Metode
adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh
data yang diperlukan. Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi adalah suatu
proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan, untuk mendekati
problem dan mencari jawaban. Dan sebenarnya metodologi dipengaruhi atau
berdasarkan perspektif teoretis yang kita gunakan untuk melakukan
penelitian, sementara perspektif teoretis itu sendiri adalah suatu
kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti
memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan
situasi lain [1].
Seperti
teori, metodologi juga diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak
bisa dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil
penelitian secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang
ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya
berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya.
Adapun
pengertian dari metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam
penelitian (Mulyana, 2001:146). Sebagian orang menganggap bahwa metode
penelitian terdiri dari berbagai teknik penelitian, dan sebagian lagi
menyamakan metode penelitian dengan teknik penelitian. Tetapi yang
jelas, metode atau teknik penelitian apa pun yang kita gunakan, baik
kuantitatif ataupun kualitatif, haruslah sesuai dengan kerangka teoretis
yang kita asumsikan.
Sebelum penulis menggambarkan dan menjelaskan lebih jauh tentang pendekatan Hermeneutika dan juga pemetaan ideologi peneliti yang diambil oleh penulis yakni teori hermeneutika dari Paul Ricoeur, maka ada baiknya terlebih dahulu diulas karakteristik dari metodologi kualitatif dalam presfektif hermeneutika. Banyak alasan ketika penulis harus menggunakan metodologi penelitian kualitatif untuk penelitian bahasa sebagai
sebuah pendekatan. Salah satu aspek terpenting dari pendekatan ini
adalah lebih mementingkan proses, yaitu sebuah keniscayaan dari
komunikasi sebagai suatu proses yang diterima dari luar.
Lalu metode kualitatif juga mempermudah untuk berhadapan dengan kenyataan ganda, dan metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden dan selanjutnya kualitatif lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Oleh sebab itu, diharapkan
dapat menganalisis lebih mendalam dan
menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, proses yang sedang
berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau fenomena yang sedang
berkembang. Penelitian dilakukan dengan menganalisis dan
menginterpretasikan data yang
tersedia. Pada dasarnya penelitian ini meletakkan penekanan pada
subyektifitas untuk melakukan interpretasi terhadap suatu persoalan yang
dikajinya.
Seperti yang ditegaskan Deddy Mulyana dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif, penelitian ini mencari respon subyektif individual. Hasil
penelitian dari metodologi penelitian kualitatif selalu terbuka untuk
persoalan baru. Ini sesuai dengan pandangan subyektif mengenai realitas
sosial bahwa: fenomena sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan
bersifat polisemik (multimakna), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan status realitas tersebut.
Lalu Denzim dan Lincoln (1987) mendefinisikan penelitian kualitatif yakni penelitian
yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Dan bersifat
multimetoda, dalam fokusnya menggunakan pendekatan naturalistik
interpretatif kepada subyek yang diteliti (Rakhmat, 2004:4). Menurut
Miles dan Huberman, penelitian kualitatif berusaha menelaah secara
intensif kehidupan sehari-hari, selain itu juga bersifat holistik,
berujung pada Verstehen (pemahaman), menghasilkan tema dan pernyataan dalam bentuknya yang asli, dan menjelaskan cara pandang orang dalam setting
tertentu, mengungkapkan berbagai penafsiran, dengan instrumentasi yang
tidak baku, juga menganalisis dalam bentuk kata (Rakhmat, 2004:2).
Penulis
juga menyadari bahwa apapun metodologinya tetap memiliki keterbatasan,
seperti yang dinyatakan Dedy Mulyana bahwa Suatu persepektif bersifat
terbatas, dan mengandung bias, karena hanya memungkinkan manusia melihat
satu sisi saja dari realitas “di luar sana”[2]. Dengan kata lain, tidak ada perspektif yang memungkinkan manusia dapat melihat semua aspek realitas secara simultan.
Dengan
demikian penelitian kualitatif dengan menggunakan konsep cara kerja
ideologi pun dapat mengalami pembiasan. Karena bagaimanapun suatu
persepektif tak bisa lepas dari suatu tendensi, maksud, tujuan dan
sebagainya. Dalam penelitian ini, yang menjadikan cara kerja ideologi
seperti yang akan dibahas penulis yakni sebagai peran utama tak
terkecuali mengalami pembiasan ketika meneliti suatu fenomena ilmiah,
biasanya seorang peneliti menggunakan suatu perspektif yang ia anggap
secara akurat menjelaskan fenomena yang ia teliti. Tentu saja dalam
dunia keilmuan, penjelasan yang akurat merupakan tujuan dari suatu
perspektif yang baik. Perspektif yang baik mengambarkan realitas secara
jelas, dan membantu kita menemukan kebenaran.
Namun
kebenaran itu berada di luar manusia, dengan suatu perspektif, realitas
itu tidak pernah benar-benar hadir sempurna pada manusia. Sehingga
dalam penelitian ini perspektif ini hanyalah mendekatkan pada kenyataan
bukan pada kenyataan sebenarnya. Mengutip Stuart Hall, kenyataan atau
kebenaran itu merupakan representasi dari teks-teks yang kita baca,
pelajari kemudian kita terjemahkan dan tafsirkan lagi. Bahwa kenyataan
mengandung distorsi atau dalam bahasa Dedy Mulyana kenyataan itu
mengandung bias.
Namun pemilihan penelitian kualitatif dengan paradigma atau metodologi
cara kerja ideologi menyediakan beberapa “kemudahan” yang signifikan
dalam penelitian bahasa ini. Sebagai peneliti penulis lebih dimudahkan
untuk memahami realitas-realitas ganda dalam proses penelitian, adanya
interaksi yang intim antara peneliti dan diteliti, subyek penelitian
juga merespon sistematika penelitian yang disusun, dan sebagainya.
Asal Usul Hermeneutika
Disepanjang
sejarahnya, hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang sebagai
teori interpretasi. Ketika setiap orang menuntut kebutuhan akan kepuasan
fungsi otaknya dalam mencapai sesuatu yang ada disekelilingnya, ini
berarti bahwa otak
selalu bertanya-tanya dan aktif menafsirkan apa yang diterimanya,
termasuk interaksi sesama manusia lewat bahasa yang memerlukan
penafsiran plural. Proses tafsir dalam diri manusia akan terus
berlangsung selama ia hidup. Melalui bahasalah pengalaman itu bisa
digeneralisasikan ke setiap manusia. Ini arti penting dalam penelitian
bahasa bisa dilihat dari sudut interpretasi yang mendalam.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia
secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi
(Sumaryono,1999:23). Di dalam istilah itu secara langsung terkandung
unsur-unsur penting yaitu: mengungkapkan, menjelaskan, dan
menerjemahkan. Adapun asal-usul hermeneutika sendiri yakni ketika Hermes menyampaikan pesan para dewa
kepada manusia. Dan hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai
‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.
Richard Palmer (2003:15-36) menyatakan ada tiga bentuk arti dari hermeneuein yaitu hermeneuein sebagai
“mengatakan”, yang merupakan signifikansi teologis hermeneutika
merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa Latin sermo, “to say” (menyatakan), dan bahasa Latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, didalam memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan”. Lalu hermeneuein sebagai “to explain”,
interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif,
ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi
akspresif. Dan terakhir hermeneuein sebagai “to translate”, yang mempunyai dimensi “to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate”
(menerjemahkan), yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif
dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Jadi ketika suatu teks berada
dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca itu
sendiri dapat menjauhkan perhatian.
Definisi Hermeneutika
Hermeneutika
dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat
interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi
sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh
subjek dan yang diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah
memunculkan persoalan-persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik,
hermeneutik mengingatkan kita pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione.
Yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman
mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata
yang kita ucapkan itu. Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang
mengalami perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus kita pahami sebagai
sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
Disiplin
ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir
kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti
Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat
dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika. Tapi dalam bukunya
Hermeneutika, teori baru mengenai interpretasi, Richard Palmer mengemukakan enam definisi modern hermeneutika:
“Pertama
hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada
prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan
modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang
menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua
hermeneutika sebagai metodelogis filogogis yang menyatakan bahwa metode
interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan
terhadap buku yang lain, selalnjutnya yang ketiga hermeneutik
sebagai ilmu pemahaman linguistik, schleiermacher punya distingsi
tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni”
pemahaman, dan hermeneutik sebagai sejumlah kaidah dan
berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebagai ilmu yang
mendeskripsikan konsdisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften yang melihat inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn seni, aksi, dan tulisan manusia). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir hermeneutika sebagai sistem interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasme yakni sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai teks”[3]
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary
dijelaskan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip
metodelogis interpretasi dan eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika
adalah landasan filosofi dan merupakan juga modus analisis
data. Sebagaimana filosofi pada pemahaman manusia, hal itu menyediakan
landasan filosofi untuk interpretativisme. Sebagai modus analisis hal
itu berkaitan dengan pengertian data tekstual. Hermeneutika terutama
berkaitan dengan pemaknaan suatu analog teks, seperti yang didefinisikan
Palmer dalam salah satu definisi hermenutika modernnya. Pertanyaan
dasar apa teks itu?, teks seperti apa yang dipahami hermeneutika?
Artinya apa dasarnya sebagian para peneliti berpendapat kalau analisa
penelitian kuantitatif lebih akurat tingkat kebenarannya sehingga
menjadi kiblat utama dalam penelitian.
Menurut
Ricouer (Bleicher,2003:357), teks yang dipahami Hermeneutika adalah
adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya
mengijinkan prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks. Dalam
memahami teks, maka antara teks, pengarang dan pengkaji harus
dihubungkan dengan realitas masyarakat yang kontemporer, jadi ketiga
unsur tersebut harus bersinergi, meskipun ada pemutusan antara teks dan
pengarangnya dalam hal subjeknya.
Sebuah
teks pada dasarnya bersifat otonom, untuk melakukan
‘dekonstekstualisasi’ , baik dari sudut pandang sosiologis, maupun
psikologis, serta untuk melakukan ‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda
didalam tindakan membaca (‘dekontekstualisasi’ = proses ‘pembebasan’
diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’ = proses masuk kembali kedalam
konteks). Otonomi
teks sendiri menurut Ricour ada tiga macam: intensi atau maksud
pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk
siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka
yang dimaksudkan dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa materi teks
“melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari
pengarangnya.
Mengutip pernyataan Paul Ricoeur dalam buku Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa (2002:217) yang secara mendasar mengatakan bahwa teks adalah any discourse fixed by writing. Pertama Ricouer memahami arti discourse sendiri, merujuk kepada bahasa sebagai event yaitu bahasa yang membicarakan sesuatu. Dalam hal ini ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis atau teks. Jenis yang kedua dari artikulasi ini memperlihatkan bahwa teks adalah korpus
yang otonom, mandiri dan totalitas, yang dicirikan dalam empat hal.
Pertama, dalam sebuah teks terdapat makna dari apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), kedua makna sebuah teks tidak lagi terikat kepada pembicara atau tidak terkait dengan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti penulis tidak diperlukan, meskipun Ricouer sempat mengatakan tentang “kematian penulis” yang maksudnya kematian bukan dalam arti sebenarnya atau transidental tetapi maksudnya si penulis terhalang oleh teks yang
sudah membaku. Seperti juga yang dikatakan oleh Barthes bahwa
“pengarang sudah mati”, ini tentunya hanya sebuah metafora untuk
menggambarkan bahwa tidak lagi semangat dan jiwa pengarang dalam
karyanta. Pengarang tidak lagi bicara. Menurut Barthes,
…adalah
bahasa yang bicara, bukan pengarang; menulis, melalui
prasyarat-prasyarat impersonalitasnya (jangan dikacaukan dengan
objektivitas kebiri para novelis realis), adalah proses mencapai satu
titik dimana hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya
(Piliang, 1999:119)
Matinya sang pengarang dalam era postmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text,
yaitu teks yang menjadikan pembaca/ teks-teks sebagai pusat penciptaan ,
ketimbang pengarangnya sendiri. Matinya sang pengarang, juga diikuti
dengan dengan munculnya apa yang disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power).
Dalam model ini, para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang , dan
mereka berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas
makna dan diskursus. Ketiga makna tidak terikat lagi pada sebuah sistem
dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada sistem semula (ostensive reference),
ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk
sebuah teks , adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri,
yang terakhir dengan demikian teks juga tidak terikat kepada audience awal,
sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu tetapi siapapapun yang
bisa membaca dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Cara Kerja Hermeneutika
Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat
(Sumaryono,1993:30-33) menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu
netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di
angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya
sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada
objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika
tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali. Husserl
menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak
atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti
atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas
dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah kita lihat
keunggulan hermeneutika.
Semua
lingkup interpretasi mencakup pada pemahaman. Namun pemahaman itu
sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun
psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang
itu mengerti. Sebagai contoh misalnya: Kapan seseorang dinyatakan
mengetahui adanya bahaya laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan
sudah memahami matematika? Dapatkah kita melihat tepatnya waktu
seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang diucapkan?
Untuk
dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau
memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan
atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut
kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan
interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti
dan membuat interpretasi antara mengerti dan membuat interpretasi.
Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi
menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.
Kegiatan
interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga
segi yang paling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan
antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu
sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau
kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga pada
mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Oleh karena
itulah, dapat ia pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya kan
dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.
Bila
kita jabarkan lebih lanjut argumentasi tentang hermeneutika ke ruang
lingkup yang lebih luas, akan kita dapatkan bahwa setiap objek tampil
dalam konteks ruang dan waktu yang sama, atau sebagaimana yang disebut
Karl Jaspers dengan istilah das Umgreifende atau cakrawala ruang
dan waktu. Pada kenyataannya, tidak ada objek yang berada dalam keadaan
terisolir, setiap objek berada dalam ruang. Selalu ada kerangka
referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya
memberi ciri khusus pada objek. Kita harus kembali kepada pengalaman
orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’
makna kata-kata atau ungkapan.
Kita
harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks)
dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau ungkapan.
Kita mengungkapkan diri kita sendiri melalui bahasa
sehari-hari. Meskipun hermeneutika atau interpretasi termuat dalam
kesusastraan dan linguisti, hukum, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya
yang berhubungan dengan teks, namun akarnya tetap filsafat.
Paul Ricoeur Eksistensi dan Hermeneutika
Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutika
Paul
Ricoeur adalah seorang filsuf, dalam karya-karyanya sepertinya ia
memiliki persfektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial
kemudian ke analisis eidetik (pengamatan yang semakin mendetail),
fenomenologis, historis, hermeneutika hingga pada akhirnya semantik.
Dengan mengutif Nietzsche, ia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah
interpretasi (Ricoeur,1974:12). Bilamana terdapat pluralitas makna, maka
disitu interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan.
Interpretasi menjadi penting, sebab disini makna mempunyai multi
lapisan.
Hermeneutika
sendiri yaitu mengupas tentang makna tersembunyi dalam teks yang
kelihatan mengandung makna, karena setiap interpretasi adalah usaha
untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka
lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna
kesusastraan. Menurut
Ricoeur kata-kata adalah simbol, karena menggambarkan makna lain yang
sifatnya ‘tidak langsung, tidak begitu penting serta figuratif (berupa
kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut’. Jadi,
simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai
pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.
Tampaknya,
yang hendak dikatakan oleh Ricoeur adalah bahwa terdapat kebutuhan
laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata.
Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik. Namun
Ricoeur kiranya berpikir jauh lagi. Setiap kata adalah sebuah simbol.
Oleh karenanya, maka kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi sehingga hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi didalam simbol-simbol tersebut.
Jika
kemudian Ricoeur kemudian memberikan kesan bahwa berbicara dengan
menggunakan sesuatu bahasa adalah masalah jaket dan belati yang
tersembunyi dibaliknya. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir
sehingga simbol itu sendiri itu
menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli.
Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi
makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi makna dari
simbol-simbol.
Ruang Lingkup Hermeneutika Paul Ricoeur
Hermeneutika
sebagai sistem interpretasi dalam menemukan makna vs ikonoklasme,
dimana disini Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika yang mengacu
balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan
sentral dalam hermeneutika. Maksudnya disini hermeneutika merupakan
teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata
lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika
adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke
arah makna terpendam dan tersembunyi. Objeknya sendiri berupa simbol
atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat dan sastra.
Selanjutnya, Ricoeur memperluas
definisi kata sebagai simbolnya dengan menambahkan ‘perhatian kepada
teks’. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat
membatasi ruang lingkup hermeneutik
karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Apa yang kita ungkapkan
atau yang kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan
dengan konteks yang berbeda atau disebut ‘polisemi’. Dengan bahasa kita
memahami sesuatu atau juga dengan bahasa kita juga bisa salah paham
atau salah mengerti sehingga, memungkinkan kita salah persepsi dan
dengan hermeneutika semua problem filsafat bahasa diatas dapat dijawab.
Dalam
hal ini penulis mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang
hermeneutika ialah “teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya
dengan interpretasi terhadap teks” (Ricoeur,1985:43). Apa yang kita
ucapkan dan kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita
hubungkan dengan konteks yang berbeda, yang disebut istilah “polisemi”
yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari
satu. Dan manusia merupakan bahasa (Ricoeur,1967:350).
Selanjutnya Ricoeur menguraikan tentang proses pencangkokan hermeneutika ke fenomenologis kedalam tiga tahapan, yang pertama adalah
level semantik bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi
ontology oleh sebab itu kajiannya tidak dapat terlepas dari struktur
bahasa dan kebahasaan yang tercakup dalam simbolisme. Kedua
adalah level refleksi yaitu mengangkat lebih tinggi lagi posisi
hermeneutika pada level filosofis. Proses ini dapat dilakukan melalui
proses ulang balik antara pemahaman teks dengan pemahaman diri dan
berlangsung seperti hermeneutika cycle yang telah penulis jelaskan. Tahap terakhir
adalah level eksistensial, dalam tahap ini akan tersingkap bahwa
pemahaman dan makna, bagi manusia ternyata berakar dari
dorongan-dorongan yang bersifat instingtif.
Beberapa Kondisi Hermeneutik Penelitian bahasa
Pada
bagian ini penulis akan membahas tentang perkembangan sebuah kerangka
metodologis yang diambil dari tradisi hermeneutika. Thompson mengatakan
bahwa tradisi ini berawal dari perdebatan tentang kesusastraan pada masa
Yunani kuno. Sejak pemunculannya telah mengalami beberapa perubahan dua
milenia yang lalu. Dalam perkembangan ini dikaitkan dengan karya para
filsof hermeneutik abad sembilanbelas dan duapuluh- terutama Dilthey,
Heidegger, Gadamer dan Ricoeur. Pada tempat pertama, para filsof itu
mengingatkan kita bahwa studi tentang bentuk-bentuk simbol secara
mendasar dan mutlak merupakan pemahaman dan interpretasi.
Bentuk-bentuk simbol adalah konstruksi makna yang diinterpretasikan, ia dapat berupa tindakan, ucapan, teks yang—qua
konstruksi makna—dapat dipahami. Penekanan mendasar pada proses
memahami dan interpretasi yang tetap memiliki nilai (lebih) hingga saat
ini. Oleh karena itu dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam disiplin yang concern
dengan analisa bentuk-bentuk simbol dan warisan positivisme sangat kuat
yang pada akhirnya akan persoalan pemahaman dan interpretasi. Oleh
karena itu tradisi hermeneutika mengingatkan kita bahwa dalam kasus
penelitian social, konstelasi persoalannya secara signifikan berbeda
dari konstelasi persoalan yang terdapat dalam ilmu alam, karena dalam sosial objek penelitian kita adalah domain pra-tafsir.
Menurut
Thompson bahwa dunia sosial-historis tidak sekadar domain obyek yang
dapat diamati; ia juga domain subyek yang, sebagiannya, dibangun oleh
subyek-subyek yang dalam rutinitas kehidupan sehari-harinya secara
konstan melakukan pemahaman terhadap dirinya dan orang lain serta
menafsirkan tindakan, ucapan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitarnya. Seperti Heidegger, yang telah menunjukkan pentingnya
melihat proses pemahaman, bukan sebagai prosedur khusus yang digunakan
oleh para analis dalam ruang social histories, tetapi sebagai
karakteristik umat manusia memahami (understanding) bukan prosedur
interpretasi yang lebih khusus digunakan oleh para analis social yang mengambil apa adanya (taken for granted) dan dasar pemahaman sehari-hari yang belum tersusun (pre-establised).
Jadi
ketika seorang interpreter bahasa berusaha menginterpretasikan sebentuk
simbol, maka dia berusaha menginterpretasikan sebuah objek yang ia
sendiri dapat menjadi sebuah interpretasi. Seorang interpreter
menawarkan interpretasi atas interpretasi, dia melakukan re-interpretasi
terhadap domain pra-tafsir. Maka, menurut Thompson hermeneutika mengingatkan kita
bahwa subyek yang membangun domain subyek-obyek, seperti para analisis
sosial sendiri, merupakan subyek yang mampu memahami, memikirkan dan
bertindak pada dasar pemahaman dan pemikiran.
Terdapat
hal lebih lanjut yang berkaitan dengan hermeneutika yang masih relevan
hingga saat ini, Thompson mengatakan bahwa subyek yang membangun dunia
sosialnya selalu berada dalam tradisi sejarah. Manusia adalah bagian
dari sejarah, dan bukan hanya pengamat atau penonton sejarah. Gadamer
salah satunya telah membantu menyoroti apa yang kita sebut historisitas pengalaman manusia, yang artinya pengalaman yang baru selalu mengasimilasi bayangan
masa lalu, dengan kata lain bahwa dalam upaya memahami sesuatu yang
baru kita selalu dan perlu membangun sesuatu yang sudah ada. Jadi dari
beberapa penjelasan yang thompson bangun mengindikasikan bahwa
hermenutika dapat dibenarkan
ketika menekankan kenyataan bahwa manusia selalu terlibat dalam tradisi
sejarah, hal ini dapat membantu menciptakan ruang bagi sebuah pendekatan
yang dilakukan secara hermenutika terhadap analisa ideologi.
Kerangka Metodologis Hermeneutika-Mendalam
Setelah
penulis menguraikan beberapa kondisi hermeneutika penelitian sosial
historis, lalu selanjutnya penulis akan menjelaskan kerangka metodologi
dengan karakter yang lebih kongkrit bagi studi bentuk-bentuk simbol pada
umumnya, dan bagi analisa ideologi pada khususnya. Seperti karya
Ricoeur yang memiliki perhatian khusus yang secara eksplisit dan
sistematis menunjukkan bahwa hermeneutika menawarkan baik refleksi
filosofis akan kehidupan dan pemahaman, maupun refleksi metodologis
tentang sifat dan tugas interpretasi dalam penelitian sosial dengan
kunci dari arah refleksi yang Ricoeur sebut dengan
‘hermeneutika-mendalam (dept hermenetics).
Hermeneutika
mendalam dapat memberikan kerangka metodologis bagi arah pelaksanaan
analisa budaya dalam konteks pemahaman. Selain itu juga dapat digunakan
oleh Thompson dalam analisa ideologi seperti yang Thompson definisikan,
juga memperhatikan bentuk-bentuk simbol hubungannya dengan konteks
sosial-historis; karena itu analisa ideologi secara metodologis dapat
dianggap sebagai bentuk partikular dari hermeneutika-mendalam. Tapi,
dengan memfokuskan perhatian kita pada interelasi antara makna dan
kekuasaan. Pada cara-cara bagaimana bentuk-bentuk simbol digunakan untuk
membangun dan mempertahankan relasi dominasi, maka analisa ideologi
mengasumsikan sesuatu yang berbeda, yang memiliki karakter kritis. Ia
memunculkan pertanyaan baru tentang penggunaan bentuk-bentuk simbol dan
keterkaitan antara interpretasi, refleksi-diri dan kritik.
Penulis
akan memulai pembicaraan hermeneutika-mendalam dengan sebuah
pendahuluan tapi merupakan pengamatan yang fundamental: sepanjang obyek
penelitian kita adalah wilayah pra-tafsir, maka, pendekatan
hermeneutika-mendalam harus mengakui dan memahami cara bentuk-bentuk
simbol itu diinterpretasikan oleh subyek yang terdiri dari domain
subyek-obyek. Dengan kata lain, hermeneutika kehidupan sehari-hari
merupakan titik permulaan primordial dan tidak dapat dihindari dalam
pendekatan hermeneutika-mendalam.
Karena
itu, pendekatan hermeneutika mendalam harus didasarkan pada upaya
penjelasan bentuk-bentuk simbol itu diinterpretasikan dan dipahami oleh
individu-individu yang memproduksi dan menerimanya dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Tentu, rekonstruksi itu sendiri merupakan proses
interpretasi; ia adalah interpretasi terhadap pemahaman sehari-hari,
atau—Thompson menyebutnya dengan ‘interpretasi doksa’ (interpretation of doxa),
yaitu interpretasi terhadap pandangan, keyakinan, dan pemahaman yang
dipegang dan diakui bersama oleh individu yang menempati dunia sosial
tertentu.
Hermeneutika-mendalam versi Thompson merupakan kerangka metodologi luas yang memuat tiga fase dasar atau prosedur. Fase
tersebut tidak akan dilihat sebagai tahapan khusus dari rentetan sebuah
metode, tapi secara analistis sebagai dimensi yang berlainan dari
sebuah proses yang kompleks. Dibawah ini penulis menggambarkan
kesimpulan dari berbagai fase pendekatan hermeneutika-mendalam, dengan
menempatkan pendekatan ini hubungannya dengan hermeneutika kehidupan
sehari-hari.
Fase pertama dari pendekatan hermeneutika-mendalam apa yang disebut dengan analisa sosial-historis.
Bentuk-bentuk simbol tidak berada dalam suasana yang vakum: ia dibuat,
lalu ditransmisikan dan diterima dalam kondisi sosial dan historis
tertentu. Tujuan analisa sosial-historis adalah untuk mengkonstruksi
kondisi sosial dan historis dari produksi, sirkulasi, dan resepsi
bentuk-bentuk simbol.
Pada urutan pertama, setting ruang-waktu
menempatkan bentuk-bentuk simbol diproduksi (diucapkan, diperankan,
dituliskan) dan diterima (dilihat, didengarkan, dibaca) oleh individu
yang berada dalam lokal tertentu. Bentuk-bentuk simbol secara tipikal
juga berada dalam bidang interaksi tertentu. Dalam menyoroti
tindakan dalam suatu bidang interaksi, individu menggunakan berbagai
jenis dari jumlah sumber daya atau ‘kapital’ yang tersedia bagi mereka,
demikian juga berbagai aturan, konvensi dan ‘skemata’ yang fleksibel.
Skemata tersebut bukan aturan yang sudah sangat mapan, tapi sebagai
garis pedoman yang implisit dan kasar (unformulated).
Tingkatan analisa sosial-historis ketiga adalah institusi sosial.
Institusi sosial dapat dianggap sebagai kumpulan aturan dan sumber daya
yang relatif mapan, dengan relasi sosial yang terbangun di dalamnya.
Menganalisa institusi sosial berarti merekonstruksi kumpulan aturan,
sumber daya dan relasi yang menjadi landasannya, mengikuti
perkembangannya dalam guliran waktu dan mengamati praktik dan sikap
individu yang betindak untuk dan dengan institusi tersebut.
Pada tingkatan selanjutnya Thompson menggunakan istilah struktur sosial
untuk mengacu pada asimetri dan perbedaan tetap yang menjadi karakter
institusi sosial dan bidang interaksi sosial. Menganalisa struktur
sosial berarti memfokuskan pada aspek asimetri, perbedaan dan pembagian.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa asimetri itu bersifat sistematis dan
relatif mapan, yaitu manifestasinya tidak sekadar menunjukkan perbedaan
individual, tapi juga perbedaan kolektif dan berlangsung lama bergantung
pada distribusi, atau akses kepada, sumber daya, kekuasaan, peluang,
dan kesempatan hidup.
Pada tingkatan terakhir dari analisa sosial-historis yaitu media teknik transmisi,
sebagai bahan dasar dilakukannya produksi dan transmisi bentuk-bentuk
simbol. Media teknik memberkati bentuk-bentuk simbol dengan
karakteristik tertentu: yaitu tingkat fiksasi, reproduksi, dan lingkup
partisipasi tertentu di antara para subyek yang menggunakan media
tersebut.
Menurut
Thompson media teknik tidak mewujud dalam keterasingan. Ia selalu
menempati konteks sosial-historis tertentu; selalu mensyaratkan jenis
keterampilan, aturan dan sumber daya untuk menulis (encode) dan menguraikan (decode)
kode pesan, atribusi yang tersebar secara tidak merata di antara
individu; ia selalu disebarkan dengan menggunakan sarana kelembagaan
yang banyak memperhatikan upaya pengaturan (regulating) produksi dan penyebaran bentuk-bentuk simbol.
Tugas
pada fase pertama pendekatan hermeneutika-mendalam menurut Thompson
adalah untuk merekonstruksi kondisi dan konteks sosial-historis
produksi; sirkulasi dan resepsi bentuk-bentuk simbol, serta untuk
mengamati aturan dan konvensi, relasi dan institusi sosial, juga
distribusi kekuasaan, sumber daya dan peluang yang mendasari suatu
konteks dalam membentuk bidang struktur sosial yang berbeda-beda.
Obyek
dan ekspresi makna yang beredar dalam bidang sosial juga merupakan
konstruksi simbol yang kompleks yang menunjukkan struktur artikulasinya.
Karakteristik inilah yang memerlukan fase analisa yang kedua, fase yang
oleh Thompson sebut analisa formal atau diskursif. Bentuk-bentuk
simbol menurutnya adalah produk tindakan tertentu yang menggunakan
aturan, sumber daya, dll., yang tersedia bagi produser; tapi
bentuk-bentuk simbol juga dapat berupa sesuatu yang berbeda, karena ia
merupakan konstruksi simbol yang kompleks yang dari situ sesuatu itu
diekspresikan dan dikatakan.
Thompson
ingin mengatakan bahwa bentuk-bentuk simbol adalah produk yang
dikonstekstualisasikan dan merupakan sesuatu yang lebih; karena itu,
berdasarkan ciri strukturalnya ia adalah produk yang mampu, dan
menegaskan untuk, mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Di antara bentuk
yang paling terkenal dan paling praktis dari analisa formal atau
diskursif apa yang disebut, secara luas dikatakan, analisa semiotik.
Analisis semiotik umumnya mencakup abstraksi metodologis dari kondisi
sosial-historis produksi dan resepsi bentuk-bentuk simbol. Ia
memfokuskan pada bentuk-bentuk simbol itu sendiri dan berusaha
menganalisa ciri struktur internalnya, elemen pembentuknya serta
inter-relasinya, dan semuanya dihubungkan dengan sistem dan kode yang
menjadi bagiannya.
Ciri-ciri
struktur suatu bahasa juga dapat dianalisa secara formal. Dalam konteks
tersebut, kita dapat membahas ‘analisa wacana, yaitu analisa terhadap
ciri-ciri struktur dan relasi wacana. Thompson menggunakan istilah
‘wacana’ (discourse) secara umum untuk mengacu pada terjadinya komunikasi secara aktual. Dasar metodologi utama analisa percakapan adalah untuk mempelajari contoh-contoh interaksi bahasa dalam setting
aktual terjadinya tindakan tersebut; dan untuk menyoroti beberapa
ciri-ciri ‘struktur’ interaksi bahasa dengan cara memperhatikan secara
cermat susunannya. Interaksi tersebut digunakan oleh para partisipan
untuk melahirkan interaksi yang rapi. Artinya, keteraturan interaksi
bahasa sendiri merupakan hasil dari proses yang sedang berlangsung yang
di dalamnya partisipan memproduksi susunan (produce order) melalui rutinitas dan perulangan aturan dan alat percakapan.
Contoh-contoh wacana juga dapat dipelajari berdasarkan apa yang kita sebut analisis sintaksis.
Karakteristik gramatikal penting lainnya dari wacana adalah sarana
modalitas, yang dengan menggunakan saran modalitas itu seorang yang
berbicara (speaker) dapat menunjukkan tingkat kepastian atau
realitas yang dikaitkan dengan suatu pernyataan (misalnya kata-kata yang
semuanya bermakna mungkin). Juga sistem penggunaan kata ganti (pronouns)
yang menyiratkan perbedaan berdasarkan kekuasaan dan keakraban
(terutama dalam bahasa yang memiliki dua bentuk kata ganti untuk orang
kedua tunggal). Selain itu sarana yang dikaitkan dengan perbedaan
gender, dimana gender gramatikal dari ungkapan bahasa dapat menjadi alat
untuk membawa asumsi tentang seks (misalnya penggunaan ‘man’
(laki-laki) atau kata ganti maskulin secara umum).
Bentuk analisa terakhir yang Thompson pertimbangkan di sini adalah apa yang disebut analisa argumentatif.
Bentuk-bentuk wacana, sebagai konstruksi bahasa supra-kalimat, memuat
rangkaian pemikiran yang dapat direkonstruksi dengan cara yang
berbeda-beda. Tujuan analisa ini adalah untuk merekonstruksi dan membuat
jelas bentuk-bentuk kesimpulan yang menjadi karakter wacana. Metodenya
bisa dimulai dengan mengaitkan cara kerja logika, atau kuasi logika
tertentu (implikasi, kontradiksi, perkiraan, pengeluaran, dll.).
Fase terakhir yang merupakan fase ketiga dari pendekatan hermeneutika-mendalam adalah interpretasi/re-interpretasi. Metode ini diawali dengan analisa:
metode tersebut merinci, membagi-bagi, mendekonstruksi, berupaya
menyingkap bentuk dan alat yang membentuk, dan bekerja dengan, sebuah
simbol atau bentuk wacana. Interpretasi membangun analisa tersebut serta
hasil-hasil dari analisa sosial-historis.
Dalam
mengembangkan sebuah interpretasi yang dimediasi melalui metode
pendekatan hermeneutika-mendalam, berarti kita melakukan re-interpretasi
terhadap domain pra-tafsir; ia sudah ditafsirkan oleh subyek yang
membangun dunia sosial-historisnya. Kita mengangankan sebuah makna yang
mungkin berbeda dari makna yang dipahami oleh subyek yang membangun
dunia sosial-historisnya. Sebagai re-interpretasi terhadap domain
pra-tafsir kata Thompson, maka proses interpretasi mengandung resiko,
memuat konflik, dan terbuka untuk diperselisihkan. Adanya konflik
interpretasi merupakan unsur instrinsik dalam setiap proses
interpretasi.
Interpretasi Ideologi sebuah Pendekatan Menuju Hermeneutika Kritis
Mengelaborasi
pendekatan interpretatif dan kritis terhadap studi ideologi merupakan
kontribusi terhadap pengembangan ‘hermeneutika kritis’. Hermeneutika
menisyaratkan satu hal kritis sebab kita memiliki budaya dan tradisi
pada kondisi tertentu yang membatasi jarak kita pada masa lalu, jarak
yang diekspresikan semuanya berada dalam distansi yang dialami teks.
Kondisi distansi inilah yang mengarahkan hermeneutik pada kritik
ideologi.
Lebih
dari itu, dunia yang diproyeksikan melalui teks bergantung pada
bagaimana teks itu ditafsirkan, sedangkan teks dapat ditafsirkan dengan
cara yang bermacam-macam. Oleh karena wajar saja muncul pertanyaan di
benak kita, dapatkah kita mengambil apa adanya standar-standar
bukti—kriteria superioritas relatif yang secara mudah dapat diturunkan
dari kemungkinan unsur subjektif?
Thompson
bersikukuh bahwa dalam menginterpretasikan ideologi berarti masuk ke
dalam proses metodologi yang kompleks dan berusaha menunjukkan bagaimana
makna membenarkan relasi dominasi. Dapat dicatat bahwa sebuah
interpretasi merupakan konstruksi makna dan formulasi dari apa yang
dikatakan dalam wacana, memunculkan klaim kebenaran yang menuntut
pengakuan.
Interpretasi
melahirkan sebuah klaim yaitu untuk dapat diterima atau dibenarkan
dengan segala cara. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa klaim
kebenaran akan dibenarkan jika interpretasi itu dapat dijustifikasi di
bawah kondisi yang memasukkan penangguhan relasi kekuasan yang
asimetris. Penangguhan ini akan berusaha mencari pembenaran suatu klaim.
Namun
begitu, dalam menafsirkan ideologi, Thompson ingin menetapkan bahwa
kriteria itu diatur dalam proses penolakan, yang disebut dengan prinsip refleksi diri. Karena
itu, interpretasi yang dilahirkan dari hermeneutika-mendalam versi
Thompson adalah tentang wilayah objek yang berisi subjek yang mampu
melakukan refleksi; dan karena itu klaim kebenaran terus dipertahankan,
dan interpretasinya harus dibenarkan melalui bukti apapun yang
dibutuhkan untuk kondisi formal justifikasi—di mata subjek yang menjadi
objek.
Interpretasi Ideologi
Untuk
mencapai tujuan interpretasi ideology, kerangka metodologi
hermeneutika-mendalam yang telah penulis jelaskan diatas, dapat juga diterapkan.
Interpretasi ideologi menerapkan fase yang berbeda yang terdapat dalam
pendekatan hermeneutika-mendalam selain menganalisa kontekstualisasi
sosial dan pembentukan makna bentuk-bentuk simbol; dan dengan
memfokuskan pada aspek ideologis bentuk-bentuk simbol pendekatan
tersebut memiliki sesuatu yang berbeda, yaitu perubahan kritis.
Interpretasi
ideologi menerapkan masing-masing fase yang terdapat dalam pendekatan
hermeneutika-mendalam, namun fase tersebut digunakan dengan cara
tertentu, dengan maksud menyoroti kondisi makna yang diarahkan untuk
membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Seperti yang Thompson
tegaskan, interpretasi ideologi merupakan interpretasi terhadap
bentuk-bentuk simbol yang berusaha menjelaskan inter-relasi antara makna
dan kekuasaan, yang berusaha menunjukkan bagaimana dalam kondisi
tertentu makna yang dikerahkan oleh bentuk-bentuk simbol cenderung
memlihara dan mempertahankan kepemilikan dan penerapan kekuasaan.
Pada tingkatan analisis sosial-historis, pengamatan terhadap ideologi dapat mengarahkan perhatian kita pada relasi dominasi
yang menjadi karakter konteks produksi dan penerimaan bentuk-bentuk
simbol. Seperti yang Thompson jelaskan sebelumnya, relasi dominasi
merupakan bentuk khusus relasi kekuasaan; relasi kekuasaan yang secara
sistematis bersifat asimetris dan relatif bertahan lama.
Jika concern ideologi
akan mengarahkan analisa sosial-historis pada studi tentang relasi
dominasi, maka pada analisa formal atau diskursif ia akan memfokuskan
pada ciri struktur bentuk-bentuk simbol yang memfasilitasi mobilisasi
makna. Thompson mengembangkan ciri struktur bentuk-bentuk simbol di satu
sisi, dan interpretasi ideologi di sisi lain, dengan mengacu pada skema
modus operandi umum ideologi (Ia membedakan lima model umum cara kerja ideologi—legitimasi, dissimulation (penipuan), unifikasi, fragmentasi, dan reification (konkritisasi).
Lalu
masih menurut Thompson sebuah interpretasi ideologi harus melampaui
fase analisa formal atau diskursif dan melanjutkan pada apa yang ia
sebut dengan interpretasi (atau re-interpretasi). Menginterpretasikan
ideologi lanjut Thompson, berarti menjelaskan keterkaitan antara makna
yang dimobilisir oleh bentuk-bentuk simbol dengan relasi dominasi yang
di situ makna cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi.
Interpretasi ideologi merupakan proses sintesa kreatif. Kreatif dalam
artian bahwa ia meliputi konstruksi makna yang aktif terhadap sesuatu
yang dikatakan atau direpresentasikan. Dengan demikian dikatakan
Thompson, interpretasi ideologi mengemban tugas ganda: penjelasan
kreatif terhadap makna, dan penampakan sintesis bagaimana makna tersebut
cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi.
[1] Mulyana, Deddy; Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung; 2001:145
[2] Ibid, dedy mulyana, 2000:18
[3] Palmer, E. Richard; Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal.38-49.
Daftar pustaka :
Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer, Pajar Pustaka, Yogyakarta, 2003.
Moleong, J. Lexy; Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004.
Mulyana, Deddy; Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung; 2001
Palmer, E. Richard; Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Ricoeur, Paul, The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa, IRCiSoD, Yogyakarta, 2002.
Sumaryono E., Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Thompson, Jhon B; Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.
Thompson, Jhon B, Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, IRCiSoD, Yogyakarta, 2004.
Takwin, Bagus, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar