PENDAHLUAN
Kebijakan pemerintah hindia belanda terhadap pendidikan islam pada
dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militasi kaum
muslimin terpelajar. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam
mengawasi pendidikan Islam adalah menerapkan “Ordonasi Guru” pada tahun 1905. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru
agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun
ahli ilmu agamadapat mengajar di lembaga pendidikan.
Latar belakang Ordonasi Guru ini sepenuhnya bersifat politisi untuk
menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan Islam tidak menjadi factor pemicu
perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Dalam perkembangannya “Ordonasi Guru” ini sendiri mengalami
perubahan dari keharusan guru agama itu cukup melapor dan member tahu saja.
Ordonasi Guru ini sering sekali disalahgunakan oleh pemerintah local untuk
menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Dengan penerapan
Ordonasi Guru, menimbulkan reaksi dari umat Islam terhadap kebijakan pemerintah
Hindia Belanda yang dipandang deskriminatif terhadap pendidikan Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam menurut
Zarkowi Soejoeti sebagaimana yang dituturkan oleh M.Ali Hasan dan Mukti Ali,
terbagi dalam tiga pengertian. Pertama “Pendidikan Islam” adalah jenis
pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan
semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam , baik yang
tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan[1]
Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan
dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan
perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program
studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang
studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan
yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai
sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program
studi yang diselenggarakan[2]
Ciri khas pendidikan Islam itu ada dua macam :
Tujuannya : Membentuk individu menjadi bercorak
diri tertinggi menurut ukuran Allah.
Isi pendidikannya : ajaran Allah yang tercantum
dengan lengkap di dalam Al Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup
sehari-hari dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah SAW.
Teori-teori pendidikan Islam yang
berkembang di Indonesia secara umum mendefinisikan pendidikan Islam dalam dua
tataran : idealis dan pragmatis. Pada tataran
idealis, pendidikan Islam diandaikan sebagai suatu sistem yang independen (eksklusif)
dengan sejumlah kriterianya yang serba Islam. Definisi ini secara kuat
dipengaruhi oleh literatur Arab yang masuk ke Indonesia baik dalam bentuk teks
asli, terjemahan, maupun sadurannya.
Sedangkan pada tataran pragmatis, pendidikan Islam ditempatkan
sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada dalam konteks pendidikan
nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di Indonesia khususnya selama tiga
dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya definisi pragmatis ini[3]
Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha menjelaskan definisi
pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan antara konsep
pendidikan dan konsep Islam. Dilihat dari sudut pandang kita tentang Islam yang
berbeda-beda, istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami sebagai :
1.
Pendidikan
(menurut) Islam,
2.
Pendidikan
(dalam) Islam,
3.
Pendidikan
(agama) Islam.
Dalam hubungan yang pertama, pendidikan Islam bersifat normatif, sedang
dalam hubungan yang kedua, pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis.
Adapun dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat
proses-operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam. Dalam
kerangka akademik, pengertian yang pertama merupakan lahan filsafat pendidikan
Islam, dan pengertian yang ketiga merupakan kawasan ilmu
pendidikan Islam teoritis.
B. Relevensi Kebijakan
terhadap Pendidikan Islam
Relevensi dari kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan Islam dapat
di lihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No.2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah
adalah lembaga pendidikan otonom dibawah pengawasan Menteri Agama selain itu
dalam Tap MPRS No.27 Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu
unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan ketentuan ini, maka
Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madarasah tidak saja bersifat
keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan[4]
Dengan keputusan Presiden No.34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab
Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut
tiga hal, yaitu:
1.
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dak kejuruan.
2.
Menteri Tenaga Kerja
bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja
bukan pegawai negeri.
3.
Ketua Lembaga Administrasi
Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan
khusus untuk pegawai negeri.
Kemudian dikeluarkan inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan
pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada dibawah tanggung jawab
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implicit ketentuan ini
mengharuskan diserakannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah
menggunakan kurikulum nasional kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan keputusan Presiden No.34 tahun
1972 yang kemudian diperkuat oleh inpres No.15 tahun 1974 menggambarkan
ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan
pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata
lain, kepres dan inpres di atas dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai
suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu
lembaga pendidikan Islam.
Hal ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam terhadap kebijakan
pemerintah tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam,
kemudian reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis
Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lembaga ini memandang bahwa
madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, oleh sebab itu yang tepat
untuk menyelenggaakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang lebih
tahu tentang kebutuhan pendidikan Agama bukan menteri P & K.
Memperhatikan aspirasi umat islam, maka pemerintah mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu Pendidikan pada
Madarasah. Dalam Surat Keputusan Bersama ini, masing-masing Kementrian dalam
Negeri bertanggung jawab terhadap pembinaan Madrasah.
Kelahiran SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan
dihapuskannya system pendidikan madrasah sebagai konsekwensi dan kepres No.34
Tahun 1972 dan Inpres No.15 Tahun 1974. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada
sidang kabinet pada tanggal 26 November 1974.
Adapun isi dari SKB Tiga Menteri, mengandung beberapa diktum seperti
dalam Bab1, pasal 1 ayat 2 misalnya menyatakan madrasah itu meliputi tiga
tingkatan, yaitu:
a.
Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar.
b.
Madrasah Tsanawiyah setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.
Madrasah Aliyah setingkat
dengan Sekolah Menengah Atas.
Selanjutnya dalam Bab II, pasal 2 disebutkan bahwa:
a.
Ijazah Madrasah dapat mempunyai
nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum.
b.
Lulusan Madrasah dapat
melanjutkan ke Sekolah Umum.
c.
Siswa madrasah dapat berpindah
ke Sekolah Umum.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan terdapat dalam Bab IV, pasal 4,
yaitu:
a.
Pengelolaan Madrasah dilakukan
oleh Mnteri Agama.
b.
Pembinaan mata pelajaran agama
pada Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c.
Pembinaan dan pengawasan mutu
pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai
bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksestensi madrasah dan sekaligus
merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam
system pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan atau lembaga
penyelenggaraan kewajiban belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama islam sebagai mata pelajaran dasar.
Kemudian setelah SKB Tiga Menteri dikeluarkan
Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989. Berbeda dengan UU
sebelumny, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan.
Jika pada UU sebelumnya pendidikan Nasional bertumpu pada sekolah maka, dalam
UU sistem pendidikan nasional ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah
dan luar sekolah serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan
professiona, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan.
Dengan dmikian UU No.2 Tahun 1989 tersebut
merupakan wadah formal terintegrasinnya sistem pendidikan nasional meskipun
secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam tetapi
dalam prakteknya memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan
kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan madrasah.
Dengan demikian integritas madrasah ke dalam Sistem
Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan dan
pengelolaan tetapi lebih ke pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah
adlah bagian dari sistem Pendidikan Nasionalvwalaupun pengelolaanya diserakan
kepada Depatemen Agama[5].
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap pendidikan islam dimulai sejak
zaman belanda yang sangat merugikan dan membelenggu perkembangan sistem
pendidikan islam.
Kebijakan ini lebih terasa
ketika diterapkannya ordonasi guru sehingga sekolah Islam banyak menutup diri
dari perkembangan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Sedangkan pada tataran pragmatis, pendidikan Islam ditempatkan
sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada dalam konteks pendidikan
nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di Indonesia khususnya selama tiga
dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya definisi pragmatis ini.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai
bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksestensi madrasah dan sekaligus
merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam
system pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan atau lembaga
penyelenggaraan kewajiban belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama islam sebagai mata pelajaran dasar.
Kemudian setelah SKB Tiga Menteri dikeluarkan
Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989. Berbeda dengan UU
sebelumny, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan.
Jika pada UU sebelumnya pendidikan Nasional bertumpu pada sekolah maka, dalam
UU sistem pendidikan nasional ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah
dan luar sekolah serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan
professiona, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan.
Dengan demikian integritas madrasah ke dalam
Sistem Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian
penyelenggaraan dan pengelolaan tetapi lebih ke pada pengakuan yang lebih
mantap bahwa madrasah adlah bagian dari sistem Pendidikan Nasionalvwalaupun
pengelolaanya diserakan kepada Depatemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Hawi, Akmal. 2007. Kapita Selekta Pendidikan. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press.
Diakses Pada Tanggal 26 Juli 2012.
Muhammad, Hasan Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya.
[2] M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar