A. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi manusia
agar selalu berada di jalan lurus, yaitu jalan yang mengantarkannya kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Realitas sejarah membuktikan bahwa sampai hari
ini urgensi Al-Qur’an masih (dan akan
selalu) menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia, bahkan senantiasa
menjadi inspirator, pemandu dan pemadu berbagai gerakan dan aktifitas umat
Islam dalam sejarahnya.
Sebagai petunjuk, Al-Qur’an harus dipahami, dihayati dan
diamalkan oleh manusia yang beriman kepadanya. Namun dalam kenyataannya tidak
mudah untuk memahami Al-Qur’an, bahkan oleh sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang
secara umum menjadi saksi atas turunnya wahyu. Tidak jarang mereka berbeda
pendapat atau saling bertanya dalam memahami suatu ayat. Karena itu Rasulullah
saw mengemban tugas untuk menjelaskan (mubayyin) maksud yang terkandung
dalam firman Allah itu.
Di masa Rasulullah, umat Islam tidak menemui kesulitan
dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Mereka dapat langsung meminta penjelasan
dari Rasulullah saw. Akan tetapi setelah wafat beliau, banyak umat Islam yang
menemui kesulitan untuk memahaminya, meskipun mereka memakai dan mengetahui
bahasa Arab. Hal ini karena tidak jarang Al-Qur’an mengandung pesan-pesan yang
belum bisa dijangkau oleh alam pikiran orang-orang Arab waktu itu.
Untuk memahaminya, mereka lalu mencari hadits-hadits
Rasulullah saw, karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang
paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Di samping itu mereka mencoba
mencari penjelasan dari ayat-ayat lain yang dapat digunakan sebagai alat bantu
untuk memahaminya. Cara-cara seperti ini kemudian dikenal dengan tafsir bil
ma’tsur.
Langkah selanjutnya yang mereka tempuh ialah menanyakannya
kepada sahabat yang menyaksikan asbabun-nuzul ayat. Dan manakala mereka
tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi (hadits) atau sahabat yang
memahami bentuk konteks ayat-ayat tersebut, mereka melakukan ijtihad dan
berpegangan pada hasil ijtihadnya ini, khususnya mereka yang mempunyai
kapasitas intelektual yang memadai, seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah
bin Abbas, Ubay bin Ka’b dan Abdullah bin Mas’ud.
Selain bertanya kepada para sahabat senior sebagai sumber
informasi bagi penafsiran Al-Qur’an, mereka juga bertanya kepada
sahabat-sahabat dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah masuk
Islam. Terutama pada ayat-ayat yang bercerita tentang umat-umat terdahulu. Hal
itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam Al-Qur’an memiliki persamaan
dengan yang ada dalam kitab suci mereka, terutama berbagai tema yang menyangkut
umat-umat terdahulu. Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah umat-umat terdahulu
secara ringkas dan global untuk tujuan mengambil pelajaran dan teladan.
Sedangkan Taurat menceritakannya dengan panjang lebar dan detail. Demikian pula
Injil.[1]
Penafsiran seperti itu terus berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi Al-Qur’an sebagai
“petunjuk” bagi kehidupan. Sampai-sampai tanpa disadari bercampurlah
hadits-hadits sahih dengan israiliyat. Kehadiran israiliyat dalam
penafsiran Al-Qur’an itulah yang menjadi polemik di kalangan para ahli tafsir
Al-Qur’an. Karenanya tulisan ini mencoba mendiskusikan terma israiliyat,
perkembangan dan keberadannya dalam tafsir, pengaruh dan alternatif jalan
keluarnya yang sedapat mungkin bisa dikemukakan.
B. Pengertian israiliyat
Secara etimologis, israiliyat ( الإسرائيليات)adalah
bentuk jama’ dari israiliyah الإسرائيلية ,
yakni bentuk kata yang dinisbatkan pada kata Israil yang berasal dari bahasa
Ibrani, isra yang berarti hamba dan il yang bermakna Tuhan. Dalam
perspektif historis, Israil berkaitan erat dengan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin
Ibrahim as, di mana keturunan Ya’qub di sebut Bani Isra’il.
Israil merupakan gelar Nabi Ya’qub.[2]
Selanjutnya Israil diidentikkan dengan Yahudi.
Secara terminologis, israiliyat merupakan sesuatu
yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits di mana periwayatnya berkaitan dengan
Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak. Dan kenyataannya
kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan
yang masuk ke jazirah Arab yang dibawa oleh orang-orang Yahudi setelah mereka
masuk Madinah di masa-masa Jahiliyyah.[3]
Formulasi tentang israiliyat di atas terus
berkembang di antara para pakar tafsir Al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan
perkembangan pemikiran manusia. Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat bahwa
israiliyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama
sekali dalam “manuskrip” kuno dan hanya sekedar sebuah manipulasi yang
dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan Hadits untuk
merusak akidah umat Islam dari dalam. Cerita itu seperti kisah Gharaniq, kisah
Zainab binti jahsy dan Kisah perkawinan Rasulullah dengan Zainab.
Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan
Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat
ini. Hanya saja dalam hal ini kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Karena
kaum Yahudi lebih diidentikkan lantaran banyak di antara mereka yang akhirnya
masuk Islam. Disamping karena kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat
Islam.
C. Latar Belakang Muncul dan Berkembangnya Israiliyat
Infiltrasi kisah israiliyat dalam tafsir Al-Qur’an
dan Hadits tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang israiliyat telah lama masuk ke
dalam benak pikiran keseharian mereka, sehingga tidak bisa dihindari interaksi
kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi
Jazirah Islam itu.
Sejak tahun 70 M kaum Ahli Kitab yang mayoritas orang-orang
Yahudi itu telah berimigrasi secara besar-besaran ke Jazirah Arab untuk
menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh Titus, seorang panglima
Romawi. Dan mereka juga sering melakukan perjalanan, baik dari arah barat
maupun timur. Dengan demikian peradaban mereka banyak mempengaruhi orang-orang
Timur dan begitu pula sebaliknya.[4]
Sementara itu bangsa Arab di masa Jahiliyah juga banyak
melancong ke negeri lain. Al-Qur’an menginformasikan bahwa orang suku Quraisy
mempunyai dua waktu perjalanan. Musim dingin ke negeri Yaman dan musim panas ke
negeri Syam yang kebetulan kedua negeri itu banyak dihuni oleh kaum Ahli Kitab,
terutama orang-orang Yahudi. Kondisi ini terus berlanjut hingga datang Islam.[5]
Kondisi dua kebudayaan itu (Islam dan Yahudi) melahirkan
pemikiran-pemikiran yang berbeda hingga tidak jarang terjadi dialog antara
keduanya. Mereka saling bertukar pikiran ikhwal masalah-masalah keagamaan.
Bahkan Rasulullah saw sendiri sering diberi pertanyaan oleh kaum Yahudi,
terutama menyangkut keabsahan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi karena
keabsahan nubuwwah dan risalah Islam berikut kitab suci Al-Qur’an dapat
membuktikan secara konkret, maka Rasulullah saw dapat menarik sebagian dari
mereka masuk Islam, semisal Ka’b Al-Akhbar, Abdullah bin Shuria
dan Abdullah bin Salam. Nama yang disebut terakhir ini adalah “ulama”
kaum Yahudi yang telah banyak menangkap adanya indikasi nubuwwah Muhammad dalam
kitab Taurat. Pengetahuannya yang mendalam tentang agama Yahudi menjadikan
dirinya menduduki posisi penting dan terpandang di kalangan Yahudi dan –sesudah
masuk Islam- di kalangan Islam.[6]
Pada masa Rasulullah, israiliyat tidak banyak berkembang dalam penafsiran
Al-Qur’an, sebab hanya beliaulah satu-satunya penjelas (mubbayyin)
berbagai masalah yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Sahabat bisa bertanya langsung
kepada beliau perihal isi dan maksud Al-Qur’an. Meskipun demikian, Rasulullah
tidak melarang pada umat Islam untuk menerima atau menyebarkan informasi dari
Bani Israil. Hal ini tampak dari sabda beliau:
" بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا
عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ"
أخرجه البخارى
“Sampaikanlah dariku walaupun
satu ayat, dan sampaikanlah dari Bani Israil dan itu tidak suatu dosa.
Barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, sebaiknya ia mengambil tempat
duduknya dari api neraka”. (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari).
Demikian pula dalam hadits lain beliau
bersabda:
" لا
تصدقوا أهل الكتاب و لا تكذبوهم و قولوا أمنا بالله وما أنزل إلينا" أخرجه البخارى
“Janganlah
kalian mempercayai Ahli Kitab dan jangan (pula) mendustakannya, dan katakanlah
‘Kami beriman kepada Allah dan (Kitab) yang diturunkan kepada Kami’”.
(Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari),
Dari pemahaman hadits di
atas, Rasulullah saw juga memberi peluang atau kebebasan pada umatnya untuk mengambil riwayat dari kaum Ahli Kitab.
Hadits pertama boleh jadi mengandung petuah atau suri teladan. Sedangkan hadits
kedua merupakan penangguhan pengakuan maupun penolakan atas cerita Ahli Kitab
untuk tidak diterima begitu saja sebelum diteliti.
Dari abstraksi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa israiliyat
sebenarnya sudah muncul dan lama berkembang di kalangan bangsa Arab jauh
sebelum Rasulullah saw lahir, yang kemudian terus bertahan di masa Rasulullah.
Hanya saja pada waktu itu israiliyat belum menjadi khazanah dalam
penafsiran Al-Qur’an.
Permasalahan yang muncul
adalah bahwa sepeninggal Rasulullah saw, tidak seorang pun berhak menjadi
penjelas (mubayyin) wahyu Allah. Karena itu jalan yang ditempuh olah
para sahabat ialah –dengan ekstra hati-hati- melakukan ijtihad sendiri,
manakala kemudian mereka menjumpai masalah tersebut, seperti kisah-kisah nabi
atau umat terdahulu. Hal ini terjadi mengingat kadang-kadang ada persamaan antara
Al-Qur’an, Taurat dan Injil. Hanya saja Al-Qur’an terkadang berbicara secara
ringkas padat (i’jaz), sementara Taurat dan Injil berbicara secara
panjang lebar (ithnab).
Sumber-sumber israiliyat
yang terkenal di kalangan Yahudi ialah: Abdullah bin Salam, Ka’b
Al-Akhbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin
Juraij. Sementara di kalangan sahabat ialah: Abu Hurairah, Abdullah
bin Abbas dan Abdullah bin Amr bin Ash. Mereka ini adalah nara
sumber kedua. Penting dicatat disini bahwa Abu Hurairah, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, serta sahabat lain meriwayatkan israiliyat
dalam kapasitas ijtihad. Artinya, bahwa keyakinan para sahabat akan kesungguhan
Islam-nya kalangan Yahudi yang masuk Islam, membuat mereka menerima sebagian
riwayat dari kalangan Yahudi yang telah masuk Islam tersebut. Mereka bersikap
terhadap “mantan” Yahudi ini sebagaimana dengan kaum muslimin lain, diterima
riwayat dan kesaksiannya. Karena dalam kapasitas ijtihad, maka setiap riwayat
mereka tentang israiliyat yang tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur’an
harus kita tolak. Berbicara dalam hal agama, lebih-lebih tafsir Al-Qur’an,
sebagaimana yang pernah dikatakan Umar bin Khathab, “Semua manusia dapat
diterima dan ditolak pendapatnya, kecuali Rasulullah saw, karena Al-Qur’an
diwahyukan kepada beliau”.[7]
Pada masa sahabat inilah israiliyat
mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dari
kalangan Yahudi dan Nasrani pada umumnya mereka sangat ketat. Mereka hanya
membatasi pada sekitar kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang diterangkan secara
global dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka mengenai kisah-kisah
tersebut. Di samping itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsisten dan
konsekwen pada ajaran yang diterima dari Rasulullah saw, sehingga ketika
menjumpai kisah-kisah israiliyat yang bertentangan syariat Islam, dengan serta merta mereka
menolaknya. Sebaliknya apabila kisah-kisah itu benar merekapun menerimanya. Dan
apabila kisah-kisah itu diperselisihkan keberadaannya, mereka menangguhkan (mauquf).
Para sahabat menerima
kisah-kisah israiliyat, karena ada legitimasi dari Al-Qur’an dan hadits
Nabi, di samping keinginan mereka untuk mengetahui dan memperluas nuansanya
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan lagi pula “ruh” Al-Qur’an itu sendiri mempunyai
kesamaan dengan kitab-kitab samawi sebelumnya. Oleh karena itu Al-Qur’an tidak
menghapus secara total ajaran kitab-kitab samawi yang ada, melainkan hanya
meluruskan kembali kitab-kitab itu yang telah banyak diselewengkan oleh
pengikut-pengikutnya.
أفتطمعون أن يؤمنوا لكم وقد كان فريق منهم يسمعون كلام الله ثم يحرفونه من
بعد ما عقلوه وهم يعلمون (البقرة :75)
“Apakah
kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Al-Baqarah: 75).
Di sini dapat kita
nyatakan bahwa tidak semua kisah israiliyat itu ditolak semua tanpa
alasan. Asalkan sudah memenuhi kriteria yang disepakati (mujma’ alaih)
oleh para mufassir dan sesuai dengan ruh Al-Qur’an, jalur periwayatannya
shahih, serta diterima akal sehat secara obyektif dan rasional, ia bisa
diterima.
Namun yang paling
disayangkan adalah pada periode tabi’in, dimana sering terjadi penafsiran atau
periwayatan yang tidak selektif, dalam artian bahwa banyak periwayatan hadits
tidak melalui “kode etik metodologi penelitian” sebagaimana diterangkan dalam
ilmu-ilmu hadits. Akibatnya banyak muncul periwayatan dalam penafsiran
Al-Qur’an yang terkena infiltrasi (tasarrub) israiliyat. Tokoh penting
yang banyak meriwayatkan israiliyat dalam periode ini di antaranya
ialah: Ka’b Al-Akhbar dan Wahb bin Munabbih.
D. Israiliyat dalam
Kitab Tafsir
Pada perkembangan
selanjutnya, masa pasca Tabi’in merupakan masa pengkodifikasian (tadwin)
tafsir Al-Qur’an. Banyak karya tafsir dihasilkan oleh para ulama periode ini.
Di antaranya adalah Tafsir Al-Muqatil (150 H), Tafsir Al-Farra’
(207), Tafsir Ath-Thabari (310), Tafsir Ats-Tsa’labi (427 H),
Tafsir Ibnu Katsir (774 H) dal lain-lain. Namun karena di antara
tafsir-tafsir ini tidak mencantumkan sanad secara tegas, maka tercampurlah
antara riwayat yang shahih dan yang tidak shahih. Dalam kondisi seperti inilah
akhirnya banyak kitab tafsir yang memuat kisah-kisah israiliyat.
Keberagaman kitab tafsir
yang memuat israiliyat itu berbeda kuantitas dan kualitasnya antara satu
kitab dan kitab lainnya. Ada yang memberi komentar dan ada juga yang tidak
memberi komentar. Dalam hal ini Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam kitab “Al-Israiliyat
fi At-Tafsir wa Al-Hadits” telah mengklasifikasi kitab tafsir yang
“memunculkan” kisah-kisah israiliyat yang rangkumannya sebagai berikut:
1.
Kitab yang meriwayatkan israiliyat
lengkap dengan sanad, tapi ada sedikit kritikan terhadapnya. Kitab yang
termasuk dalam klasifikasi ini yaitu tafsir Ath-Thabari yang berjudul Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an.
2.
Kitab yang meriwayatkan israiliyat
lengkap dengan sanad, tapi kemudian menjelaskan kebatilan yang ada dalam sanad
tersebut. Termasuk dalam klasifikasi ini yaitu tafsir Ibnu Katsir yang
berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim.
3.
Kitab yang meriwayatkan israiliyat
dengan menuliskannya begitu saja, tanpa menyebut sanad atau memberi kritik,
atau tidak menjelaskan mana riwayat yang benar dan mana yang salah. Kitab yang
termasuk dalam kategori ini yaitu Tafsir Muqatil bin Sulaiman.
4.
Kitab yang meriwayatkan israiliyat
tanpa sanad, dan kadang-kadang menunjukkan kelemahannya atau menyatakan dengan
tegas ketidak-sahihannya, tapi dalam meriwayatkan terkadang tidak memberikan
kritik sama sekali, kendati riwayat yang dibawanya itu bertentangan dengan
syariat Islam. Kitab yang masuk dalam klasifikasi ini yaitu tafsir Al-Khazin
yang berjudul Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil.
5.
Kitab yang meriwayatkan israiliyat
tanpa sanad dan bertujuan menjelaskan kepalsuan atau kebathilannya. Tafsir ini
sangat keras mengkritik israiliyat. Kitab yang termasuk dalam
klasifikasi ini yaitu tafsir Al-Alusi (1270 H) yang berjudul Ruh
Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an wa sab’i Al-Matsani.
6.
Kitab tafsir yang menyerang dengan
keras para mufasir yang menuliskan israiliyat dalam tafsirnya. Begitu
kerasnya serangan ini sampai-sampai pengarang kitabnya berani melontarkan
tuduhan yang tidak selayaknya pada pembawa kisah israiliyat ini,
walaupun mereka terdiri para sahabat terpilih dan para tabi’in.[8]
Meskipun demikian, pengarang kitab ini juga terperangkap dalam situasi serupa
dalam artian bahwa tanpa disadari ia menampilkan pula kisah israiliyat. Dalam
klasifikasi ini yaitu tafsir susunan Rasyid Ridha (1354 H) yang berjudul
Al-Manar.
Demikian keberadaan israiliyat
serta klasifkasi tafsir yang mencantumkannya. Klasifikasi ini diambil dari
hasil penelitian Muhammad Husain Adz-Dzahabi yang selayaknya mengundang
para pakar tafsir untuk mengkajinya lebih mendalam. Hal ini perlu dilakukan
mengingat pengaruh yang ditimbulkan oleh masuknya kisah-kisah israiliyat
ini besar sekali.
E Pengaruh Israiliyat
Sudah barang tentu
infiltrasi israiliyat ke dalam penafsiran Al-Qur’an, terutama yang
bertentangan dengan prinsip dasarnya, banyak menimbulkan pengaruh negatif pada
Islam. Diantaranya adalah:
1.
Merusak akidah Islam. Kisah Nabi
Dawud as dengan isteri panglima, Uria dan kisah Nabi Muhammad saw
dengan Zainab binti Jahsyi yang dikemukakan oleh Muqatil dan Ibnu
Jarir, dapat dikatakan sangat mendiskreditkan pribadi nabi yang maksum,
karena menggambarkan nabi sebagai pemburu nafsu sex.
2.
Memberi kesan bahwa Islam itu
agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat Al-Qurthubi
ketika menafsirkan firman Allah:
الذين
يَحْمِلون العرشَ ومَن حوله يسبّحون بحمد ربهم (المومن :7)
“(Malaikat-malaikat)
yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya” (Al-Mukmin: 7)
Bahwa
malaikat pembawa arsy itu kakinya berada di bumi yang paling bawah, sedangkan
kepalanya menjulang ke arsy.
3.
Riwayat-riwayat tersebut
hampir-hampir menghilangkan rasa kepercayaan pada sebagian ulama salaf, baik
dari kalangan sahabat maupun tabiin, seperti Abu Hurairah, Abdullah
bin Ka’b dan Wahb bin Munabbih.
4.
Memalingkan perhatian umat Islam
dalam mengkaji soal-soal keilmuan Islam. Dengan hanyut menikmati kisah-kisah israiliyat,
umat Islam dapat berpaling dari yang mendasar dari pesan Al-Qur’an. Misalnya
soal nama anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu tongkat Nabi Musa dan
ukuran kapal Nabi Nuh. Andai saja cerita-cerita ini bermanfaat, tentu
al-Quran telah menjelaskannya.
Dan yang paling
memprihatinkan adalah bahwa pengaruh israiliyat dalam penafsiran
Al-Qur’an dapat menimbulkan sikap apriori peminat ilmu tafsir terhadap kitab
tafsir, lantaran khawatir bahwa semua kitab itu berasal dari sumber yang sama.
F. Alternatif pemecahan
masalah
Untuk menghilangkan sikap
apriori tersebut, maka dirasa perlu adanya langkah-langkah alternatif pemecahan
masalah untuk menghadapi realitas di atas. Paling tidak pemecahan masalah
tersebut hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini:
1.
Harus kritis dan selektif terhadap
riwayat israiliyat, sehingga dapat memilah riwayat yang sesuai dengan
dasar Al-Qur’an, sesuai dengan kriteria periwayatan yang shahih dan diterima
oleh akal sehat.
2.
Riwayat yang diterima tersebut
hanya diambil sesuai kebutuhan, atau bisa dipakai sebagai hujjah menghadapi
polemik yang dilancarkan kaum Yahudi dan Nasrani.
3.
ke–mujmal-an Al-Qur’an yang
telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw (berdasarkan hadits shahih)
seperti putra yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim as adalah Nabi
Ismail. Seorang mufassir tidak boleh menanggapi sumber israiliyat
yang mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq.
4.
Terhadap israiliyat yang
oleh Ibnu taimiyah dan Ibnu Katsir masuk kategori harus didiamkan
(maskut ‘anhu) sebaiknya dihindari, karena akan menimbulkan kesan
seakan-akan riwayat tersebut merupakan penjelas terhadap makna firman Allah
atau merupakan rincian dari kemujmalannya.
5.
Melakukan seleksi kitab-kitab
tafsir dari pengaruh atau susupan kisah-kisah israiliyat.
G. Penutup
Demikianlah israiliyat
menyerap ke dalam kitab-kitab tafsir. Meskipun ada ketetapan dari Nabi saw
bahwa tidak semua israiliyat merupakan riwayat yang bathil, tetapi
hendaknya seorang mufassir atau peminat tafsir hati-hati dalam menyikapinya.
Alangkah baiknya jika seorang mufassir menahan diri untuk tidak memperluas
sesuatu yang dianggap keluar dari garis Al-Qur’an dan Hadits dan lebih
berkonsentrasi memikirkan hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Sikap seperti ini tidak diragukan lagi merupakan perbuatan yang bijaksana dan
lebih selamat.
Hanya Allah Yang Maha
Tahu.
Daftar Pustaka
Ash-shaawi,
Al-Maliki, Hasyiyah ‘alaa Tafsir Al-Jalalain (Beirut: Dar El-Fikr, tt)
Dr.
Abdul Ghani Abdul Khaliq, Ar-Rad ‘alaa Man Yunkiru Hujjiyat As-Sunnah,
(Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1989) cet. 1
Dr.
Muhammad Bultaji, Dirasaat fi At-Tafsir, (Kairo: Maktabah Asy-Syabab,
1989)
Dr.
Syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Difaa’ ‘an As-Sunnah, (Kairo:
Maktabah As-Sunnah, 1989) cet. 1
Manna’
Al-Qaththaan, Mabahits fi Uluum Al-Qur’an (Riyadh:Mansyuraat Al-Ashr
Al-Hadits, tt)
Muhammad
Al-Ghazali, Kaifa Nata’aamalu ma’a Al-Quran, (Manshurah: Dar Al-Wafaa’ li
Ath-Thiba’ah: 1992) cet. 3
Muhammad
Husain Adz-Dzahabi, Al-Israiliyat fi At-Tafsir wa Al-Hadits (Kairo:
Majma’ Buhuts Islamiyyah, 1985)
[1]
Manna’ Al-Qaththaan, Mabahits fi Uluum Al-Qur’an (Riyadh:Mansyuraat
Al-Ashr Al-Hadits, tt) hlm. 354.
[2]
Ash-shaawi, Al-Maliki, Hasyiyah ‘alaa Tafsir Al-Jalalain (Beirut: Dar
El-Fikr, tt) Juz 1 hlm. 35
[3]
Manna’ Al-Qaththaan, Mabahits fi Uluum Al-Qur’an (Riyadh:Mansyuraat
Al-Ashr Al-Hadits, tt) hlm. 354.
[4]
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Al-Israiliyat fi At-Tafsir wa Al-Hadits
(Kairo: Majma’ Buhuts Islamiyyah, 1985) hlm 13
[5] ibid,
hlm 15
[6]
ibid hlm 83
[7] Dr
Muhammad Bultaji, Dirasaat fi At-Tafsir, (Kairo: Maktabah Asy-Syabab,
1989) hlm 57.
[8]
Banyak ulama yang sangat menyayangkan sikap Rasyid Ridha yang sangat
keras mengomentari para sahabat dan tabiin yang meriwayatkan israiliyat. Sikap
yang seharusnya tidak terjadi buat ulama sekelas Rasyid Ridha. Kritik
atas sikap Rasyid Ridha ini selengkapnya bisa di baca Difa’ ‘an
As-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Israiliyat
fi At-Tafsir wa Al-Hadits karya Muhammad Husain Adz-Dzahabi dan
buku-buku lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar