Dr. Aam Amiruddin
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
***
"Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”
Ayat ini merupakan peringatan kedua bagi Bani Israil terkait sederet nikmat yang telah dilimpahkan Allah pada mereka. Sebelumnya (pada ayat ke-40 surat Al-Baqarah), Allah mengingatkan agar mereka memenuhi janji-janji yang telah diucapkan. Peringatan berulang ini menunjukkan betapa buruknya sifat yang melekat kuat dalam diri Bani Israil. Sifat buruk tersebut adalah kelalaian akan kewajiban bersyukur atas nikmat yang mengalir deras kepada mereka.
Kenikmatan pertama adalah diberikannya keutamaan kepada Bani Israil di antara bangsa-bangsa lainnya di dunia saat itu. Para ahli tafsir memberi penjelasan beragam mengenai keutamaan yang diberikan kepada Bani Israil tersebut. Abu Qatadah memberi pengertian bahwa keutamaan yang dimaksud adalah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (Bani Israil) dalam bidang keilmuan yang notabene menonjol bila dibandingkan dengan ilmuwan-ilmuwan lain di luar Bani Israil. Abu ‘Aliyah menjelaskan ayat ini dengan mengatakan bahwasannya Bani Israil diberi kelebihan dengan turunnya sejumlah nabi, kitab, dan raja yang berasal dari keturunan mereka. Ibnu Zaid menafsirkan keutamaan ayat tersebut dengan mengatakan bahwasannya Bani Israil memiliki kekuatan ilmu dibandingkan kaum yang lainnya sambil membacakan ayat berikut.
“Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa.” (Q.S. Ad-Dukhaan [44]: 32)
Ibnu Zaid kemudian menambahkan bahwasannya keutamaan ilmu Bani Israil hanya berlaku selama mereka mengikuti ajaran Rasul yang diturunkan kepada mereka. Karena membangkang, meski memiliki kecerdasan luar biasa, Bani Israil tidak dapat dikatakan memiliki keutamaan dalam bidang keilmuan dan bahkan dalam Al-Quran mereka divonis tak lebih dari seekor kera yang hina.
Al-Maraghi mengomentari ayat ke-47 surat Al-Baqarah tersebut di atas dengan mengatakan bahwasannya kelebihan itu lebih bersifat kolektif dan bukan masing-masing personal Bani Israil. Al-Maraghi menambahkan bahwa keutamaan itu hanya berlaku untuk Bani Israil sebelum datangnya Islam. Dengan datangnya Nabi Muhammad Saw., predikat keutamaan suatu bangsa beralih kepada umat Rasulullah Saw. sesuai dengan firman-Nya berikut ini.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110 )
Apapun namanya, ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Keutamaan yang diberikan kepada kita sebagai umat akhir zaman tidak kalah banyaknya dengan keutamaan yang diberikan kepada Bani Israil. Jika tidak menjaga diri dari sikap dan perilaku seperti Bani Israil, apa bedanya kita dengan mereka? Apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah?
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”(Q.S. Ibrahim [14]: 7)
Sudah saatnya kita menyadari betul bahwa keutamaan suatu kaum adalah pemberian Allah Swt. semata. Kehadirannya adalah wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Nikmat itu ada yang bersifat personal dan ada pula yang bersifat kolektif. Secara personal (kalau kita coba hitung nikmat yang diterima), kita tidak akan pernah mampu menghitungnya dengan alat secanggih apapun. Apalagi kalau kita mencoba melihat dan menghitung nikmat tersebut secara kolektif. Kita hidup di negara tercinta yang aman, damai, dan subur. Itu merupakan nikmat kolektif yang amat besar yang kita terima saat ini.
Kita patut mensyukuri setiap nikmat yang diterima karena kelak kita akan mempertanggungjawbakannya di hadapan Allah. Karena itu, pada ayat berikutnya Allah mengingatkan kita agar senantiasa takut terhadap hari pembalasan. Pada hari itu, setiap orang akan mempertanggungjawakan perbuatannya masing-masing tanpa sedikitpun ada campur tangan orang lain.
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
Mari kita sadari bahwa setiap detik di sepanjang hidup di dunia tidak dapat lepas dari curahan nikmat yang diberikan Allah Swt. Dari setiap nikmat per detik itu, suatu hari Allah akan mempertanyakannya dari yang terkecil sampai yang terbesar. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang diberi kesempatan (barang sedikit) untuk mempengaruhi kebijakan-Nya dalam menetapkan sesuatu. Itulah hari akhir yang merupakan hari perhitungan dan hari pembalasan bagi segenap manusia dan jin dengan sistem hukum dan peradilan yang seadil-adilnya. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman.
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. Al-Najm [53]: 38-39)
Berdasarkan ayat ke-48 surat Al-Baqarah di atas, sekurang-kurangnya ada empat gambaran umum kondisi hari akhir. Pertama, setiap manusia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk melakukan pembelaan satu sama lain meskipun di dunia sempat terjadi hubungan yang sangat erat secara kekerabatan, jawatan, persahabatan, dan lain sebagainya. Pada hari itu, setiap orangtua lari dari anaknya (dan begitu pula sebaliknya), suami lari dari istrinya (dan begitu pula sebaliknya), kakak lari dari adiknya (dan begitu pula sebaliknya), dan demikian seterusnya. Allah Swt. berfirman.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 34-37)
Kedua, tidak berlaku syafaat dari siapa pun sehingga tidak ada kebijakan yang diberikan pada seorang hamba yang keluar dari ketentuan (yang seharusnya). Pada hari itu, mustahil ada tindakan seseorang (dengan alasan apa pun) yang dapat menjadi jaminan hukum. Perlu diketahui bahwa proses syafaat hanya berlaku sebelum hari akhir, itupun ketentuan diterima dan tidaknya tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Swt. Ketika hari akhir tiba, syafaat hanya berupa keputusan akhir atas izin Allah. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman.
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat. Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” (Q.S. Al-Muddatsir [74]: 48-49)
Peristilahan syafaat seringkali diartikan sebagai doa atau permohonan untuk menolong seseorang kelak di akhirat agar diringankan atau dihapuskan dari beban dosa yang dipikulnya. Dengan demikian, syafaat dalam hal ini berfungsi sebagai upaya pengurangan atau penghentian status hukum seseorang karena adanya permohonan dari orang lain. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa keputusan Allah bisa dipengaruhi tindakan makhluk-Nya karena syafaat berlaku justru atas izin-Nya.
Perkara syafaat ini cukup hangat diperbincangkan di kalangan ulama. Sebagian tidak menerima atau meniadakan perkara syafaat ini dengan merujuk pada beberapa ayat yang menafikkan syafaat. Sebagian yang lain tetap menerima dan meyakini adanya syafaat kelak di hari kiamat dalam batasan tertentu. Sebagian ulama yang lain menerima dan meyakini syafaat secara sangat longgar.
Tentunya sikap kedua (menerima dan meyakini adanya syafaat kelak di hari kiamat dalam batasan tertentu) lebih proporsional dalam menyikapi syafaat karena peniadaan syafaat dalam sejumlah ayat lebih dimaknai sebagai pengkhususan bagi sebagain kelompok manusia yang kelak (di hari akhir) tidak akan mendapat syafaat. Mereka adalah kaum kufar beserta kroni-kroninya. Memaknai syafaat secara sangat longgar pastinya sangat tidak tepat. Pemahaman ini tidak secara ketat membedakan siapa saja yang berhak memberi syafaat serta mengesampingkan rasionalitas dalam memahami syafaat. Hal ini memberi peluang pada keyakinan mudahnya dosa terampuni tanpa usaha sebagaimana keharusannya.
Ketiga, tidak diterimanya tebusan. Bila kita berkaca pada sistem peradilan di dunia, maka kita akan menyaksikan betapa hukum bisa diperjualbelikan, bahkan dipermainkan. Hukum yang berat dapat menjadi ringan karena ada jaminan atau tebusan. Sebaliknya, hukum yang seharusnya ringan menjadi berat karena tidak adanya jaminan materi. Di akhirat nanti, keadaan yang menyesakkan dada seperti itu sama sekali tidak akan terjadi. Selain memang tidak ada yang bisa dijadikan tebusan, kekuatan peradilan hari akhir yang maha adil tidak akan memberikan peluang pembelaan hukum di luar ketentuan.
Keempat, tidak ada katagori saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa di akhirat (sebelum berlaku kehidupan surga atau neraka) manusia tidak saling mengenal. Alasannya sederhana, saat itu semua manusia hanya sibuk memikirkan nasib masing-masing dan sibuk mempersiapkan diri menghadapi dakwaan atas yang telah dilakukannya di dunia. Wajar kalau kemudian banyak kalangan frustasi dan mengangankan dirinya bukan manusia atau merengek-rengek ingin dikembalikan ke dunia barang sehari saja untuk memperbaiki yang dulu pernah diperbuatnya seperti digambarkan dalam ayat berikut ini.
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.’” (Q.S. An-Naba [78]: 40)
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: ‘Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?’ Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.” (Q.S. Al-Araaf [7]: 53)
Begitulah hari akhir. Pada hari itu semua ikatan yang merekatkan hubungan manusia terputus. Pada hari itu pula dinamika kehidupan dunia tidak lagi berlaku. Tidak ada perkara jamin menjamin, tebus menebus, dan tolong menolong. Masing-masing hanya bisa bersandar pada kekuatan iman dan keikhlasan amalnya. Karena itu, keyakinan akan adanya proses penjaminan dari seseorang terhadap dosa yang dilakukan banyak orang atau mekanisme penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang adalah kesesatan yang nyata. Karenanya, marilah kita berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin meraih rido Allah dengan iman, ilmu, dan amal. Itulah tiga pilar utama untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
***
"Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”
Ayat ini merupakan peringatan kedua bagi Bani Israil terkait sederet nikmat yang telah dilimpahkan Allah pada mereka. Sebelumnya (pada ayat ke-40 surat Al-Baqarah), Allah mengingatkan agar mereka memenuhi janji-janji yang telah diucapkan. Peringatan berulang ini menunjukkan betapa buruknya sifat yang melekat kuat dalam diri Bani Israil. Sifat buruk tersebut adalah kelalaian akan kewajiban bersyukur atas nikmat yang mengalir deras kepada mereka.
Kenikmatan pertama adalah diberikannya keutamaan kepada Bani Israil di antara bangsa-bangsa lainnya di dunia saat itu. Para ahli tafsir memberi penjelasan beragam mengenai keutamaan yang diberikan kepada Bani Israil tersebut. Abu Qatadah memberi pengertian bahwa keutamaan yang dimaksud adalah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (Bani Israil) dalam bidang keilmuan yang notabene menonjol bila dibandingkan dengan ilmuwan-ilmuwan lain di luar Bani Israil. Abu ‘Aliyah menjelaskan ayat ini dengan mengatakan bahwasannya Bani Israil diberi kelebihan dengan turunnya sejumlah nabi, kitab, dan raja yang berasal dari keturunan mereka. Ibnu Zaid menafsirkan keutamaan ayat tersebut dengan mengatakan bahwasannya Bani Israil memiliki kekuatan ilmu dibandingkan kaum yang lainnya sambil membacakan ayat berikut.
“Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa.” (Q.S. Ad-Dukhaan [44]: 32)
Ibnu Zaid kemudian menambahkan bahwasannya keutamaan ilmu Bani Israil hanya berlaku selama mereka mengikuti ajaran Rasul yang diturunkan kepada mereka. Karena membangkang, meski memiliki kecerdasan luar biasa, Bani Israil tidak dapat dikatakan memiliki keutamaan dalam bidang keilmuan dan bahkan dalam Al-Quran mereka divonis tak lebih dari seekor kera yang hina.
Al-Maraghi mengomentari ayat ke-47 surat Al-Baqarah tersebut di atas dengan mengatakan bahwasannya kelebihan itu lebih bersifat kolektif dan bukan masing-masing personal Bani Israil. Al-Maraghi menambahkan bahwa keutamaan itu hanya berlaku untuk Bani Israil sebelum datangnya Islam. Dengan datangnya Nabi Muhammad Saw., predikat keutamaan suatu bangsa beralih kepada umat Rasulullah Saw. sesuai dengan firman-Nya berikut ini.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110 )
Apapun namanya, ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Keutamaan yang diberikan kepada kita sebagai umat akhir zaman tidak kalah banyaknya dengan keutamaan yang diberikan kepada Bani Israil. Jika tidak menjaga diri dari sikap dan perilaku seperti Bani Israil, apa bedanya kita dengan mereka? Apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah?
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”(Q.S. Ibrahim [14]: 7)
Sudah saatnya kita menyadari betul bahwa keutamaan suatu kaum adalah pemberian Allah Swt. semata. Kehadirannya adalah wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Nikmat itu ada yang bersifat personal dan ada pula yang bersifat kolektif. Secara personal (kalau kita coba hitung nikmat yang diterima), kita tidak akan pernah mampu menghitungnya dengan alat secanggih apapun. Apalagi kalau kita mencoba melihat dan menghitung nikmat tersebut secara kolektif. Kita hidup di negara tercinta yang aman, damai, dan subur. Itu merupakan nikmat kolektif yang amat besar yang kita terima saat ini.
Kita patut mensyukuri setiap nikmat yang diterima karena kelak kita akan mempertanggungjawbakannya di hadapan Allah. Karena itu, pada ayat berikutnya Allah mengingatkan kita agar senantiasa takut terhadap hari pembalasan. Pada hari itu, setiap orang akan mempertanggungjawakan perbuatannya masing-masing tanpa sedikitpun ada campur tangan orang lain.
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
Mari kita sadari bahwa setiap detik di sepanjang hidup di dunia tidak dapat lepas dari curahan nikmat yang diberikan Allah Swt. Dari setiap nikmat per detik itu, suatu hari Allah akan mempertanyakannya dari yang terkecil sampai yang terbesar. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang diberi kesempatan (barang sedikit) untuk mempengaruhi kebijakan-Nya dalam menetapkan sesuatu. Itulah hari akhir yang merupakan hari perhitungan dan hari pembalasan bagi segenap manusia dan jin dengan sistem hukum dan peradilan yang seadil-adilnya. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman.
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. Al-Najm [53]: 38-39)
Berdasarkan ayat ke-48 surat Al-Baqarah di atas, sekurang-kurangnya ada empat gambaran umum kondisi hari akhir. Pertama, setiap manusia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk melakukan pembelaan satu sama lain meskipun di dunia sempat terjadi hubungan yang sangat erat secara kekerabatan, jawatan, persahabatan, dan lain sebagainya. Pada hari itu, setiap orangtua lari dari anaknya (dan begitu pula sebaliknya), suami lari dari istrinya (dan begitu pula sebaliknya), kakak lari dari adiknya (dan begitu pula sebaliknya), dan demikian seterusnya. Allah Swt. berfirman.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 34-37)
Kedua, tidak berlaku syafaat dari siapa pun sehingga tidak ada kebijakan yang diberikan pada seorang hamba yang keluar dari ketentuan (yang seharusnya). Pada hari itu, mustahil ada tindakan seseorang (dengan alasan apa pun) yang dapat menjadi jaminan hukum. Perlu diketahui bahwa proses syafaat hanya berlaku sebelum hari akhir, itupun ketentuan diterima dan tidaknya tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Swt. Ketika hari akhir tiba, syafaat hanya berupa keputusan akhir atas izin Allah. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman.
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat. Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” (Q.S. Al-Muddatsir [74]: 48-49)
Peristilahan syafaat seringkali diartikan sebagai doa atau permohonan untuk menolong seseorang kelak di akhirat agar diringankan atau dihapuskan dari beban dosa yang dipikulnya. Dengan demikian, syafaat dalam hal ini berfungsi sebagai upaya pengurangan atau penghentian status hukum seseorang karena adanya permohonan dari orang lain. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa keputusan Allah bisa dipengaruhi tindakan makhluk-Nya karena syafaat berlaku justru atas izin-Nya.
Perkara syafaat ini cukup hangat diperbincangkan di kalangan ulama. Sebagian tidak menerima atau meniadakan perkara syafaat ini dengan merujuk pada beberapa ayat yang menafikkan syafaat. Sebagian yang lain tetap menerima dan meyakini adanya syafaat kelak di hari kiamat dalam batasan tertentu. Sebagian ulama yang lain menerima dan meyakini syafaat secara sangat longgar.
Tentunya sikap kedua (menerima dan meyakini adanya syafaat kelak di hari kiamat dalam batasan tertentu) lebih proporsional dalam menyikapi syafaat karena peniadaan syafaat dalam sejumlah ayat lebih dimaknai sebagai pengkhususan bagi sebagain kelompok manusia yang kelak (di hari akhir) tidak akan mendapat syafaat. Mereka adalah kaum kufar beserta kroni-kroninya. Memaknai syafaat secara sangat longgar pastinya sangat tidak tepat. Pemahaman ini tidak secara ketat membedakan siapa saja yang berhak memberi syafaat serta mengesampingkan rasionalitas dalam memahami syafaat. Hal ini memberi peluang pada keyakinan mudahnya dosa terampuni tanpa usaha sebagaimana keharusannya.
Ketiga, tidak diterimanya tebusan. Bila kita berkaca pada sistem peradilan di dunia, maka kita akan menyaksikan betapa hukum bisa diperjualbelikan, bahkan dipermainkan. Hukum yang berat dapat menjadi ringan karena ada jaminan atau tebusan. Sebaliknya, hukum yang seharusnya ringan menjadi berat karena tidak adanya jaminan materi. Di akhirat nanti, keadaan yang menyesakkan dada seperti itu sama sekali tidak akan terjadi. Selain memang tidak ada yang bisa dijadikan tebusan, kekuatan peradilan hari akhir yang maha adil tidak akan memberikan peluang pembelaan hukum di luar ketentuan.
Keempat, tidak ada katagori saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa di akhirat (sebelum berlaku kehidupan surga atau neraka) manusia tidak saling mengenal. Alasannya sederhana, saat itu semua manusia hanya sibuk memikirkan nasib masing-masing dan sibuk mempersiapkan diri menghadapi dakwaan atas yang telah dilakukannya di dunia. Wajar kalau kemudian banyak kalangan frustasi dan mengangankan dirinya bukan manusia atau merengek-rengek ingin dikembalikan ke dunia barang sehari saja untuk memperbaiki yang dulu pernah diperbuatnya seperti digambarkan dalam ayat berikut ini.
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.’” (Q.S. An-Naba [78]: 40)
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: ‘Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?’ Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.” (Q.S. Al-Araaf [7]: 53)
Begitulah hari akhir. Pada hari itu semua ikatan yang merekatkan hubungan manusia terputus. Pada hari itu pula dinamika kehidupan dunia tidak lagi berlaku. Tidak ada perkara jamin menjamin, tebus menebus, dan tolong menolong. Masing-masing hanya bisa bersandar pada kekuatan iman dan keikhlasan amalnya. Karena itu, keyakinan akan adanya proses penjaminan dari seseorang terhadap dosa yang dilakukan banyak orang atau mekanisme penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang adalah kesesatan yang nyata. Karenanya, marilah kita berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin meraih rido Allah dengan iman, ilmu, dan amal. Itulah tiga pilar utama untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar