Setiap
manusia dapat memperoleh pendidikan dan hasil belajar yang baik sesuai
dengan petunjuk agama. Dalam hal ini, agama Islam dengan al-Qur’an
sebagai sumber utamanya menuntut penganutnya untuk memperdalam ilmu
pengetahuannya, sesuai dengan tabiat agama. Ini berarti bahwa
teori-teori aliran kependidikan yakni nativisme, empirisme, dan
kovergensi bukan menjadi acuan konsep pendidikan al-Qur’an. Namun
al-Qur’an lah yang memberikan konsep terhadap aliran-aliran pendidikan
tersebut.
Menurut al-Qur’an, manusia pada tabiatnya adalah homo religious
(makhluk beragama) yang sejak lahirnya telah membawa suatu
kecenderungan beragama. Dalam hal ini, pada QS. al-Rum (30): 30 Allah
berfirman :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Term فطرت الله
(fitrah Allah) dalam ayat di atas, mengandung interpretasi bahwa
manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Potensi fitrah Allah pada diri manusia ini menyebabkannya selalu
mencari realitas mutlak, dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk
sikap, cara berpikir dan bertingkah laku. Karena sikap ini manusia
disebut juga sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo education
(makhluk pendidik), karena pendidikan baginya adalah suatu keharusan
guna mewujudkan kualitas dan integritas kepribadian yang utuh.
Posisi manusia sebagai homo religious dan homo educandum serta homo education
sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa sikap kegiatan
belajar bagi setiap manusia dapat diarahkan melalui proses pendidikan
dengan memandang fitrah sebagai obyek yang harus dikembangkan dan
disempurnakan, dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan (Islam)
secara universal. Dalam hal ini, al-Qur’an maupun hadis meskipun tidak
secara eksplisit membicarakan tentang konsep dasar keberagamaan yang
dimaksud, tetapi secara implisit dari konteks ayat maupun hadis terdapat
petunjuk yang mengarah tentang pendidikan keberagamaan. Misalnya saja,
dalam QS. al-Tahrim (66) : 6 Allah berfirman:
ياأيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
"Hai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka…"
Muatan
ayat tersebut sebagai motivasi bagi setiap orang tua (khusus-nya
orang-orang beriman) untuk selalu mengawasi anak-anak mereka dalam aspek
pendidikan, karena anak-anak atau keluarga merupakan sebagai bagian
terpenting dari struktur rumah tangga. Dengan kata lain, orang tua
hendaknya tidak mengabaikan kewajiban edukatifnya, yakni memelihara,
membimbing dan mendidik anak-anaknya menjadi anggota keluarga yang
senang pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Secara
jelas perintah tersebut mengarah pada aspek pembinaan mental
keberagamaan anak dalam rangka mewujudkan suasana keluarga sakinah yang
selalu taat menjalani fungsinya dengan baik. Wadah inilah sebagai
penentu keberagamaan anak di masa depan. Kaitannya dengan Nabi saw
bersabda dalam satu hadisnya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : كل مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمحسانه
"Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi".
Konteks
hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip
terdahulu bahwa yang merupakan hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk
bagi orang tua agar lebih eksis mengarahkan fitrah yang dimiliki oleh
anak secara bijaksana di bawah sejak lahir. Di samping itu, ayat dan
hadis Nabi saw tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah merupakan
suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai
religius dan keberlakuannya mutlak. Di dalam fitrah mengandung
pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-jelek dan seterusnya.
Dalam
aliran pendidikan misalnya nativisme, memandang pembawaan tidak dapat
dirubah oleh lingkungan, demikian pula sebaliknya dalam empirisme
memandang bahwa lingkungan dapat merubah pembawaan (bakat) anak sejak
lahir, seterusnya konvergensi memandang bahwa pembawaan (bakat) sebagai
faktor internal dan lingkungan faktor eksternal saling mempengaruhi.
Kaitannya dengan ini, maka dalam perspektif al-Qur’an ditegaskan bahwa
fitrah adalah pembawaan keagamaan dan suatu saat keagamaan seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya bahwa fitrah tidak dapat berkembang
tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat
dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak
memungkinkan untuk menjadi fitrah itu lebih baik.
Jadi,
faktor-faktor yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya
bergantung pada sejauh mana interaksi dengan fitrah itu berperan. Pada
sisi lain, tentu saja fitrah yang dibawa oleh setiap manusia sejak
kecil, pada perkembangannya nanti akan mengalami tingkatan-tingkatan
yang bervariasi, sesuai dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Karena demikian halnya, maka hasil yang diraih dari proses belajar
dapat dilihat sejauh mana fitrah itu berperan.
Faktor
pertama yang mempengaruhi hasil belajar mengajar, jika merujuk pada
teks hadis terdahulu adalah lingkungan keluarga, sebagai unit pertama
dan institusi pertama anak dipelihara, dibesarkan dan dididik.
Lingkungan keluarga di sini memberikan peranan yang sangat berarti dalam
proses keberhasilan anak dalam pendidikan. Sebab di lingkungan inilah
anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal
kepadanya.
Pada
masa kecil, keimanan anak belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil
pemikiran yang obyektif, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan
alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih
sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa
ini masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.
Peniruan
sangat penting dalam kehidupan anak, mulai dari bahasa, mode, adat
istiadat dan sebagainya. Hampir semua kehidupan anak berpangkal pada
proses peniruan. Misalnya saja, apabila anak-anak itu melihat orang
tuannya shalat, maka mereka juga mencoba untuk mengikutinya. Maka dari
itu, lingkungan keluarga (rumah tangga) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat dan sikap keberagamaan seseorang.
Sejalan
dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, maka orang tua
menyekolahkan anak-anak mereka dan secara kelembagaan sekolah di sini
sebagai faktor kedua yang dapat memberikan pengaruh dalam membentuk
tingkat keberagamaan. Namun besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat
tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami
nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan perkembangan keagamaan anak, juga
dimotivasi oleh perkembangan bakat dan kepribadiannya.
Lingkungan
sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan tingkat keberhasilan anak
dalam belajar, adalah sebagai lanjutan dari pendidikan lingkungan
keluarga. Dalam perspektif Islam, fungsi sekolah sebagai media realisasi
pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah dan syariah dalam upaya
penghambaan diri terhadap Allah dan mentauhidkan-Nya sehingga manusia
terhindar dari penyimpangan fitrahnya. Artinya, prilaku anak diarahkan
agar tetap mempertahankan naluri keagamaan dan tidak keluar dari bingkai
norma-norma Islam.
Dalam
upaya pembentukan jadi diri peserta didik, maka pendidikan melalui
sistem persekolahan patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini
disebabkan oleh pendidikan sekolah mempunyai program yang teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung
bagi penyusunan program pendidikan Islam yang lebih akomodatif.
Di
samping lingkungan rumah tangga dan sekolah, maka lingkungan masyarakat
merupakan faktor ketiga yang memengaruhi tingkat keberhasilan
pendidikan. Dalam pandangan Hadari Nawawi, pada tahap yang lebih tinggi
dan komplek di masyarakat terdapat konsep-konsep berpikir yang disebut
ideologi, yang membuat manusia berkelompok-kelompok dengan menjadikan
ideologinya sebagai falsafah dan pandangan hidup kelompok masing-masing.
Di antara ideologi-ideologi itu ada yang bersumber dari agama.
Sekiranya idelogi agama ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari,
maka sikap dan prilaku keberagamaan seseorang akan semakin mantap dan
kokoh.
Kesadaran
akan pentingnya sikap atau prilaku keberagamaan dalam kehidupan
masyarakat, memberikan peluang yang sangat besar kepada dunia pendidikan
untuk merealisasikannya. Ini berarti kesempatan emas bagi umat Islam
untuk menjadikan pendidikan sebagai pilihan strategis bagi pemeliharaan,
penanaman dan penyebaran nilai Islam. Konsekuensinya, diperlukan
upaya-upaya yang dinamis, fleksibel dan serius dalam mengelola lembaga
pendidikan formal di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud teori belajar
dan mengajar menurut petunjuk Al-Qur’an adalah aturan dalam proses
kegiatan belajar dan mengajar berdasarkan dalil-dalil yang mengacu pada
interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Antara lain dalil-dalil yang berkenaan
dengan ini adalah QS. al-Alaq (96): 1-5 yang berbicara tentang perintah
belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 78 yang berbicara tentang
komponen pada diri manusia yang harus difungsikan dalam kegiatan belajar
dan mengajar; QS. Luqmān (31): 17-19 yang berbicara tentang pemantapan
aqidah dan akhlak dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16):
125 dan selainnya tentang kewajiban belajar dan mengajar serta
metode-metode yang digunakan.
Keberhasilan
teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam
pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang
satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang
peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut
aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang memengaruhi peserta didik
tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan
dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling
memengaruhi.
Al-Qur’an
sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar
mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran
nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an
menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya
disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh
setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima
pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar
(lingkungan). Untuk mengembankan fitrah ini, maka sangat pendidikan
kedudukan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kepustakaan:
Ahmad, Mudhor. Manusia dan Kebenaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim. al-Jami Shahih, Juz VIII. Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.
Nawawi, H. Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984
Ahmad, Mudhor. Manusia dan Kebenaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim. al-Jami Shahih, Juz VIII. Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.
Nawawi, H. Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984
Assalamu'alikum,,, ijin kompas ya
BalasHapus