BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode berasal dari bahasa
Latin “Meta” yang berarti melalui dan “Hodos” yang berarti jalan atau ke atau
cara ke. Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqah” artinya jalan, cara, sistem
atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut Istilah ialah
suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita. Kata “Metode” disini
diartikan secara luas, karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik
Metode dalam pendidikan
Islam, mencerminkan kandungan pesan-pesan dan bersumber dari wahyu (al-Qur’an)
dalam membentuk peradaban yang seimbang antara orientasi dunia dan akhirat,
orientasi keamalan dan ke-Tuhanan, akal dan wahyu, dan sebagainya.
Seperti yang di Al Qur’an
dalam surat Ibrohim ayat 24 – 25 menjelas tentang metode pendidikan yang
diperumpamakan seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang)
ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Pembuatan perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan
manusia terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan
perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat mengeluarkan makna dari yang tersembunyi
kepada yang jelas, dan dari yang dapat diketahui dengan pikiran kepada yang
dapat diketahui dengan tabiat.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
penjelasan tentang konsep pendidikan
dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana
mufradat penjelasan tentang konsep tujuan
pendidikan dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur’an dengan
istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, tetapi lebih banyak kita
temukan dengan ungkapan kata ‘rabba’ , kata at-Tarbiyah adalah
bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang
sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak
ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’,
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan
kata-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan
merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata
yaitu; (rabba-yarbu) yang bertambah, tumbuh, dan (rabbiya- yarbaa)
berarti menjadi besar, serta (rabba-yarubbu) yang berarti memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara[1].
Para ahli memberikan definisi
at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan Ar-Rabb sebagai berikut; Menurut
al-Qurtubi bahwa; arti Ar-Rabb adalah pemilik, tua, Maha memperbaiki, Yang Maha
pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha menunaikan. Menurut louis
al-Ma’luf, Ar-Rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan
mengumpulkan. Menurut Fahrur Razi, Ar-Rabb merupakan fonem yang seakar dengan
al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan).
Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan,
memelihara dan mengasuh. Kata dasar Ar-Rabb, yang mempunyai arti yang luas
antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi akan, menumbuhkan,
mengembangkan dan berarti pula mendidik. Apabila pendidikan Islam di identikan
dengan at-Ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut; Abdul Fattah
Jalal, mendefinisikan at-Ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan,
pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian
atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada
dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta
mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
At-Ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang
dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan
proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia
dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai
potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan. Munurut Rasyid Ridho, at-Ta’lim adalah
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu. Definisi ini berpijak pada firman Allah
al-Baqoroh ayat 31 tentang ‘Allama Allah kepada Nabi Adam as,
sedangkan proses tranmisi dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam
menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari
penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-Ta’lim lebih luas/lebih
umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak.
Hal ini karena at-Ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan
orang dewasa, sedangkan at-Tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran
fase bayi dan anak-anak. Sayed Muhammad an Naquid al-Athas, mengartikan at-ta’lim
disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun
bila at-Ta’lim disinonimkan dengan at-Tarbiyah, at-Ta’lim
mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem. Menurutnya
ada hal yang membedakan antara at-Tarbiyah dengan at-Ta’lim,
yaitu raung lingkup at-Ta’lim lebih umum daripada at-Tarbiyah,
karena at-Tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu
pada kondisi eksistensial dan juga at-Tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa
latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat
fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Pengunaan at-Ta’dib, menurut Naquib al-Attas
lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang
diajarkan oleh Rasul. At-Ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam
tatanan wujud dan keberadaanya. Kata Addaba yang juga berarti mendidik
dan kata Ta’dib yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits
Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang
terbaik”. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim
berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih
khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim
hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek
tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek
pendidikan. Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh
pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita
tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur’an ). Konsep filosofis pendidikan Islam
adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum
min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam
(hubungan dengan manusia dengan alam sekitar) yang selanjutnya berkembang ke
berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal
dari al-Qur’an.[2]
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah
sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu
nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak
pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Adapun tujuan pendidikan adalah
perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses
pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun
kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai
arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai
pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan. Sebagai
pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus
selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang
disampaikan beberapa tokoh adalah; Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam
adalah identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut
Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi
kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir
pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada
Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”.
Muhammad Athiyah al-Abrasy. “tujuan pertama dan tertinggi
dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa”.
Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak,
berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin
yang tinggi dan berpendirian teguh”. Dari berbagai pendapat tentang tujuan
pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
C. Hakekat Pendidikan dalam al-Qur’an
Hakekat/nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu
yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif
dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif didalam
masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita
yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal. Dari
beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan
Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan
potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam
segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat
pendidikan Islam yaitu; Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan
Islam harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah,
penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik
dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola,
pendekatan dan metode/sistem tertentu.
Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang
diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang berciri khas Islam, dengan
disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola
hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum
minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek
pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu: a) nilai yang
bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul
Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia
yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan. b) Nilai yang
bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai
insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan
karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Pada diri peserta
didik, maksudnya pendidikan ini diberikan kepada peserta didik yang mempunyai
potensi-potensi rohani. Potensi ini memungkinkan manusia untuk dididik dan
selanjutnya juga bisa mendidik.
Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya,
tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan
menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi
Islam yang cerdas, kreatif dan produktif. Menciptakan keseimbangan dan
kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang
mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan
rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan
peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang selanjutnya di
jadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di
dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut
segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai
dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara
fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak
sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Al Qur’an sesungguhnya berbicara tentang pendidikan yang
justru lebih utuh dan mendasar. Jika pendidikan dimaksudkan adalah untuk
membawa anak manusia menjadi lebih sempurna yang dilakukan secara terus menerus
dan tidak mengenal henti, maka al Qur’an sesungguhnya diturunkan ke bumi
melalui Muhammad SAW, dimaksudkan memberikan petunjuk, penjelasan, rakhmat,
pembeda dan obat bagi manusia agar tidak tersesat dalam hidupnya. Artinya,
dengan al Qur’an menjadi selamat, di dunia dan di akherat.
Dalam al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa
permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam
maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya
bisa kita jadikan inspirsi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan
yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang
berkaitan dengan pendidikan antara lain; menghormati akal manusia, bimbingan
ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan.
Sedemikian erat hubungan antara pendidikan dan al Qur’an,
maka terasa tidak mungkin sampai pada sasaran jika berbicara pendidikan tanpa
menyinggung al Qur’an. Berbicara pendidikan tanpa al Qur’an sama artinya
berbicara tentang membangun manusia tanpa petunjuk dan arah, maka akan mengalami
kesesatan. Kalau pun toh dilakukan, akan sekedar sampai pada sisi-sisi dlohir
(kecerdasan intelektual), belum menyentuh aspek batin (kecerdasan spiritual dan
emosional), yang lebih substantive yang pada akhirnya akan menjadikan seseorang
akan mampu memiliki kecerdasan social yang luar biasa. Hal itu terlihat seperti
yang terjadi pada saat ini, berbicara pendidikan hanya sampai pada upaya
mengantarkan peserta didik menjadi berpikiran cerdas dan terampil. Selanjutnya,
apakah dengan cerdas dan terampil sekaligus mereka akan berbudi pekerti luhur,
adil, jujur dan peduli pada lingkungan, ternyata belum tentu. Sebab, kenyataan
sehari-hari yang dapat dilihat menunjukkan bahwa tidak sedikit orang berhasil
menjadi pintar lupa akan orang lain dan bahkan juga lupa pada dirinya sendiri.
Seluruh isi al Qur’an berbicara tentang pendidikan. Surat
al Fatihah yang disebut sebagai Ummul Qur’an (induk al Qur’an)
memberikan tuntutan hidup menyeluruh sekalipun secara garis besar, mengajarkan
tentang kasih sayang, bersyukur, wilayah kehidupan manusia tidak saja didunia
tetapi juga sampai di akherat, perlunya petunjuk dalam kehidupan, dan kesadaran
sejarah. Manusia yang berkualitas atas dasar ukuran-ukuran kemanusiaan
seharusnya memiliki wawasan itu. Jika Rasulullah diutus ke bumi untuk melakukan
bimbingan dan penyempurnaan kehidupan umat manusia ke jalan yang benar, agar
mereka selamat di dunia dan akherat, Bukankah sesungguhnya dengan demikian
Muhammad adalah sebagai pendidik yang sempurna. Muhammad adalah seorang
pendidik dan pendidik yang tidak ada seorangpun yang menyamai kualitasnya.
Dalam bahasa sehari-hari, seorang guru juga disebut pendidik. Akan tetapi
sebutan guru lebih menonjol dari pada sebutan pendidik. Pendidik selalu
sekaligus sebagai guru, akan tetapi guru belum tentu sebagai pendidik. Ada guru
matematika, guru bahasa, guru biologi, guru kimia dan seterusnya. Akan tetapi
guru matematika, fisika, kimia, belum tentu melakukan peran-peran pendidik
kehidupan secara menyeluruh. Muhammad sebagai seorang ummi, tidak pintar
membaca dan menulis. Dia tidak sanggup menjadi guru membaca, akan tetapi dia
mampu menjadi pendidik secara sempurna. Dia mendorong umatnya untuk belajar
membaca dan bahkan mencari jalan keluar bagaimana cara membaca itu dengan
menugasi para tawanan perang mengajari membaca menulis sebagai syarat
dibebaskan sebagai tawanan perang. Dalam salah satu ayat Qur’an diterangkan
bahwa tugas Rasulullah Adalah
Ada empat tahap yang seharusnya dilakukan oleh seorang
sebagai pendidik, yaitu (1) Tilawah, membaca jagad raya ini dengan berbagai
tingkatannya. Membaca atau iqro’ sesungguhnya adalah awal kegiatan yang
seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Membaca merupakan proses awal dalam
rangka membuka dan memahami keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya nanti manusia
mampu menjalankan kehidupannya sesuai dengan Al Qur’an. Inilah proses tilawah
yang harus dilalui.(2) Tazkiyah, adalah mensucikan. Seorang anak terdidik harus
dijauhkan dari apa saja yang mengotori, baik jiwa maupun raganya. Peserta didik
harus bersih dan selalu dibersihkan. Apa yang dimakan harus bersih, baik, halal
dan berberkah. Demikian pula, jiwanya tidak boleh terkotori oleh semua penyakit
hati seperti kufur, iri hati, dengki, tamak, suka marah, dendam, permusuhan,
dan sebagainya. Semua itu diawali dari pribadi seorang pendidik. (3) Ta’lim,
pendidik memberikan pengajaran. Mengajarkan sesuatu yang dibutuhkan, mulai dari
memberi nama, istilah, konsep, proposisi, dalil-dalil tentang berbagai hal yang
dikuasai oleh seorang pendidik. Betapapun pendidik adalah bukan seorang Rasul
atau Nabi, pengetahuannya terbatas, maka mereka hanya akan mampu mengajar
tentang apa yang diketahui. Allah memberikan ilmu kepada manusia, termasuk para
guru hanya sedikit. Di sini terdapat keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi
bukanlah hal itu kemudian menjadikan seorang pendidik merasa lemah dan cukup,
akan tetapi merupakan sebuah kewajiban bagi setiap orang khususnya umat Islam
mencari dan menambah wawasan keilmuan dan cakrawala pengetahuan. Guru sebagai
pendidik wajib menyampaikan kepada anak didik apa yang telah dipelajari dan
diketahuinya. (4) Hikmah. Pendidik harus mengajarkan tentang hikmah. Dalam al
Qur’an terdapat kisah, yaitu tentang kehidupan Lukman al Hakim. Ia adalah
seorang yang menyandang hikmah. Ia mengajarkan tentang tauhid, berbuat baik
kepada kedua orang tua, dan juga sesama umat manusia. Hikmah bukan sekedar
ilmiah, tetapi lebih dari itu. Dengan hikmah, maka orang justru menjadi
selamat. Mendidik dalam al Qur’an ternyata meliputi aspek yang amat luas. Mendidik
bukan saja mencerdaskan, melainkan juga melembutkan hati dan menjadikan peserta
didik terampil. Mendidik akan membawa peserta didik tumbuh dengan penampilan,
baik lahir maupun batinnya, secara sempurna. Melalui pendidikan, maka peserta
didik menjadi sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang berketuhanan dan
berkemanusiaan sekaligus. Para peserta didik menjadi seorang yang beriman,
berakhlak mulia, beramal sholeh dan mampu menjalani hidup di tengah-tengah
masyarakatnya, baik yang terkait dengan ekonomi, politik, sosial, hukum dan
berbudaya. Pendidikan dalam al Qur’an ternyata berdimensi kemanusiaan yang
lebih luas, mendasar dan sempurna. Wa Allahu A’lamu Bi As-Showab.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Lentera Hati, 2005
Jalaludin
Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahly, Tafsir Al-Quranul Adzim, Daarul Ilmi, Juz I
Nor
Khoiri, Metode Pembelajaran PAI,
Ahmad
Mustofa Al Maroghi, Terjemah Tafsir Al Maraghi, CV. Toha Putra
Semarang, 1992.
Yunan
Yusuf, Metode Dakwah, Rahma Rosdakarya, 1991 lm 113 -116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar