I. PENDAHULUAN.
Belakangan
ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat gentar, menakutkan,
dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan
wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik,
intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan
yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk
memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai
macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan
berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama
(mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul
adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam
ketidak harmonisan.
Al-Qur’an
memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi kehidupan umat beragama
tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nashrani, Majusi, dan
Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan).
Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan
melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik
beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak
ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan
ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang.
Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi
pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat
manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Maka
disini perlunya kajian secara mendetail terkait masalah kehidupan agama
terutama kajian mengenai sumber pokok ajaran agama islam yaitu al-Qur’an
menyikapi tentang kehidupan beragama.
Maka
disini kami akan mencoba mengurai sedikit tentang kedudukan dan fungsi
al-Qur’an dalam kehidupan beragama, semoga dapat menambah wawasan kita
dalam hidup di tengah-tengah masyarakat.
II. POKOK MASALAH.
1) Bagaimana Perspektif tentang kehidupan beragama ?
2) Konsep kehidupan beragama ?
3) Bagaimana kedudukan dan fungsi al-Qur’an dalam hal kehidupan beragama ?
III. PEMBAHASAN
A. Perspektif tentang kehidupan beragama.
Di
dalam kehidupan kita harus mengarah kepada sikap terbuka dan mau
mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa,
warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini
semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan
Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS.
Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat ayat 13) .
Seluruh
manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi
manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Dalam kehidupan beragama yang
berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam
system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit,
adapt-istiadat, dsb.
Dalam
kehidupan beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut
agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan
bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya
peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami
sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama
kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan
memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Pada
dasarnya, manusia itu sejak lahir memiliki naluri beragama. Menurut
Greidanus Wiermersma naluri agama ditempatkan dalam rangkaian
naluri-naluri seperti naluri atau nafsu polemos, egocentros, dan eros. Dan didalam tasawwuf islam, naluri-naluri agama tersebut dinamakan naluri atau nafsu amarah, lawwamah,sufiah yang merupakan naluri pokok manusia, yang disebut nafsu muthmainah.
Menurut Islam, manusia itu diciptakan untuk beragama, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ar-Ruum ayat 30.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (30)
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui,(Q.S. ar-Ruum :30)[1]
Agama
islam memiliki prinsip kebebasan memilih agama dengan menjaga
perdamaian diantara semua pemeluk agama dengan menjaga perdamaian di
antara semua pemeluk agama yang berbeda satu dengan yang lain. Mereka
juga memiliki kebebasan bertukar pikiran dalam masalah agama yang
berkenaan dengan kehidupan dan urusan-urusan sosial. Pada zaman khalifah
Bani Abbas, tokoh-tokoh Islam sering mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh agama lain, untuk bertukar pikiran tentang masalah akidah
dan saling menghormati atas agama yang dianut masing-masing. Yang harus
dijaga disini adalah jangan sampai terjadi pemaksaan untuk menganut
suatu agama. Adapun dalam bertukar pikiran perlu didukung dengan adanya
bukti kebenaran itu.
Allah Swt berfirman dalam surah al- Baqarah ayat 111.
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ ….
Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".
Selanjutnya Allah berfirman lagi dalam surah Al-An’aam Ayat 148
قل هل عندكم من علم فتخرجوه
Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?"
Tukar
pikiran antara penganut agama yang berbeda ini dilakukan dengan saling
menghormati, juga saling mengemukakan dalil, akal. Dan logika yang
benar. Jika ada persoalan yang dihadapi hendaklah tidak diselesaikan
secara sepihak yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.[2]
Islam
secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam
masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang
menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[3] Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya.[4]
Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada.
Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak
nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan
kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang
merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian,
membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan
kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman. Ia
merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan
beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah
seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.[5]
Hal
yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan
ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal
dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk
konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama
sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang
rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka
yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang
rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia,
khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak melakukan
absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”[6]
Nurcholish
menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan
secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja.
Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan
bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia
mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para
penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang
amat berbahaya.[7]
Nurcholish
melihat bahwa peta tahun 1992 sedang ditandai oleh konflik-konflik
dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang bukan satu-satunya faktor,
tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu
dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion).
Ia menyebut tempat-tempat konflik; Irlandia, sekitar Perancis dan
Jerman, Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika
Hitam, Sudan, Perang Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang, dan
Filipina.[8]
Merujuk
pada Kitab Suci al-Qur’an, Nurcholish menegaskan bahwa setiap umat atau
golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan
Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja
(dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip
Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu dikatakan bahwa:
“...
semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat
adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan
tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan
terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam
bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara
semua kitab suci.”[9]
Menurut
Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah
sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal
dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq).
Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu,
adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas
seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa
perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat
para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia
mengutip al-Qur’an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ (42):13, al-Nisâ’
(4):163-165, al-Baqarah (2):136, al-Ankabût (29):46, Al-Syûrâ (42):15,
dan al-Mâidah (5):8. Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan
kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat Nuh, Ibrahim, Isma’il,
Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman, Dawud, Isa dan
kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.[10]
Ayat-ayat itu menunjukkan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan
agama-agama para Nabi dan Rasul Allah. Nurcholish mengritik masyarakat
sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan, karena banyak yang tidak
menyadari adanya pandangan itu.
Menjelasakan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga,
agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama
sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah
agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan
untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain,
khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[11] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”.
Oleh
karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil
kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan
permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan,
pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain.
B. Konsep Kehidupan Beragama.
Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi
pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat
manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut
Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa,
sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas
subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas
itu adalah nyata dan penting.[12] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari
klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban.
Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik,
Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa
dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar
umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir
perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis,
yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan
dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama
merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama
sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu
mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama
lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk
dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang
paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama
yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara
satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat
persamaan.[13]
Di
sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang
proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk
menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan
memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para
cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat
menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang
dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan
pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi
manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal
yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama,
Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan
dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan
pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya,
dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta
perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi
bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis.
Dialog
adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir.
Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar
apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di
dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima
semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua.
Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika
global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan
perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[14]
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama,
adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan
semua pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog bukanlah
tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat
untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak
diketahui dengan partner dialog.[15]
Kedua
adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar
dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya,
tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada
“truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan
secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran
agamanya.[16]
C. Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an Dalam Hal Kehidupan Beragama
Kebutuhan
untuk menggali dan merumuskan petunjuk (hidayah) Al-Qur'an untuk
kehidupan umat Islam di seluruh lini kehidupan semakin dirasa mendesak.
Apalagi akhir-akhir ini, di tengah kegamangan dalam memilih sikap dan
pandangan hidup, justru kaum muslim menunjukkan animo yang luar biasa
besar dalam masalah keagamaan yang menjadi panduan segala hal yang
terkait urusan dunia dan akhirat.
Kiranya
hubungan intra dan antar umat beragama dalam konteks sosial menjadi
tema yang sangat aktual untuk dibicarakan. Apalagi di Indonesia, sebagai
negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan dihuni oleh mayoritas
muslim, tentu saja wacana dan pedoman yang dianut oleh mayoritas
penduduk muslim dalam menerapkan praktek demokrasi akan menjadi
mainstream fokus hubungan antara Islam dan demokrasi di satu sisi dan
peran Islam dalam membimbing hubungan antar umat beragama di sisi lain.
Sikap kehidupan antar umat beragama biasa
dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan
kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling
menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para
sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar
jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang
sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw.
menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi
akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan
tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita
bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun
Bahwa
perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak
mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau
mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu,
al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system
ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran
ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga
menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system
dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung
antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social,
bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui
keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Bahkan
al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk
menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik
temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):
Jalinan
persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak
dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua
belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS.
Al-Mumtahanah: 8):
Masalah
kehidupan beragama di dunia adalah masalah prinsip bagi kehidupan
manusia. Karena ia adalah kekuatan batin manusia yang mengandung potensi
psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Berbicara mengenai
agama, maka sesungguhnya agama yang bersumber dari wahyu allah yang
dapat dikatagorikan sebagai agama, sedangkan yang sumbernya bukan wahyu
dikatagorikan sebagai budaya.
Bilamana
agama telah berfungsi di dalam kehidupan masyarakat, maka sesuai
struktur masyarakat modern yang serba ganda, sehingga diperlukan sikap
toleran dan kooperatif dalam bidang kehidupan sosial budaya kerena
apabila masing-masing kelompok masyarakat hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri lebih-lebih kalau yang kuat berusaha
mengekspolitasi yang lemah, maka pasti akan terjadi benturan-benturan
fisik yang dapat merusak persatuan. Perbedaan ras dan agama bukanlah
penghalang untuk mewujudkan persaudaraan, sebagaimana dikehendaki oleh
piagam madinah di zaman Rasulullah SAW.[17]
Manusia
adalah makhluk ciptaan tuhan berkewajiban mengabdi kepadaNya, untuk
mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, sejalan dengan
peradaban manusia, maka kehidupan beragama mengalami juga perkembangan
yang diwarnai dengan sering terjadinya persinggungan antara pemeluk
agama yang beragam itu.
Al-Qur’an
menegaskan bahwa manusia berhak memilih agama yang diyakini tanpa
paksaan. Ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat
256.
Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Baqarah ayat 256.)
Sesungguhnya
Islam merupakan agama yang sangat menghormati kebebasan individu.
Seseorang akan menjadi beriman atau tidak merupakan urusan Allah sebagai
pemberi hidayah, karena itu Allah swt. Hanya memerintahkan untuk
menyeru dengan memberikan dakwah tentang agama Nya yang hak, tanpa boleh
memaksa dengan kekerasan, seperti ditegaskan dalam surah al- Kahfi ayat
29 :
Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir".
Dengan
demikian umat Islam tidak mengkhendaki ada pihak-pihak yang melanggar
hak asasinya dengan cara apapun.sebaliknya umat Islam pun diajarkan
untuk tidak mengganggu atau mengusik pemeluk agama lain.[18]
Kedudukan
sederajat termasuk sederajat di muka hokum ialah persamaan yang
dimiliki oleh manusia dihadapan hokum, tanpa ada perbedaaan diantara
mereka baik karena perbedaan etnis, warna kulit, agama bangsa,
keturunan, kelas, dan lainnya. Dalam surah an-Nisaa’ ayat 105 Allah
berfirman:
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,(Q.S. an-Nisaa’ ayat 105)
dan ayat 107:
Dan
janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati
dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa,(Q.S. an-Nisaa’ ayat 107)
Sebab
turunya ayat ini dalam tafsir Al-maraghi ditulis Ahmad Mustafa
Al-Maraghi juz 4-6p.147, dijelaskan bahwa ayat ini setelah salah seorang
bani Dhafar mencuri baju besi pamannya, yang sebenarnya baju besi
tersebut adalah titipan orang lain, kemudian tindak pidana pencurian ini
dituduh seorang yang beragama yahudi yang bernama Zaid bin As Samin.
Maka datanglah orang yahudi tersebut mengadukan halnya kepada Nabi saw.
Dan setelah bani Dhafar mengetahui hal itu mereka pun datang kepada Nabi
untuk memperkuat tuduhan tadi kepada orang Yahudi. Dan Nabi hampir saja
memutuskan bahwa yang mencuri baju besi itu ialah orang Yahudi,
sehingga turunlah ayat diatas.
Berkaitan dengan masalah ini, perhatikan juga surah Al-Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi :
Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8)
Apa
yang dikemukakan ini adalah pedoman yang wajib diikuti. Namun pedoman
saja tidak cukup, oleh karena itu, perlu organisasi dan aparatnya untuk
mengemban semua itu. Maka buatlah organisasi dan peraturan mekanismenya
untuk dipedomani masyarakat dalam mengadu persoalannya.
IV. KESIMPULAN
Bisa
dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agama lain
sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangat tergantung pada
penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umat non-Islam memperlakukan
umat Islam dengan baik, maka tak ada larangan bagi umat Islam berteman
dan bersahabat dengan mereka. Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap
keras bahkan hingga mengusir umat Islam dari tempat kediamannya, maka
umat Islam diijinkan membela diri dan melawan. Setelah
kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi dan umatnya bersabar menghadapi
ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke 15 ketika
Nabi sudah berada di Madinah perlawanan dan pembelaan diri dilakukan.
Dalam konteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.
Oleh
karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat agama lain
dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga
tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an.
Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak
bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran
Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân) atau ayat kulliyât.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan
ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada
ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan
dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya.
Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung
pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata
kehidupan Indonesia yang damai.
Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`)
antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang
kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks
Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir
al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan
eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat
cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum,
Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat
Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen.
Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi)
sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir
keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan
kedamaian
Kedua,
setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi
menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi
(penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain.
Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan,
tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping
ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten
melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah.
Ketiga,
sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan Nabi Muhammad,
umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap
implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang
Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan
sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi
berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat
Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap
kelompok atau umat agama lain.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan kita dan wawasan kita tentang masalah kehidupan beragama
baik dilingkungan kehidupan kita maupun dalam negara kita. Kami
mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dan kesempurnaan makalah
kami.
DAFTAR PUSTAKA
Mukti Ali, A., “Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993.
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999).
Nasir Tamara, M. dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996).
Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993,
Lopa, Baharuddin S.H. Prof. Dr. H., Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,1999,
[1] Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,1999, hal 130-131
[2] Ibid, hal.132
[3]Q.S. Al-Baqarah (2) : 156.
[4]Q.S. Al-Kahfi (18) : 29.
[5]Q.S. Al-Hajj (22) : 40.
[6] Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.
[7]Lihat Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993, hlm. 4 dan 6.
[8]Ibid hlm. 7-8.
[9]Ibid., hlm. 12.
[10]Ibid., hlm. 13-14.
[11]Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), ( Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109.
[12]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[13]A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
[14]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163.
[15] Ibid.
[16]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3.
[17] Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., op.cit, hal 130
[18] Ibid, hal 75-76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar