PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pertumbuhannya, filsafat
sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam
pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula
berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh
pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang
berbeda pula.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat
pendidikan Islam, yaitu: (1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah
al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan
al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang
melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan
ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi
intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa
khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan
variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana aliran-aliran utama dalam filsafat pendidikan
Islam?
2.
Bagaimana perbedaan diantara ketiga aliran utama dalam
filsafat pendidikan?
3.
Siapa saja tokoh-tokoh yang ada dalam aliran filsafat
pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Refleksi Filosofis Tentang Pendidikan Islam
Dalam
sejarah islam, awal mula nama falsafah dipakai untuk julukan yang
diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya
mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang menolak falsafah
pada masa itu, khususnya dari para fuqaha’, muhaddithun dan para
ulama salaf lainnya. Hal itu tidak lain karena adanya
pertentangan konsep falsafah dengan pandangan Islam sendiri. Namun
setelah adanya proses – sebut saja – islamisasi, nama falsafah dipahami
sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan
dalam Islam.
Asal
usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsafah
dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.Bahkan, Ibn Taimiyah
yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsafah, tapi
dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang
dibawa oleh para Nabi. Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsafah
al-Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah.
Meskipun disisi lain ia tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan
Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya
penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama,
menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari
Yunani. Yang menurut Halter, bukti adanya filsafat identik dengan istilah hikmah
menunjukkan filsafat sudah ada dalam tradisi intelektual Islam. Alparslan
Acikegence menambahkan, konsep-konsep semisal dalam al-Qur’an tentang alam
semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lain-lainnya adalah
konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan
kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang
disebut hikmah.Dari sini sangat jelas bahwa dalam
Islam tradisi berpikir filosofis ada, dan kesan berbeda dengan tradisi filsafat
Yunnani.
Ini
diperkuat oleh C.A. Qadir.mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
menurutnya adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang
asli adalah al-Qur’an dan al-Hadits.Yunani hanya memberi dorongan dan membuka
jalan untuknya. Fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya
dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat
Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta misalnya, para pemikir
Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat
Yunani.
Polemik
anatara pandangan apakah filsafat dalam islam itu murni warisan yunani kuno
ataukah produk islam sendiri, memang jawabanya masih kontra fersi. Pandanagan-pandangan
yang paling umum dilontarkan Pertama, dari kalangan mayoritas orientalis
adalah, bahwa Filsafat Islam merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani kun; ‘It
is Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan
Adamson yang lebih suka menyebutnya sebagai filsafat berbahasa Arab
(Arabic Philosophy). Dibalik pandangan itu terselip rasisme intelektual
bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar
mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka.
Pendapat tersebut mungkin saja ada benarnya bila berpatok pada literatur
sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali
dimarginalkan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai
Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu, sebagai
jembatan peradaban (Kulturvermittler) dari Zaman Kegelapan ke Zaman
Pencerahan.
Pandangan
kedua menganggap, filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin
agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh
telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini
diwakili Rahib Maimonides, Yang menurutnya semua yang dilontarkan oleh orang
Islam dari golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai
masalah-masalah filsafat berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil
dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para
filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.
Dua
sudut pandang tersebut di atas menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.antara
lain oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic
biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum,
sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis
semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok
mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, menurut Nasr,
para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai
kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang, di
pusat-pusat keilmuan Dunia Islam.
Yang Ketiga
adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari
kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah
perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat
kebebasan dan tanggung-jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat,
Munculnya kelompok Khawarij, Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain yang
melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat
al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam.
Hingga pada abad-abad berikutnya berkembang pada seputar kedudukan
logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya
dengan kewujudan Tuhan serta ke-azali-an dan keabadian alam semesta.
Pandangan
revisionis ini diwakili, antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan
Alparslan Açıkgenç.Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti
dengan kematian Ibnu Rusyd.Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat
Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam
kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan
spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam merupakan
nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup
peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun
non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan,
berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak
zaman dahulu sampai sekarang ini. Leaman mencermati adanya cara pandang Islami
yang membingkai itu semua sehingga ia menambahkan, cakupan filsafat Islam itu
luas dan kaya.
Tanpa
menafikan adanya hubungan antara filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif mengibaratkan
pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain, sedangkan pemikiran Yunani sebagai
sulaman. Meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap
sulaman itu kain.Ini artinya, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, meskipun di dalam
filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat Islam bukanlah
filsafat Yunani.
Namun
Pendapat lain mengatakan, Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di
abad ke-2 dan ke-3 H. bersamaan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani.
Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak
memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi
(185-260 H). pendapat ini lebih dekat pandangannya ke yunanisme. Seolah-olah
filsafat itu muncul dalam islam karna melalui proses penerjemahan filsafat
yunani.
Namun
terlepas dari adanya perbedaan penjelasan mengenai filasafat islam itu murni
hasil karya yunani atau tidak, Menurut Peters, sejarah telah mencatat,
karya-karaya aristoteles telah berhasil dihimpun kedalam satu korpus madzhab
dan ditambah dengan teks-teks neoplatonik leh filosof islam semenjak abad ke-10
M. menurut pendapat ini, al-Farabi yang paling awal menjadi filosof muslim. Meskipun Pendapat Peters di bantah oleh Ahmad Hanafi,
menurutnya al-Kindi lah yang pertama kali menjuluki filsafat kedalam islam.diperkuat oleh Hasyimsyah Nasution, bahwa al-Kindi adalah
filosof muslim yang pertama meberikan istilah filsafat islam.
Perbedaan
pandangan pandangan mengenai sejarah pertama kali munculnya filsafat tidak hanya
terjadi pada letak historisnya, tetapi penamaannyapun masih diperslisihkan
eksistensinya.apakah filsafat itu Islam atau Arab. Ketika filsafat muncul dalam
kehidupan Islam, kemudian berkembang hingga banyak dibicarakan oleh orang-orang
Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan
lain-lain, kaum sejarawanpun banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan,
pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis menyebut mereka kaum filosof
Islam, ada pula yang menamakan bahwa mereka merupakan para filosof beragama
Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan Para Hikmah Islam (Falasifatul-Islam,
atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti
sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh
sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan bahwa para ahli filsafat telah
sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan
tidak boleh dikisrukan,
“Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat
itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu
Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan
berada di bawah pengayoman negara Islam”.
Courban, seorang orientalis Perancis ahli
tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah Filsafat Islam. Ia mengatakan :
“Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat
Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan keliru. Bagaimana kita bisa
menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan
para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad
ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika
sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan
kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke
pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan
pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu
istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam atau Filsafat
Islam atau Filsafat di Negeri-NegeriIslam , kalau penamaan yang terakhir
disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan
istilah, saya tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman)
pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan
pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala
hal-akhwal”.
Demikian
juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat
Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu
bangsa. Ia lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah
atau keyakinan semata-mata, melainkan juga peradaban dan sikap peradaban
mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat
Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik
penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.
Sebenarnya
perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun hidup
dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat), adalah di bawah naungan Islam, dan
kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan
Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab
semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan bahwa Islam telah
mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan
sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan
Filsafat Islam tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga
berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius
dan Jacobitas dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama
Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan
dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun
pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat
Islam, pengingat Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan.
Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam
tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang
problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah
memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan
dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami dalam buku-buku
filsafat, seperti an-Na>jat dan as-Syifa> dari Ibn Sina,
dalam buku al-Mila>l wan-Niha>l dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhba>r
al-Huku>ma dari al-Qafi dan Muqadimah Ibni Khaldun.
Dengan
demikian, filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan
oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya
bercorak Islam.Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.Filsafat
disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang
yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya
yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman saja.Hakekat Filsafat Islam ialah
akal dan al-Quran.Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akaldan al-Quran.Akal yang
memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga
menjadi ciri keislamannya.Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat
Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi akal
bekerja, akal tetap bekerja dengan otonomi penuh, Namun
tetap dilandasi Al-Qur’an.
Akal
dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika akal
dan al-Quran dipahami begitu, menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang
bersifat subordinatif dan reduktif.maka antara satu dengan lainnya menjadi
saling mengatas-bawahi, baik akal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran
mengatasi akal. Jika al-Quran mengatasi akal maka akal menjadi kehilangan peran
sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi
al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit
karena objeknya hanya al-Quran.
Oleh
karena itu, Filsafat Islam adalah akal dan al-Quran dalam hubungan yang
bersifat dialektis.Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Qur’anik.
Akal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu
adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. Akal sebagai subjek
berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan
moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh akal.Hubungan dialektika
antara akal dan al-Quran bersifat fungsional.
Secara
umum, Filsafat Islam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi
metodologinya. Filsafat mendasarkan diri pada metode burhani (kontekstual),
sementara teologi pada jadalli. Filsafat Islam berada pada semangat
inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan wahyu.Gabungan antara pemikiran
liberal dan kepercayaan religius.Secara ontologis filsafat Islam menyakini
adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik.
Secara epistemologis filsafat Islam menyakini akal, hati, indra dan teks suci
sebagai sumber pengetahuan yang valid
Jadi
jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani, baahwa Filsafat Islam adalah pembahasan
meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar
ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.
B.
Aliran-aliran Utama Filsafat Pendidikan Islam
1. Aliran
Konservatif (Al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah
al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami,
dan al-Qabisi.
Aliran
al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan
pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi:
Berdasarkan
pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syar’iyyah, yaitu semua
ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
a. Ilmu ushul (ilmu pokok).
Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b. Ilmu furu’ (cabang). Contoh:
fiqh dan akhlak.
c. Ilmu pengantar (mukaddimah).
Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d. Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghoiru syar’iyyah,
yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,
terdiri atas:
a.
Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b.
Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra,
sejarah, puisi.
c.
Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan
bagian-bagian tertentu dari filsafat.
Berdasarkan status
hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1. Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni
ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang
tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh
al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2. Ilmu yang fardlu kifayah,
yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain
tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung
dan perdagangan.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan
rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran
al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio
mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran
al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain
berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai
landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta
didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan
puncak kegiatan menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-‘ilm
hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan
menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan
al-Quran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu
diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan
Sharaf.
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a. Ilmu adalah ilmu al-hal,
yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b. Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan
adalah sia-sia.
c. Ilmu hanya bisa diperoleh melalui
rasio.
2. Aliran
Religius-Rasional (Al-Diniy Al-Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki
“pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan
intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang
sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses
pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar
menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar
yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu
(mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah
pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan
“psikomotorik”.
Ikhwan berpendapat bahwa akal
sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini
eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi
penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan
bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada
posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang
menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui
tiga cara, yaitu:
(1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah
dari substansi dirinya.
(2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya.
(3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Ikhwan tidak sependapat dengan ide
Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang.
Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah.
Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan,
segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi
tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi
kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada
“kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a. Ilmu-ilmu Syar’iyah
(keagamaan), yaitu:
1) Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2) Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3) Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian
informasi keagamaan)
4) Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5) Ilmu ceramah keagamaan, ilmu
kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b. Ilmu-ilmu Filsafat
1) Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2) Mantiqiyyat (retorika-logika)
3) Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4) Teologi (ketuhanan).
c. Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1) Ilmu kitabah-qira’at
(baca-tulis)
2) Ilmu Nahwu (bahasa dan
gramatika)
3) Ilmu hitung dan transaksi
4) Ilmu syi’ir dan prosa
5) Ilmu peramalan
6) Ilmu tenun dan sihir
7) Ilmu profesi
8) Ilmu jual-beli
9) Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah
Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi
potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a. Potensi al-ghadziyyah
(organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul
setelah manusia lahir.
b. Potensi perasa, yaitu bias
merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c. Merespons dan bereaksi.
d. Mempersepsi dan menghafal
stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e. Potensi mutakhayyilah
(imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan
aneka model.
f. Potensi muthlaqah (mengabstraksi),
yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan
berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar
operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi
organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional
ini antara lain:
a. Pengetahuan adalah muktasabah,
yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b. Modal utama ilmu adalah indera.
c. Lingkup kajian meliputi pengkajian
dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d. Ilmu pengetahuan adalah hal yang
begitu bernilai secara moral dan sosial.
e. Semua ragam ilmu pengetahuan adalah
penting.
3. Aliran
Pragmatis (Al-Dzara’iy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu
Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat
pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang
ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan
hal yang di luar jangkauan pancaindera.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan
dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya
kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi,
keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan
untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu
pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a. Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik.
Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b. Ilmu-ilmu yang bernilai
ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy,
dan logika bagi ilmu filsafat.
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat
dibagi menjadi dua yaitu:
a. Ilmu ‘aqliyah (intelektual)
yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq
(logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b. Ilmu naqliyah yaitu ilmu
yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu
Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir
manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada
dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia
belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan
sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari
kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom
pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan
bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan
yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan
pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat
dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan
pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis
insani.
Dari
pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis
antara lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak tahu,
namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b. Akal merupakan sumber otonom ilmu
pengetahuan.
c. Keseimbangan antara pengetahuan
duniawi dan ukhrawi.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Tiga aliran utama
filsafat pendidikan Islam yang telah dibahas di atas, memiliki
pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain. Aliran yang
pertama yaitu aliran Konservatif (al-Muhafidz). Mereka memaknai ilmu
dengan pengertian sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang bersifat
keagamaan.
Sangat berbeda dengan
aliran Konservatif ini, kalangan yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa,
menganggap sema disiplin ilmu adalah penting. Mereka lebih luwes dalam
merumuskan ilmu pengetahuan, dan indera adalah sumber utama ilmu pengetahuan.
Kelompok Ikhwan dan tokoh-tokoh yang sealiran dengannya digolongan ke dalam
aliran yang ke-dua yaitu aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy).
Aliran yang ke-tiga
yaitu aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy). Tokoh aliran ini adalah Ibnu
Khaldun. Menurutnya, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi,
keduanya harus memberikan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu
Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Ramayulis dkk. 2011. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Kalam Mulia
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu
Basri,
Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan
Islam. Bandung: Pustaka Setia
Nizar,
Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press
Ridla,
Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar