partai Keadilan mengembalikan sikap
santai terhadap Islamnya yang telah muncul pada akhir Perang Dunia II.
Sehingga persatuan antara partai Demokrat dan kepentingan-kepentingan
keagamaan telah menjadi suatu persekutuan kelompok Sunni. Kecenderungan
ini bersamaan dengan toleransi yang diperbaharui pada tahun 1960-an,
terbentuknya partai politik Awaliyah 1966 yaitu Partai Persatuan. Dan
partai ini tidak berhasil dalam pemungutan suara. Tetapi daya upaya
untuk pembentukannya dialihkan untuk mendukung kelompok-kelompok
minoritas lain, diantaranya kelompok sayap kiri Turki. Sebaliknya
golongan Marxis Turki berusaha tanpa kenal malu untuk memanfaatkan
beberapa tema Awaliyah sebagai tema pemberontakan dan revolusi.[9]
Menurut
De Toc Queville pada revolusi Perancis ketika gelombang pasang revolusi
telah surut kembali dan banjir mereda, maka tonggak-tonggak serupa dan
tradisional muncul kembali dan arus sejarah kembali menelusuri arus
semula.[10]
E. Kehancuran Imperium Usmani dan Modernisasi Turki
Kehancuran
imperium Usmani merupakan transisi yang lebih komplek dari masyarakat
Islam imperial abad 18. Menjadi negara-negara nasional modern, rezim
Usmani menguasai wilayah yang sangat luas, meliputi Balkan, Turki, Timur
Tengah, Mesir dan Afrika Utara, dan pada abad ke-19, secara substansial
Usmani memperbaiki kekuasaan pemerintah pusat, mengkonsolidasikan
kekuasaannya atas beberapa propinsi dan melancarkan reformasi ekonomi,
sosial, dan kultural yang dengan kebijakan tersebut mereka berharap
dapat menjadikan rezim Usmani mampu bertahan di dunia modern.
Meskipun
Usmani telah berjuang mempertahankan reformasi negara dan masyarakat,
namun perlahan-lahan imperium Usmani kehilangan wilayah kekuasaannya.
Beberapa kekuatan Eropa yang terlebih dahulu mengkonsolidasikan militer,
ekonomi dan kemajuan teknologi mereka sehingga pada abad ke-19 bangsa
Eropa jauh lebih kuat dibandingkan rezim Usmani.
Untuk
dapat bertahan, rezim Usmani bergantung pada keseimbangan
kekuatan-kekuatan Eropa. Hingga tahun 1878 kekuatan Inggris dan Rusia
berimbang dan hal ini menyelamatkan rezim Usmani dari mereka, namun pada
tahun 1878 sampai 1914, sebagian besar wilayah Balkan menjadi merdeka
dan Rusia, Inggris, dan Austria Hungaria semua merebut sejumlah wilayah
Usmani hingga ia menjadi imperium yang tidak beranggota, memuncak pada
akhir Perang Dunia I lantaran terbentuknya sejumlah negara baru di Turki
dan di Timur Tengah Arab.[11]
III. KESIMPULAN
Bahwa
kalau kita melihat rakyat Turki pada masa dahulu itu, perkembangan
politiknya cukup bagus, karena sebelum Ataturk berkuasa Turki masih
menggunakan hukum-hukum Islam dan sistem pemerintahannya menggunakan
syari’at Islam. Setelah Ataturk berkuasa, maka sistem yang berbau agama
dihilangkan menjadi republik Turki dan dunia perpolitikan semakin
berkembang yang dahulunya pada tahun 1950-an pemilu diikuti dua partai,
yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat dan dimenangkan oleh Partai
Demokrat.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Logos, Jakarta, 1997.
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Mizan, Bandung, 2004.
Harun Nasution, Perkembangan Modern dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Gustave E. Von G., Islam Kesatuan dalam Beragama, Yayasan Obor Indonesia dan LSI, Jakarta.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
[1] Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Logos, Jakarta, 1997, hal. 51-52.
[2] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Mizan, Bandung, 2004, hal. 422-426.
[3] Harun Nasution, Perkembangan Modern dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 201-222
[4] Gustave E. Von G., Islam Kesatuan dalam Beragama, Yayasan Obor Indonesia dan LSI, Jakarta, hal. 357-358.
[5] Albert Hourani, op.cit., hal. 414-415.
[6] Ibid., hal. 419.
[7] Harun Nasution, op.cit., hal. 224-227
[8] Gustave E. Von G., op.cit., hal. 358
[9] Harun Nasution, op.cit., hal. 288-299
[10] Gustave E. Von G., op.cit., hal. 360.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar