Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih
dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati
supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak
dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun
sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat
memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki
kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i
rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
”Maksud
perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk
mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal
sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau
tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa
mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila
mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk
membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan
empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal
shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan
saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia
benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini
bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat,
tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam
neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh
karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti
akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria
dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak
akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan
keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang
dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu
‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang
mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan
dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi
berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah,
dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari
berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan
dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan
seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia
perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak
pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat
bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,
seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi
suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat
mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi
seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang
memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada
hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan
antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong
dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu
malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat
nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan
dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para
Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka
dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf:
108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang
dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR.
Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di
atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah
dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk
memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah
mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan
pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan
kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia
senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR.
Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika
menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah
mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini
dikarenakan para dai menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa
nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang
menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai
pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu,
akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap
mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat
menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir
(berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan
dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat
dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir
Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan
keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di
dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar