1. Apa yang disebut Khilafah..?
Jawab: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.
2. Apa yang menjadi substansi dari gagasan Khilafah tersebut?
Jawab: Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muammalat serta ‘uqubah. Kedua adalah bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam lebih dari 50 negara, di bawah naungan Khilafah Islamiyah dengan seorang Khalifah sebagai pemimpinnya.
3. Apakah Khilafah ada dalam al-Quran?
Jawab: Tentu. Khilafah berasal dari kata al-Khalfu (khalafa – yakhlufu) yang berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: Khalfun, khalifah, khilafah, khalaif, khulafa, dan ikhtilaf. Di dalamnya terkandung makna pengganti, generasi, pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang mengandung kata dan turunan Khilafah. Misal, al-Baqarah 11 kali, Ali Imran 7 kali, an-Nisa 3 kali, dan lain-lain
Kha–la–fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna:
- Generasi pengganti (al-A’raf: 169, Maryam: 59)
- Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir: 39)
- Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nuur: 55)
- Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah: 30, Shad: 26)
4. Bagaimana makna Khilafah menurut as-Sunnah?
Jawab: Ada hadist-hadist yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 shahabat, 39 tabi’in dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadist disebutkan khilafah atau imamah, pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul mukminin. Semuanya mengandung arti yang sama; yakni kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.
5. Pendapat ulama tentang Khilafah?
Jawab: Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya Khilafah, termasuk kalangan ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:
- Imam al-Juwaini, “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia” (al-Juwaini, Ghiyats al-Umam hal: 5)
- “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang rojih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada asy-Syari’ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shahib asy-Syari’, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia” (Ibn Khaldun, Muqaddimah hlm: 190)
- “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakan sholat jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat. menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama” (Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah hal: 88)
- “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-Fardh al-A’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya” (ar-Rais, al-Islam wa al-Khilafah hal: 99)
- “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) adalah fardlu dan adanya imam merupakan keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (al-Khawarij) – pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijma’ “(Imam al-Hafizh Muhamad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib al-Ijma’ hal: 1/124). Pernyataan Ibn Hazm di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, XIII/290
- “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardlu kifayah, sebagaimana peradilan” (Imam al-Hafidz abu Yahya Zakaria al-Anshori, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, II/268)
- Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (XXXIV/159); Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah (XV/102)
6. Tapi, bukankah Khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan?
Jawab: Memang ada hadist yang seakan-akan menunjukan hal itu. Misalnya hadist:
“Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Imam ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la dengan isnad hasan)
Namun sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan melainkan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Hal ini jelas bila dihubungkan dengan hadist:
“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa Khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutra, khamer dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebut; mereka juga mendapatkan rizki selama-lamanya, sampai menghadap kepada Allah SWT” (HR. Abu Ya’la dan al-Bazar dengan isnad hasan)
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud Khilafah pada hadist ini adalah Khilafah an-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. akan tetapi tetap mereka tetap dinamakan sebagai khalifah”. Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,
“Khilafah nubuwwah itu berumur 30 tahun”. (HR. abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud No.4646, 4647)
Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah Saw., dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Itulah Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Berikutnya, para penguasa yang kadang mengalami penyimpangan tapi tetap menjalankan syariat Islam dan diangkat memalui bai’at. Mereka tetap Khalifah. Dan kelak akan ada lagi Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah.
7. Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa Khilafah?
Jawab: Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, shalat, shaum, dan lain-lain bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya Khilafah. Tapi, bersatunya kaum mukmin, pembelaan terhadap umat Islam yang dibantai, mengambil lagi harta kekayaan yang dirampas negara penjajah, menyediakan kebutuhan pokok, menjamin kesehatan dan pendidikan warga, dan lain-lain, mutlak memerlukan Khilafah. Sebab, kalau bukan Khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa? Jadi, penerapan Islam kaffah mengharuskan adanya Khilafah.
8. Apa kerugian bila tidak ada Khilafah?
Jawab: Banyak sekali, di antaranya umat Islam kehilangan:
- Keridloan Allah SWT. Keridloan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti seluruh hukum dan aturan-NYA dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktekan oleh Nabi kita Muhammad Saw. Dengan kata lain menegakan Khilafah Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam negeri maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
- Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana dibai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap Muslim. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah”
Saya ingin anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum Muslim sejak runtuhnya Khilafah Utsmani tahun 1924 M/1342 H yang merupakan Khilafah terakhir. Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum Muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti bola salju. - Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
- Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepribadian Islam. Hal ini disebebkan oleh dominannya kebodohan dan buta huruf yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
- Hilangnya kekuatan dan jihad yang disebebkan kelemahan dan kekalahan.
- Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan.
- Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar dan disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
- Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan.
- Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
- Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
- Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
- Hilangnya sikap dan moral yang teruji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
- Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina, tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Spanyol dan Portugal), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir, dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsian dan pendeportasian.
- Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum Muslim dilarang shalat di Masjid al-Aqsha selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk mengatakannya kepada anda bahwa dua masjid lainnya pun ; yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
- Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum Muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika Barat dan ke 59 di Timor Timur.
Jawab: Tidak Benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari Islam, Khalifah diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata dapat diperangi.
10. Bagaimana kebijakan Khilafah tentang penyelesaian kemiskinan?
Jawab: Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolak ukur kesejahteraan rakyat sangatlah sederhana, misalnya, berapa banyak orang yang tidak punya rumah, pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dan lain-lain. Jadi, sandang, pangan dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang kelaparan sehingga rakyat makan aking dan gaplek. Pendidikan dan kesehatan pun gratis.
11. Bagaimana Khilafah memperlakukan warga negaranya yang non muslim?
Jawab: Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap warga dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang Muslim tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, menjaga makanan minuman halal, selalu menutup aurat dan berakhlak mulia. Sementara, bagi non muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, tapi mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Menyangkut masalah pakaian, makanan atau minuman dan ibadah, pendek kata semua yang berkenaan dengan keyakinan agama, mereka tidak wajib mengikuti syariat Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada paksaan.
Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan sebagainya –warga muslim maupun non muslim—semuanya wajib mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau larangan berzina, menjual makanan minuman haram, mencuri, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun non muslim. Termasuk misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil diwujudkan pendidikan bebas biaya, layanan kesehatan murah dan bermutu atau kegiatan bisnis yang kondusif serta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, serta infrastruktur transportasi, telekomunikasi, penerangan dan tata kota yang canggih, semua itu juga akan dinikmati oleh muslim maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam bagi sekalian alam yang dijanjikan itu akan terwujud.
12. Sejarah menunjukan bahwa ke-Khilafahan penuh dengan sejarah buruk?
Jawab: Perlu disadari, catatan sejarah buruk bukan hanya monopoli sejarah kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyyah. Penggalan sejarah buruk merupakan keniscayaan dalam sejarah manusia. Semua itu ada dan terjadi di semua sejarah bangsa dan umat manusia. Dalam sejarah nasionalisme dan nation-state sangat banyak sejarah buruk yang bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi dlm sejarah kaum Muslim. Demikian pula dalam sejarah Sosialisme-Komunisme; apalagi Kapitalisme. Meski di sisi lain tercapai kemajuan sains dan teknologi, keburukan malah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kedua idiologi itu & terjadi secara terus-menerus. Jika terhadap sistem Khilafah Islamiyyah, catatan buruk dlm sejarahnya dijadikan dalih untuk menjelekkan dan menghina serta menolak sistem Khilafah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap demokrasi kapitalisme, dan sebagainya; padahal di dalam sejarahnya banyak terdapat catatan yang jauh lebih buruk? Kemiskinan dan kelaparan di Dunia Ketiga, kesenjangan ekonomi antara negar-negara maju dengan negara dunia ketiga, konflik & perang antara bangsa yang terus menerus, dan terutama penjajahan negara-negara kapitalis besar seperti AS dan sekutunya atas negara lain, khususnya negeri-negeri Islam justru terjadi & tidak pernah berhenti hingga detik ini ketika idiologi kapitalisme dan demokrasi mendominasi dunia.
Jika semata karena adanya catatan buruk dlm sejarah lantas sistemnya ditolak, bahkan dihina, maka seluruh sistem yang ada dan pernah dikenal harus ditolak pula. Jelas, hal demikian tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karenanya, menjadikan catatan buruk sejarah Khilafah untuk menolak sistem Khilafah jelas tidak pada tempatnya dan hanya dalih yang dicari-cari.
Sejarah Khilafah adalah catatan ttg penerapan dari konsepsi sistem Khilafah. Konsepsi ttg Khilafah sendiri merup pemikiran dan hukum ttg sistem Khilafah yang digali dari dalil2 syariah. Jadi, sangat jelas bahwa sejarah bukanlah konsepsi sistem Khilafah itu sendiri. Sejarah itu hanyalah obyek pemikiran, yaitu obyek yang hendak dinilai berdasarkan sumber pemikiran atau dalilnya. Dengan menganalisis sejarah khilafah dan membandingkannya dengan konsepsi Khilafah, mk akan bisa disimpulkan bahwa sejarah itu merup pelaksanaan atau sebaliknya; penyimpangan dari konsep Khilafah. Pelaksanaannya pun masih bisa dinilai apakah sebagai pelaksanaan yang baik dan ideal dari konsepsinya; atau sebaliknya. Sejarah buruk itu merup penyimpangan atau pelaksaan buruk dari sistem Khilafah Islamiyyah. Itu hanya sebagian dari sejarah Khilafah. Karena itu, menolak sistem Khilafah dengan alasan penggalan sejarah buruk yang pernah terjadi berarti telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya; yaitu menempatkan obyek menjadi sumber pemikiran atau dalil. Jelas ini sikap seorang pengecut atau sikap yang tidak fair.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (TQS Yunus [12]: 111)
Ayat ini memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari perjalanan umat-umat terdahulu. Mengambil pelajaran dari perjalanan kaum Muslim tentu lebih utama. Karena itu, membincangkan atau memperdebatkan sejarah buruk itu semata merup sikap yang tidak produktif. Sikap yang seharusnya sesuai dengan ayat di atas adl mengambil pelajaran darinya. Hal itu bisa dilakukan dengan mendalami dan menganalisis peristiwanya, kemudian menilainya dan mendudukkan perkaranya sesuai dengan ketentuan syariah, selanjutnya mencegah agar kesalahan serupa tidak terulang lagi ketika Khilafah Islamiyyah berdiri kembali.
Juga, banyak di sisi lain khilafah yang justru gemilang.
Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang kekhilafahan utsmani dengan: “Imperium Utsmani, lebih dari sekedar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar” (Lihat juga pendapat senada dari William Durant)
13. Bagaimana Khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation state?
Jawab: Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak pernah akur, dapat disatukan oleh Nabi dan para Khalifah sesudahnya.
Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non Arab; begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan dipimpin oleh siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap dipimpin oleh orang dari Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa apapun dan memimpin bangsa apapun.
Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia islam pun dalam kenyataannya ‘menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar akan kebersatuan dunia itu atau Islam dengan kekhilafahannya.
Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Muskmin bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah belah. Bukankah Tuhan kita sama: Allah SWT; kitabnya sama: al-Quran; Rasulnya sama: Muhammad Saw; kiblatnya sama: Baitullah? Semua itu merupakan kekuatan ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati batas-batas nasinalisme. Bila dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka.
14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-beda?
Jawab: Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa itu juga memiliki national interest masing-masing? Kenapa kemudian mereka bisa mudah melebur dalam Uni Eropa? Sekarang mereka terus bergerak. Di bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara; mungkin sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya. Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu? Umat Islam lebih punya dasar teologis dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.
15. Bagaimana menyatukan keragaman?
Jawab: Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-Sunnah, termasuk pada masa Easulullah Saw dan para shahabat, menunjukan kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. Keragaman budaya, adat, etnis dan lain-lain dipandang sebagai alami agar manusia saling mengenal (lihat quran surat al-Hujurat: 13). Bahkan, tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama2 yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi non Muslim untuk berpindah menganut Islam (lihat quran surat al-Baqarah: 256). Beraneka madzhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan madzhab, sekalipun yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yang disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakpandakan tatanan masyarakat. Jadi, keragaman, bukanlah merupakan kesulitan dalam penegakan Khilafah.
16. Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik?
Jawab: Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang yang memenuhi syarat in’iqad, boleh menjadi Khalifah; tanpa membedakan etnis dan mazhab. Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat keutamaan (afdloliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, maka sejatinya umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.
Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik langsung maupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal aqdi). Dengan merujuk jejak pada Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut. Di daerah di lakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (wakil umat di daerah) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih adalah bukan gambar partai atau organisasi; melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang di antara mereka untuk menjadi MU. Jadi, MU pun merasakan representasi umat secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-partai politik dan organisasi. Tidak perli izin, cukup pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasar oraganisasi adalah Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.
17. Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah?
Jawab: Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah akan berupaya untuk mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah (militer dan lain-lain), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk menjadi Khalifah, maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di datang rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri kaum Muslimin harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakan umat bersatu dalam Khilafah. Perlu gerakan TRANSNASIONAL.
Pada awalnya gerakan Khilafah Islmiyyah tetaplah merupakan sebuah unit negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan pengaruhnya itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan penyatuan negara mereka ke dalam Khilafah. Misalnya, khilafah berdiri tegak di Mesir, maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah disekitarnya, entah itu Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, atau bahkan wilayah yang lebih jauh seperti Palestina, Syiria, Yordanisa, Irak, Iran, dan lain-lain.
18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang?
Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam di Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan diusir. Setelah berhasil menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih besar. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” (lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu, sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di antara kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yogaslavia, atau membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad samapi Tunisia.
19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?
Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana? Inti dari Khilafah itu adalah syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan Sekulerisme yang telah memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan tuntutan fitrah manusia. Sekedar menambahkan referensi tentang keterkaitan Indonesia dengan Khilafah, bisa dibaca di sini.
20. Bagaimana dengan Pancasila?
Jawab: Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik kesana-kemari; tergantung penguasanya. Lihatlah perjalan negeri kita dari Orde Lama hingga Orde Reformasi. Dalam realitasnya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, penjajahan, dan lain-lain, Pancasila tidaklah memadai. Tidak operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah syariat dan sistem Khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan Khilafah merupakan solusi yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari krisis multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat dan Khilafah yang diperintahkan al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa?
21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI?
Jawab: Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka negeri kita; justru yang mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.
Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern pada usaha menjaga NKRI? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25 tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah dan Khilafah-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing! Bahkan kalangan militer sampai melihat para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih nasionalis’ dari organisasi dan partai-partai nasional… Salah seorang pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata kepada Perwira Mabes AD yang mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin memelihara keutuhan wilayah NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih besar daripada yang ada sekarang ini! Dengan sistem Pemerintahan syariah, yakni Khilafah Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.
22. Tapi, ‘kan ide Khilafah meniscayakan adanya perubahan NKRI?
Jawab: NKRI mana yang tidak boleh dirubah..? Dari segi sistemnya, UUD 1945, saat diproklamasikan, masih memuat pembukaan yang menyebut, “dengan menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu pada 18 Agustus tujuh kata tersebut dicoret. Kemudian muncul UUD RIS. Lalu lahir UUD 1950, yang bersifat demokrasi parlementer. Setelah itu, kembali lagi pada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 1959 sebagai tanda dimulanya era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya muncul Orde Baru yang membawa Demokrasi Pancasila. Orde Demokrasi Pancasila itupun tumbang dengan lahirnya Orde Reformasi. Selanjutnya, muncul era demokratisasi pasca reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD 1945 secara besar-besaran sehingga dominasi neolibnya sangat menyengat.
Sayangnya, meski sudah bongkar pasang, hasilnya nihil! Yang terjadi justru krisis multidimensi yang semakin menjadikan kedaulatan negeri ini berada di bawah telapak kaki kaum Neolib. Nah, dalam situasi seperti ini, tawaran konsep Khilafah sebagai suatu sistem syariah dalam sektor pemerintahan mestinya dianggap sebagai wacana pencerahan yang bisa diuji kebenaran dan kemampuan problem solving-nya secara konseptual!
Itu dari segi sistem. Dari segi teritorial, faktanya, Timtim lepas dari NKRI dengan ‘restu’ PBB pasca jajak pendapat tahun 1999.
Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem?
23. Adakah kaitan antara Khilafah dengan demokrasi?
Jawab: Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang paling tinggi itu ada di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam al-Quran tertulis: “Innama kaan kaula al-Mu’minina idza du’u ilallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum ayyakulu sami’na wa atho’na” (Kami mendengar dan kami taat). Itu menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk; sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.
Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana limu’minin wa la mu’minatin idza qodlo allahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyaratu min amrihim. Jadi, kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. Ini menunjukan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-NYA. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekedar option, bukan obligation. Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi.
24. Mungkinkah Khilafah dapat ditegakkan melalui proses demokrasi..?
Jawab: Tergantung. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat, maka tidak mungkin khilafah dapat tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila yang dipegang adalah kekuasaan ada di tangan rakyat baik langsung maupun tidak langsung, maka sangat mungkin. Asal rakyat mau dan didukung oleh pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat mungkin terjadi.
25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah; Ishlah atau Taghyir?
Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilih menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islam.
26. kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah?
Jawab: Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah Rasulullah Saw, yaitu:
- Dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhsiyyah islamiyyah, melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu.
- Pembinaan umat (tatsqif jama’i) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-Wa’yu al-Amy) tentang Islam.
- Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi al-Hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-Quwwatu as-Siyasiya)
- Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik Islam (al-Wa’yu al-Siyasi al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya penyadaran politik islami masyarakat secara terus menerus yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud.
- Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam.
- Di dukung oleh ahlu quwwah (semisal polisi, militer, politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang melalui pendekatan intensif, setuju mendukung perjuangan syariah dan khilafah. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
- Rakyat menuntut tegaknya sistem syariah dan kekuasaan Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah Islamiyyah.
Oleh : Ibnu Taqiyuddin Al-Bassam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar