Aam Amiruddin
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al-Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku-lah beserta orang-orang yang ruku.”
***
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).”
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus dan penerang kegelapan mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan. Namun demikian, datangnya Al-Quran menimbulkan reaksi beragam. Di antara mereka ada yang beriman, ada yang kafir, dan ada pula yang munafik. Allah pun kemudian menguatkan kebenaran Al-Quran dengan menunjukkan bukti-bukti kemukjizatan yang ada di dalam kitab suci-Nya tersebut. Allah mematahkan hujah kafir atas penentangannya atas kebenaran Al-Quran dengan mempertanyakan hakekat hidup dan mati yang Allah ciptakan. Kemudian Allah menyebutkan penciptaan langit, bumi, dan manusia sebagai makhluk istimewa sebagai bukti kemahakuasaan-Nya.
Selanjutnya, Allah memberikan sebuah gambaran kisah umat terdahulu yang salah dalam menyikapi wahyu dan segala nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga hidup mereka terkatung-katung dan terombang-ambing dalam keangkuhan dan kesombongan. Semua itu (keangkuhan dan kesombongan) tidak lebih dari tipu daya setan yang pada akhirnya berujung pada siksaan-Nya yang penuh kepedihan tiada batas. Ya, begitulah kisah Bani Israil.
Menurut ahli, kata israil adalah gelar atau sebutan bagi Nabi Yaqub a.s. Sebagian ahli mengartikannya sebagai hamba Allah yang taat atau hamba yang suci bersih. Bani Israil sendiri merupakan keturunan atau anak cucu Nabi Yaqub. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Yaqub memiliki 12 orang anak dan satu di antaranya diangkat oleh Allah menjadi nabi, yaitu Nabi Yusuf a.s. Salah satu kakak Nabi Yusuf yang bernama Yahuda yang memiliki keturunan paling banyak sehingga membuat seluruh keturunan Nabi Yakub yang lainnya melebur dan mengambil nama Yahuda sebagai sandaran bagi kelompok keturunan tersebut. Di kemudian hari, keturunan Yahuda tersebut dikenal dengan sebutan Bani Israil atau kaum Yahudi.
Atas kehendak Allah Swt., mayoritas nabi terlahir dari keturunan Bani Israil. Karena itulah Allah Swt. berfirman dengan menyebut Bani Israil agar umat Islam mengingat sederet nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Salah satu nikmat yang sudah seharusnya mereka syukuri tersebut adalah dijadikan-Nya banyak keturunan bani Israil sebagai nabi. Hal ini seyogianya dapat memperkuat iman dalam hati mereka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kenikmatan teristimewa tersebut malah dijadikan hujah dalam memperkuat penolakan dan pembangkangan kepada para nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw. Nama besar sebagai keturunan para nabi tidak menjadikan mereka semakin yakin akan ajaran yang dibawa oleh nabi berikutnya. Sungguh sebuah fanatisme buta yang berbalut kesombongan telah mampu menutupi kejernihan mata hati kebenaran.
Tidak hanya konsekuensi kenikmatan saja yang Allah pertanyakan kepada Bani Israil, namun juga janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebagai suatu komitmen atas nama kebesaran bani Israil. Ya, Bani Israil telah dengan sengaja dan angkuh melanggar janji-janji tersebut tanpa merasa salah dan takut akan siksa-Nya. Imam Al-Maraghy membagi janji-janji Bani Israil tersebut menjadi dua macam, yaitu janji nadhary dan janji diniy (agama). Janji nadhary adalah pernyataan segenap manusia semenjak mereka berada di alam ruh dalam masa penciptaannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 172)
Jika dalam ayat ke-40 surat Al-Baqarah tersebut di atas Allah menyebut janji bani Israil secara global, maka dalam ayat berikutnya Allah merinci janji tersebut dan meminta komitmen atas janji tersebut.
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al-Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”
Perintah dan larangan yang disampaikan Allah kepada Bani Israil dalam ayat ini bisa dimaknai sebagai tagih janji yang telah mereka ikrarkan. Janji mereka yang pertama dan utama adalah kesediaan untuk mengimani ajaran atau wahyu yang dibawa oleh nabi terakhir, yaitu Al-Quran yang isinya memuat pembenaran terhadap wahyu-wahyu yang turun sebelumnya seperti Taurat dan Injil. Alih-alih menjadi pelopor dalam mengimani kenabian Muhammad Saw., bani israil menjadi penggiat dalam menentang ajaran yang dibawa oleh Rasul. karena itu, Allah meminta komitmen mereka untuk segera beriman dan tidak menjadi pelopor pembangkangan serta penolakan terhadap Al-Quran. Lebih dari itu, mereka pun berani menukar nilai yang terkandung adalam ayat-ayat Al-Quran dengan keuntungan semu yaitu rasa gengsi dan egoisme.
Memang, ayat ini ditujukan secara khusus kepada bani Israil. Namun demikian, secara umum ayat ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada kaum muslim. Jadikanlah perilaku bani Israil sebagai cerminan agar kita senantiasa waspada dan menjaga nilai-nilai ketakwaan dalam diri kita. Takwa yang dimaksud tiada lain adalah keimanan, mengikuti Al-Haq, berpaling dari fatamorgana dunia yang menipu, dan menyeimbangkan kehidupan dunia dengan menyibukkaan diri dalam aktifitas ukharawi.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah mencampuradukkan yang hak dan yang bathil serta kebenaraan dan kedustaan. Sementara itu, Qatadah mengartikannya dengan mengatakan, “Janganlah mencapur aduk antara Islam dengan Yahudiyah dan Nasraniyyah. Islam adalah satu-satunya agama Allah yang sesungguhnya. Agama Yahudi dan Nasrani, keduanya telah banyak dihinggapi kebidahan yang menodai kemurniannya.”
Larangan yang ditujukan kepada Bani Israil untuk tidak mencampuradukkan hak dan bathil ditujukan sebagai larangan taghyir (merubah) seperti yang telah dilakukan sejumlah pendeta dan tokoh lainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 13)
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya, Al-Haq yang disebut kedua kalinya dalam ayat ke-42 ini diartikan sebagai Nabi Muhammad. Larangan menyembunyikan Al-Haq berarti larangan terhadap mereka untuk berpura-pura tidak tahu atau menyembunyikan pengetahuan tentang Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dari keturunan Ismail yang akan membangun umat yang besar di kemudian hari yang sebenarnya telah dicantumkan dalam kitab suci mereka.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.”
Keimanan dan ketaatan tidak melulu perbuatan hati. Keimanan juga memerlukan implementasi dalam bentuk kerja fisik. Simbol-simbol gerakan dalam shalat menunjukkan kebutuhan akan kehadiran Sang Khaliq yang sekaligus menjadi pertanda lemah dan tidak berdayanya kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Perintah shalat senantiasa memakai kalimat “Aqimu…”. Al-Maraghy memberi penjelasan makna kalimat itu sebagai berikut, “Menghadap Allah dengan hati yang khusuk dan keikhlasan dalam berdoa.” Begitulah ruh shalat secara esensial. Secara kaifiyat syar’iyyah, shalat bisa saja berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman kenabian.
Demikian halnya dengan perintah zakat yang dalam Al-Quran senantiasa bergandengan dengan shalat. Hal ini seolah menunjukkan bahwa keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Secara tegas, Al-Quran menyatakan, “Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.’” (Q.S. Fushshilat [41]: 6-7)
Secara bahasa, zakat artinya suci dan berkembang. Dari aspek kebahasaan tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk memahami substansi zakat. Suci karena zakat berfungsi mensucikan harta dengan melepaskan hak-hak orang lain yang terkandung di dalamnya. Berkembang karena zakat memberi potensi menyuburkan harta dalam tinjauan nilai-nilai ruhiyyah.
Mengiringi perintah shalat dan zakat, Allah memerintahkan agar ruku bersama-sama dengan orang-orang yang ruku. Sebagian ahli tafsir mengartikannya sebagai berjamaah dan sebagian yang lain mengartikannya sebagai tunduk pada perintah-perintah Allah bersama orang-orang yang tunduk. Wallahu a’lam.
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al-Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku-lah beserta orang-orang yang ruku.”
***
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).”
Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus dan penerang kegelapan mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan. Namun demikian, datangnya Al-Quran menimbulkan reaksi beragam. Di antara mereka ada yang beriman, ada yang kafir, dan ada pula yang munafik. Allah pun kemudian menguatkan kebenaran Al-Quran dengan menunjukkan bukti-bukti kemukjizatan yang ada di dalam kitab suci-Nya tersebut. Allah mematahkan hujah kafir atas penentangannya atas kebenaran Al-Quran dengan mempertanyakan hakekat hidup dan mati yang Allah ciptakan. Kemudian Allah menyebutkan penciptaan langit, bumi, dan manusia sebagai makhluk istimewa sebagai bukti kemahakuasaan-Nya.
Selanjutnya, Allah memberikan sebuah gambaran kisah umat terdahulu yang salah dalam menyikapi wahyu dan segala nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga hidup mereka terkatung-katung dan terombang-ambing dalam keangkuhan dan kesombongan. Semua itu (keangkuhan dan kesombongan) tidak lebih dari tipu daya setan yang pada akhirnya berujung pada siksaan-Nya yang penuh kepedihan tiada batas. Ya, begitulah kisah Bani Israil.
Menurut ahli, kata israil adalah gelar atau sebutan bagi Nabi Yaqub a.s. Sebagian ahli mengartikannya sebagai hamba Allah yang taat atau hamba yang suci bersih. Bani Israil sendiri merupakan keturunan atau anak cucu Nabi Yaqub. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Yaqub memiliki 12 orang anak dan satu di antaranya diangkat oleh Allah menjadi nabi, yaitu Nabi Yusuf a.s. Salah satu kakak Nabi Yusuf yang bernama Yahuda yang memiliki keturunan paling banyak sehingga membuat seluruh keturunan Nabi Yakub yang lainnya melebur dan mengambil nama Yahuda sebagai sandaran bagi kelompok keturunan tersebut. Di kemudian hari, keturunan Yahuda tersebut dikenal dengan sebutan Bani Israil atau kaum Yahudi.
Atas kehendak Allah Swt., mayoritas nabi terlahir dari keturunan Bani Israil. Karena itulah Allah Swt. berfirman dengan menyebut Bani Israil agar umat Islam mengingat sederet nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Salah satu nikmat yang sudah seharusnya mereka syukuri tersebut adalah dijadikan-Nya banyak keturunan bani Israil sebagai nabi. Hal ini seyogianya dapat memperkuat iman dalam hati mereka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kenikmatan teristimewa tersebut malah dijadikan hujah dalam memperkuat penolakan dan pembangkangan kepada para nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw. Nama besar sebagai keturunan para nabi tidak menjadikan mereka semakin yakin akan ajaran yang dibawa oleh nabi berikutnya. Sungguh sebuah fanatisme buta yang berbalut kesombongan telah mampu menutupi kejernihan mata hati kebenaran.
Tidak hanya konsekuensi kenikmatan saja yang Allah pertanyakan kepada Bani Israil, namun juga janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebagai suatu komitmen atas nama kebesaran bani Israil. Ya, Bani Israil telah dengan sengaja dan angkuh melanggar janji-janji tersebut tanpa merasa salah dan takut akan siksa-Nya. Imam Al-Maraghy membagi janji-janji Bani Israil tersebut menjadi dua macam, yaitu janji nadhary dan janji diniy (agama). Janji nadhary adalah pernyataan segenap manusia semenjak mereka berada di alam ruh dalam masa penciptaannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 172)
Jika dalam ayat ke-40 surat Al-Baqarah tersebut di atas Allah menyebut janji bani Israil secara global, maka dalam ayat berikutnya Allah merinci janji tersebut dan meminta komitmen atas janji tersebut.
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al-Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”
Perintah dan larangan yang disampaikan Allah kepada Bani Israil dalam ayat ini bisa dimaknai sebagai tagih janji yang telah mereka ikrarkan. Janji mereka yang pertama dan utama adalah kesediaan untuk mengimani ajaran atau wahyu yang dibawa oleh nabi terakhir, yaitu Al-Quran yang isinya memuat pembenaran terhadap wahyu-wahyu yang turun sebelumnya seperti Taurat dan Injil. Alih-alih menjadi pelopor dalam mengimani kenabian Muhammad Saw., bani israil menjadi penggiat dalam menentang ajaran yang dibawa oleh Rasul. karena itu, Allah meminta komitmen mereka untuk segera beriman dan tidak menjadi pelopor pembangkangan serta penolakan terhadap Al-Quran. Lebih dari itu, mereka pun berani menukar nilai yang terkandung adalam ayat-ayat Al-Quran dengan keuntungan semu yaitu rasa gengsi dan egoisme.
Memang, ayat ini ditujukan secara khusus kepada bani Israil. Namun demikian, secara umum ayat ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada kaum muslim. Jadikanlah perilaku bani Israil sebagai cerminan agar kita senantiasa waspada dan menjaga nilai-nilai ketakwaan dalam diri kita. Takwa yang dimaksud tiada lain adalah keimanan, mengikuti Al-Haq, berpaling dari fatamorgana dunia yang menipu, dan menyeimbangkan kehidupan dunia dengan menyibukkaan diri dalam aktifitas ukharawi.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah mencampuradukkan yang hak dan yang bathil serta kebenaraan dan kedustaan. Sementara itu, Qatadah mengartikannya dengan mengatakan, “Janganlah mencapur aduk antara Islam dengan Yahudiyah dan Nasraniyyah. Islam adalah satu-satunya agama Allah yang sesungguhnya. Agama Yahudi dan Nasrani, keduanya telah banyak dihinggapi kebidahan yang menodai kemurniannya.”
Larangan yang ditujukan kepada Bani Israil untuk tidak mencampuradukkan hak dan bathil ditujukan sebagai larangan taghyir (merubah) seperti yang telah dilakukan sejumlah pendeta dan tokoh lainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut. “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 13)
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya, Al-Haq yang disebut kedua kalinya dalam ayat ke-42 ini diartikan sebagai Nabi Muhammad. Larangan menyembunyikan Al-Haq berarti larangan terhadap mereka untuk berpura-pura tidak tahu atau menyembunyikan pengetahuan tentang Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dari keturunan Ismail yang akan membangun umat yang besar di kemudian hari yang sebenarnya telah dicantumkan dalam kitab suci mereka.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.”
Keimanan dan ketaatan tidak melulu perbuatan hati. Keimanan juga memerlukan implementasi dalam bentuk kerja fisik. Simbol-simbol gerakan dalam shalat menunjukkan kebutuhan akan kehadiran Sang Khaliq yang sekaligus menjadi pertanda lemah dan tidak berdayanya kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Perintah shalat senantiasa memakai kalimat “Aqimu…”. Al-Maraghy memberi penjelasan makna kalimat itu sebagai berikut, “Menghadap Allah dengan hati yang khusuk dan keikhlasan dalam berdoa.” Begitulah ruh shalat secara esensial. Secara kaifiyat syar’iyyah, shalat bisa saja berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman kenabian.
Demikian halnya dengan perintah zakat yang dalam Al-Quran senantiasa bergandengan dengan shalat. Hal ini seolah menunjukkan bahwa keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Secara tegas, Al-Quran menyatakan, “Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.’” (Q.S. Fushshilat [41]: 6-7)
Secara bahasa, zakat artinya suci dan berkembang. Dari aspek kebahasaan tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk memahami substansi zakat. Suci karena zakat berfungsi mensucikan harta dengan melepaskan hak-hak orang lain yang terkandung di dalamnya. Berkembang karena zakat memberi potensi menyuburkan harta dalam tinjauan nilai-nilai ruhiyyah.
Mengiringi perintah shalat dan zakat, Allah memerintahkan agar ruku bersama-sama dengan orang-orang yang ruku. Sebagian ahli tafsir mengartikannya sebagai berjamaah dan sebagian yang lain mengartikannya sebagai tunduk pada perintah-perintah Allah bersama orang-orang yang tunduk. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar