Secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat,
tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk
diketahui.[10]
Dalam Alquran, kata wahy (الوحي) , digunakan dalam bentuk الإيحاءdan dipakai dalam berbagai macam pengertian. Di antaranya:
- Ilham Fithriah bagi manusia:
Artinya: Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya …[Q.S. Al-Qashash/28: 7].
- Instink bagi hewan :
Artinya: Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada
lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di
tempat-tempat yang dibuat oleh manusia [Q.S. Al-Nahl/16: 68].
- Isyarat :
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia
wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di
waktu pagi dan petang [Maryam/19: 11].
- Bisikan/rayuan syeithan :
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan [Q. S. Al-An’am/6: 112]
Demikian arti kata wahyu menurut penggunaannya dalam Alquran. Sedangkan kata wahy
menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah
“pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini
bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan
perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.[11]
Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau
yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat
diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya
tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara
yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar
dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan
berlangsung sangat cepat.
Pengertian demikian ini juga digunakan dalam Alquran, antara lain pada ayat :
Artinya: Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu
(pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa,
Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud [Q. S. Al-Nisa’/4: 163]
Sedangkan proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan
kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam Alquran surat
al-Syura/42: 51 sebagai berikut:
- Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana [Q.S. Al-Syura/42: 51]..
E. Macam-macam wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul,
adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari
keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari
Allah. Seperti dalam firman-Nya:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang
keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah
wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Sungguhpun redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup apa saja — ajaran
— yang disampaikan/diucapkan oleh Muhammad, namun dalam realitasnya
harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat ilahiyah, yang menempatkan
Muhammad sebagai utusan Allah[12].
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya
dideskripsikan dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits
Qudsi dan Hadits Nabawi. Perbandingan antara ketiga macam wahyu ini
dapat ditabulasikan sebagai berikut:
ALQURAN | HADITS QUDSI | HADITS NABAWI |
Redaksi bahasa dan mak-nanya dari Allah | Maknanya dari Allah, redaksi bahasanya disusun sendiri oleh Nabi dengan menis-batkannya kepada Allah. | Maknanya dari Allah, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh Nabi tanpa menisbatkan-nya kepada Allah |
Keabsahan-nya sebagai
wahyu Allah bersifat mutlaq (قطعيّ الورود)
|
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang
bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang relatif (ظنيّ الورود)
|
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang tidak mutlaq (ظنيّ الورود)
|
F. Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama
menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya
adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih
oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim
(ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana
dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu
pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya
mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan
hujjah-hujjah agama”.[13] Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt
mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam
jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam
hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu
tanpa didahului dengan pemikiran”.[14]
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang
dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan
karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan
dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu.
Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan
primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan,
instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.[15]
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia
juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa.
Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya (Q. S. al-Syams/91: 8).
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa).
Kedua macam instink ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia
memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya
yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada
kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua
instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk
mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan
dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai
penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula
sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka
jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan
larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim)
terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh
atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus
melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.
[1]
Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن , Daar al-Fikr,
Beirut, 1988, Juz I, hal. 14; Bandingkan dengan Rosihon Anwar, hal. 29;
Masjfuk Zuhdi, hal. 2.
[2] Badruddin Muhammad Bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Baby al-Halaby, Kaero, 1957, Juz I, hal. 278
[3] Dr. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, دراسات في علوم القرآن (ULUMUL-QUR’AN: Studi Kompleksitas Alquran), Alih Bahasa Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, Cet. I, 1997, hal. 38
[4] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, op. cit, Juz I, hal. 19
[5] Mutawatir
adalah proses penyampaian informasi yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta atau melakukan
manipulasi.
[6] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Riyadhush-Shalihin, Alih Bahasa Salim Bahreisy, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. V, 1979, hal. 126
[7]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986: 27 – 34
[8] Muhammad Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Daar al-Fikr, Beirut, 2001, Juz I, hal. 17
[9] Fachruddin Ar-Razy, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Daar al-Fikr, Beirut, 1425H, Juz I., hal. 123
[10]Prof. Dr. M. Qureish Shihab, et.al. SEJARAH & ULUM AL-QURAN, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II, 2000, hal. 48
[11] Ibid. Dikutip dari Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, Daar al-Syuruq, Beirut, 1994, hal. 101
[12]
Salah satu contoh ucapan Muhammad yang disampaikan dalam kapasitasnya
sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah, adalah ketika akan
terjadi perang Khandaq. Muhammad menginstruksikan kepada prajuritnya
untuk membuat pertahanan di dalam kota. Namun instruksi ini
dipertanyakan oleh salah seorang tentaranya, dengan berkata: “Ya
Rasulallah, apakah instruksi ini merupakan wahyu dari Allah?” Muhammad
menjawab, “Bukan”. Lalu tentara tadi mengusulkan agar pertahanan
dilakukan di luar kota, karena kalau bertahan di dalam kota, walaupun
menang dalam peperangan tetapi akan menyebabkan hancurnya kota. Karena
itu dibuatlah parit (Khandaq) sebagai benteng pertahanan di luar kota.
[13] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsr, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hl. 29 – 31.
[14] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapore, t.t., 34
[15] Dali Gulo, Kamus Psychologi, Tonis, Bandung, 1982, hal. 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar