Kemampuan transformasional di lembaga persekolahan masih jarang diterapkan dan dilakukan kajian. Meskipun kajian kepemimpinan transformasional bukan merupakan suatu hal yang sepenuhnya baru, kebanyakan para pengarang dan peneliti masih berkutat pada teori-teori lama yang menonjolkan beberapa gaya kepemimpinan, seperti gaya kepemimpinan autokratis, demokratis, otoriter, situasional dan lain-lain.
Kepemimpinan transforamsional terlihat pada tiga hal, yaitu: (1) membantu staf mengembangkan dan memelihara kolaborasi; (2) budaya organisasi profesional, dan (3) membantu mengembangkan guru dan membantu mereka mengatasi masalah secara efektif. Empat hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional adalah pengaruh idealis, motivasi inspirasi, stimulasi, intelektual, dan pertimbangan individu (Bush & Coleman, 2000).
Dalam bidang pendidikan, seiring dengan upaya pembaharuan yang dilakukan, maka bentuk kepemimpinan dipandang penting untuk diformulasikan. Teori kepemimpinan seperti yang telah berkembang selama ini termasuk dalam model kepemimpinan transaksonal. Kepemimpinan transaksional ditandai dengan pemimpin yang memandu atau memotivasi bawahannya mengarah pada pencapaian tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Blandford mencatat bahwa pemimpin-pemimpin transaksional “berusaha untuk mempertimbangkan cara untuk menggantikan suatu tujuan dengan tujuan lain, bagaimana mengurangi resistensi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan bagaimana mengimplementasikan keputusan-keputusan.
Seiring dengan tuntutan iklim kerja, sedikit demi sedikit terjadi pergeseran pendekatan kepemimpinan, yaitu dari transaksional ke kepemimpinan transformasional. Walaupun demikian bukan berarti kepemimpinan transaksional merupakan pendekatan yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional, karena kepemimpinan transformasional dapat dibangun dari pendekatan transaksional.
Ide teori kepemimpinan transformasional atau transformational Leadership Theory diawali oleh James MacGregor Burns (1979) dalam bukunya yang mendapat Pulitzer Price dan National Book Award yang berjudul Leadership. Dalam buku tersebut Burns menggunakan istilah mentranformasi kepemimpinan (tranforming leadership). Sedangkan istilah kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dikemukakan oleh Benard M. Bass (1985) dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations. Selanjutnya istilah kepemimpinan transformasional menjadi istilah yang dipakai secara umum dalam ilmu kepemimpinan.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional Leithwood dkk, mengemukakan “Transformational leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared visoin, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools. Selain pendapat tersebut menurut Bass yang dikutip oleh Harsiwi kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo sedang kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (bertentangan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo.
Selain daripada itu, kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan, berpartisipasi siswa optimal dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans adalah (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen pembaharuan; (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.
Pendekatan kepemimpinan transformasional bukan berarti kepemimpinan transaksional atau lainnya menjadi usang, karena kepemimpinan terkait dengan gaya dan karakter pemimpin, sehingga tidak dapat dikatakan kepemimpinan lainnya tidak dapat diterapkan.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas maka kepemimpinan transformasional dapat dikatakan berupaya menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema terstrukturisasi sekolah dan menurut apa yang dirasakan oleh guru hal itu memberi sumbangan bagi perbaikan perolehan belajar pada siswa.
Kontribusi ini juga diperoleh dengan dukungan orang lain, peristiwa-peristiwa, dan faktor-faktor organisasi, seperti komitmen guru, kepuasan kerja guru, praktik-praktik pembelajaran atau kultur sekolah. Hal itu disebabkan karena kepemimpinan transformasional memiliki fokus transformasi pada guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran.
Pada setiap tahap dari proses transformasional, keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan keterampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen perubahan; (2) mereka adalah pengambil resiko yang berhati-hati; (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka; (4) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka; (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman; (6) mereka mempunyai keterampilan kognitif dan yakin kepada pemimpin yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati; dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi yang mempunyai intuisi mereka.
J. Scott Burd mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang diterapkan dalam rangka mempertahankan pemimpin dan organisasi-organisasi dengan cara penggabungan tiga unsur yakni: strategi, kepemimpinan, dan budaya. Strategi yang dimaksud Burd mencakup kemampuan dalam menetapkan arah yang akan dituju oleh organisasi, mendefinisikan dan menerapkan rencana strategi untuk pencapaian tujuan atau misi organisasi, membangun visi, membangun kesamaan visi, menterjemahkan visi dan misi ke dalam aksi, mengembangkan komitmen untuk prestasi kerja, dan menerapkan strategi secara operasional.
Upaya mewujudkan visi menjadi realita menuntut kapasitas kepemimpinan yang kuat, tetapi juga unggul. Salah satu keunggulan yang harus ditampilkan oleh kepala sekolah adalah kemampuan untuk mewujudkan lembaga sekolah sebagai suatu organisasi pembelajaran yang berdampak pada rekulturisasi sekolah, sehingga organisasi sekolah yang awalnya bersifat hierarkhis dan birokratis berubah cenderung “datar” dan “akomodatif”.
Kepemimpinan mencakup dalam merealisasikan strategi, mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan fungsi dan situasi, menjadi pemimpin yang dapat mempengaruhi dan diakui oleh bawahan, memotivasi orang lain untuk menjadi pemimpin, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan organisasi, mpmp untuk mempertahankan kejayaan organisasi, dan membuat cara kerja yang lebih mudah.
Budaya, mencakup kemampuan dalam hal memotivasi bawahan untuk menerapkan strategi, memahami budaya kerja yang tumbuh, berlaku adil pada semua orang, cepat menerima perubahan yang bersifat inovatif, menjadi teladan sebagai pekerja yang lebih baik, dan menyempurnakan semangat team kerja.
Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Robbin memberikan empat ciri-ciri kepemimpinan transformasional, yakni karismatik, inspirasi, memiliki rangsangan intelektual dan pertimbangan yang diindividualkan. Untuk lebih jelasnya keempat ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) karismatik, memberikan visi dan misi organisasi dengan jelas, menanamkan kebanggaan, memperoleh respek, dukungan dan kepercayaan dari bawahan atau rekan kerjanya; (2) inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya mengungkapkan maksud-maksud penting dengan cara yang sederhana, (3) memiliki rangsangan intelektual, menggalakkan kecerdasan, membangun organisasi belajar, rasionalitas, dan memberikan pemecahan masalah yang diteliti; (4) pertimbangan yang diindivualkan, memberikan perhatian pribadi, memperlakukan setiap karyawan secara individual, melatih dan menasehati.
Menyimak pendapat Bass, kepemimpinan transformasional bersinggungan erat dengan ciri kepemimpinan karismatik. Dikatakan bahwa keduanya memang memiliki keterkaitan tetapi kepemimpinan transformasional lebih daripada pemimpin karismatik. Pada pemimpin karismatik menginginkan para pengikutnya atau bawahannya mengadopsi pandangan yang dikemukakan pemimpin tanpa atau dengan sedikit perubahan. Sebaliknya kepemimpinan transformasional menanamkan dan mendorong para pengikut atau bawahannya untuk bersikap kritis terhadap pendapat, pandangan yang sudah mapan di organisasi maupun yang ditetapkan oleh pemimpin. Selain itu pemimpin juga merangsang pengikut untuk lebih kreatif dan inovatif serta lebih meningkatkan harapan dan mengikatkan diri pada visi.
Johnson and Johnson mengambarkan kepemimpinan transformasional menciptakan keluarga di dalam dan di antara anggota, saling merawat satu dengan lainnya, memiliki visi dan mencoba untuk mengaktualisasikannya. Lebih jauh Johnson memaparkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat diidentifikasik melalui beberapa pertanyaan: (1) bagaimana mengelola tantangan status quo dari persaingan tradisional dan model individual dalam manajemen. Dalam hal ini pemimpin harus mampu memberi spirit dan memberi contoh untuk senantiasa maju meningkatkan kualitas diri. Hubungan kerja dalam organisasi perlu ditransformasikan ke dalam jaringan kerja yang saling mengait erat, untuk meningkatkan produktivitas, promosi yang lebih suportif, sehingga meningkatkan kualitas hubungan serta nilai diri anggota.
Kepemimpinan transforamsional terlihat pada tiga hal, yaitu: (1) membantu staf mengembangkan dan memelihara kolaborasi; (2) budaya organisasi profesional, dan (3) membantu mengembangkan guru dan membantu mereka mengatasi masalah secara efektif. Empat hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional adalah pengaruh idealis, motivasi inspirasi, stimulasi, intelektual, dan pertimbangan individu (Bush & Coleman, 2000).
Dalam bidang pendidikan, seiring dengan upaya pembaharuan yang dilakukan, maka bentuk kepemimpinan dipandang penting untuk diformulasikan. Teori kepemimpinan seperti yang telah berkembang selama ini termasuk dalam model kepemimpinan transaksonal. Kepemimpinan transaksional ditandai dengan pemimpin yang memandu atau memotivasi bawahannya mengarah pada pencapaian tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Blandford mencatat bahwa pemimpin-pemimpin transaksional “berusaha untuk mempertimbangkan cara untuk menggantikan suatu tujuan dengan tujuan lain, bagaimana mengurangi resistensi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan bagaimana mengimplementasikan keputusan-keputusan.
Seiring dengan tuntutan iklim kerja, sedikit demi sedikit terjadi pergeseran pendekatan kepemimpinan, yaitu dari transaksional ke kepemimpinan transformasional. Walaupun demikian bukan berarti kepemimpinan transaksional merupakan pendekatan yang berlawanan dengan kepemimpinan transformasional, karena kepemimpinan transformasional dapat dibangun dari pendekatan transaksional.
Ide teori kepemimpinan transformasional atau transformational Leadership Theory diawali oleh James MacGregor Burns (1979) dalam bukunya yang mendapat Pulitzer Price dan National Book Award yang berjudul Leadership. Dalam buku tersebut Burns menggunakan istilah mentranformasi kepemimpinan (tranforming leadership). Sedangkan istilah kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dikemukakan oleh Benard M. Bass (1985) dalam bukunya berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations. Selanjutnya istilah kepemimpinan transformasional menjadi istilah yang dipakai secara umum dalam ilmu kepemimpinan.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional Leithwood dkk, mengemukakan “Transformational leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared visoin, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools. Selain pendapat tersebut menurut Bass yang dikutip oleh Harsiwi kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo sedang kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (bertentangan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo.
Selain daripada itu, kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia tanpa paksaan, berpartisipasi siswa optimal dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans adalah (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen pembaharuan; (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.
Pendekatan kepemimpinan transformasional bukan berarti kepemimpinan transaksional atau lainnya menjadi usang, karena kepemimpinan terkait dengan gaya dan karakter pemimpin, sehingga tidak dapat dikatakan kepemimpinan lainnya tidak dapat diterapkan.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas maka kepemimpinan transformasional dapat dikatakan berupaya menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema terstrukturisasi sekolah dan menurut apa yang dirasakan oleh guru hal itu memberi sumbangan bagi perbaikan perolehan belajar pada siswa.
Kontribusi ini juga diperoleh dengan dukungan orang lain, peristiwa-peristiwa, dan faktor-faktor organisasi, seperti komitmen guru, kepuasan kerja guru, praktik-praktik pembelajaran atau kultur sekolah. Hal itu disebabkan karena kepemimpinan transformasional memiliki fokus transformasi pada guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran.
Pada setiap tahap dari proses transformasional, keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan keterampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen perubahan; (2) mereka adalah pengambil resiko yang berhati-hati; (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka; (4) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka; (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman; (6) mereka mempunyai keterampilan kognitif dan yakin kepada pemimpin yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati; dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi yang mempunyai intuisi mereka.
J. Scott Burd mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan yang diterapkan dalam rangka mempertahankan pemimpin dan organisasi-organisasi dengan cara penggabungan tiga unsur yakni: strategi, kepemimpinan, dan budaya. Strategi yang dimaksud Burd mencakup kemampuan dalam menetapkan arah yang akan dituju oleh organisasi, mendefinisikan dan menerapkan rencana strategi untuk pencapaian tujuan atau misi organisasi, membangun visi, membangun kesamaan visi, menterjemahkan visi dan misi ke dalam aksi, mengembangkan komitmen untuk prestasi kerja, dan menerapkan strategi secara operasional.
Upaya mewujudkan visi menjadi realita menuntut kapasitas kepemimpinan yang kuat, tetapi juga unggul. Salah satu keunggulan yang harus ditampilkan oleh kepala sekolah adalah kemampuan untuk mewujudkan lembaga sekolah sebagai suatu organisasi pembelajaran yang berdampak pada rekulturisasi sekolah, sehingga organisasi sekolah yang awalnya bersifat hierarkhis dan birokratis berubah cenderung “datar” dan “akomodatif”.
Kepemimpinan mencakup dalam merealisasikan strategi, mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan fungsi dan situasi, menjadi pemimpin yang dapat mempengaruhi dan diakui oleh bawahan, memotivasi orang lain untuk menjadi pemimpin, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan organisasi, mpmp untuk mempertahankan kejayaan organisasi, dan membuat cara kerja yang lebih mudah.
Budaya, mencakup kemampuan dalam hal memotivasi bawahan untuk menerapkan strategi, memahami budaya kerja yang tumbuh, berlaku adil pada semua orang, cepat menerima perubahan yang bersifat inovatif, menjadi teladan sebagai pekerja yang lebih baik, dan menyempurnakan semangat team kerja.
Menurut Bass sebagaimana dikutip oleh Robbin memberikan empat ciri-ciri kepemimpinan transformasional, yakni karismatik, inspirasi, memiliki rangsangan intelektual dan pertimbangan yang diindividualkan. Untuk lebih jelasnya keempat ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) karismatik, memberikan visi dan misi organisasi dengan jelas, menanamkan kebanggaan, memperoleh respek, dukungan dan kepercayaan dari bawahan atau rekan kerjanya; (2) inspirasi, mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya mengungkapkan maksud-maksud penting dengan cara yang sederhana, (3) memiliki rangsangan intelektual, menggalakkan kecerdasan, membangun organisasi belajar, rasionalitas, dan memberikan pemecahan masalah yang diteliti; (4) pertimbangan yang diindivualkan, memberikan perhatian pribadi, memperlakukan setiap karyawan secara individual, melatih dan menasehati.
Menyimak pendapat Bass, kepemimpinan transformasional bersinggungan erat dengan ciri kepemimpinan karismatik. Dikatakan bahwa keduanya memang memiliki keterkaitan tetapi kepemimpinan transformasional lebih daripada pemimpin karismatik. Pada pemimpin karismatik menginginkan para pengikutnya atau bawahannya mengadopsi pandangan yang dikemukakan pemimpin tanpa atau dengan sedikit perubahan. Sebaliknya kepemimpinan transformasional menanamkan dan mendorong para pengikut atau bawahannya untuk bersikap kritis terhadap pendapat, pandangan yang sudah mapan di organisasi maupun yang ditetapkan oleh pemimpin. Selain itu pemimpin juga merangsang pengikut untuk lebih kreatif dan inovatif serta lebih meningkatkan harapan dan mengikatkan diri pada visi.
Johnson and Johnson mengambarkan kepemimpinan transformasional menciptakan keluarga di dalam dan di antara anggota, saling merawat satu dengan lainnya, memiliki visi dan mencoba untuk mengaktualisasikannya. Lebih jauh Johnson memaparkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat diidentifikasik melalui beberapa pertanyaan: (1) bagaimana mengelola tantangan status quo dari persaingan tradisional dan model individual dalam manajemen. Dalam hal ini pemimpin harus mampu memberi spirit dan memberi contoh untuk senantiasa maju meningkatkan kualitas diri. Hubungan kerja dalam organisasi perlu ditransformasikan ke dalam jaringan kerja yang saling mengait erat, untuk meningkatkan produktivitas, promosi yang lebih suportif, sehingga meningkatkan kualitas hubungan serta nilai diri anggota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar